Ketika Pagi datang, Lucian Beasley akan pergi. Tetapi Malam hari, adalah miliknya. Lucian akan memelukmu karena Andralia Raelys miliknya. Akan tetapi hari itu, muncul dinding besar menjadi pembatas di antara mereka. Lucian sadar, tapi Dia tidak ingin Andralia melupakannya. Namun, takdir membencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chichi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23: Luka Lama
Hatinya tergores, bukan karena sakit, tapi karena sesuatu yang terlalu dalam untuk dia pahami.
"Kenapa? Kenapa kau menunjukkan ekspresi ini padaku... Lucian?" Tanya Andralia menatap Lucian.
Kedua mata Lucian terbelalak, dia terkejut dengan tindakan Andralia. Namun, dia juga tidak tau ekspresinya saat ini. Andralia tiba-tiba tersadar atas tindakannya. Dia melepas wajah Lucian di antara telapak tangannya, dan mundur selangkah. Kembali menjaga jarak.
"Maafkan saya Yang Mulia. Saya tidak bisa mengontrol ekspresi saya" ucap Lucian memecah keheningan itu.
Andralia membuang pandangannya, dia mendecih kecil.
Angin laut kembali berhembus, membawa diam yang tak nyaman di antara mereka.
"Lupakan saja. Aku juga sudah berkata buruk padamu"
Ini pertama kalinya Lucian mendengar kata maaf keluar dari bibir Andralia.
Andralia kembali menundukkan pandangannya. Air kelapa muda itu telah dihisap oleh pasir. "Tentang keturunan, berikan aku waktu. Aku masih belum siap untuk saat ini...," ucap Andralia kembali menatap Lucian.
Angin laut yang membawa aroma asin menyapu wajah Lucian. Sebenarnya, Lucian berat hati atas keputusan Andralia. Namun, dia ingin Andralia nyaman dengannya. Dia juga sangat menghormati Andralia.
"Tentu Yang Mulia, saya akan sabar menunggu Anda" jawab Lucian.
Andralia merasakan kehangatan di hatinya. Dia merasa lega, merasa tenang. Dia kembali menatap kelapa di antara kaki mereka berdua. "Belikan aku itu lagi" ucap Andralia menunjuk kelapa yang jatuh itu.
♤♤♤
Andralia kembali menikmati liburannya di pantai. Banyak makanan yang dia cicipi. Mulai dari permen kapas, hingga cumi bakar. Saat di Istana, pola makannya sungguh diatur dan dijaga. Namun, ketika dia bersama Lucian, Lucian membiarkan apapun yang dia inginkan untuk dicoba.
Saat Lucian melihat Andralia. Dia merasa seakan kembali ke masa kecilnya. Dia melihat Andralia seperti anak kecil yang antusias dengan mainan baru dan hal baru. Dia hanya ingin masa kecil Andralia kembali, masa yang belum pernah dia rasakan, masa-masa yang menggembirakan hatinya.
"Sepanjang hari dia selalu menatap buku. Hanya ini yang bisa ku berikan untuknya" batin Lucian.
Andralia melepas alas kakinya. Beruntung karena saat itu sedang musim dingin. Siang hari di pantai tidak sepanas hari biasa. Lucian mengambil sandal milik Andralia dan kembali membuntutinya.
Senyum dibibir Andralia saat menatap orang-orang yang bermain kano, terbaca di mata Lucian jika Andralia juga ingin mencoba menaiki itu. Namun, ombak laut hari itu terlalu bahaya untuk Andralia.
"Anda mau memainkan itu?" tanya Lucian.
Andralia menoleh ke arah Lucian. Dia mengeleng. "Aku tidak membawa baju ganti. Lain kali saja" jawab Andralia.
Andralia cukup lama berkeliling di pantai itu, seperti energinya tak habis. Dan akhirnya, Andralia kembali duduk setelah lelah berjalan kaki. Dia duduk di area payung pengunjung yang di sewa lagi oleh Lucian.
Andralia terlihat menata makanan dan camilan yang dia beli. Dia tidak menyangka akan sebanyak itu. Jantungnya tiba-tiba berdebar. Dia merasakan rasa takut. Dia tiba-tiba teringat suaminya yang sebelumnya. Menyebut Andralia sebagai rakus dan boros terhadap makanan.
Dia takut ucapan itu terulang pada Lucian. Dia menoleh ke arah Lucian yang sedang menghabiskan minumannya karena lelah berjalan.
Merasa Andralia menatapnya, Lucian melihat ke arah Andralia. Mata mereka bertemu. "Apa yang sedang Anda pikirkan?" bibi Andralia diam, namun matanya seakan berbicara.
Andralia cepat-cepat membuang pandangannya. "Kedepannya aku akan memperhatikan apa yang ku beli" ucap Andralia.
"Ha?" Lucian sama sekali tidak memahami maksud Andralia.
Kening Andralia kembali berkernyit saat melihat Lucian. "Apa aku harus mengulangi ucapanku?" tanya balik Andralia dengan nada sedikit tersulut.
"Bukan begitu, Yang Mulia. Saya tidak mengerti ucapan Anda tiba-tiba. Coba katakan lagi dengan jelas" jelas Lucian dengan gelagapan. Dia tidak ingin merusak suasana hati Andralia.
Mata Andralia kembali menatap lautan di sisi kirinya. Laut biru dengan ombak berbuih putih. Deruan ombak terdengar kencang bersamaan dengan angin yang menyapu mereka.
"Aku menyesal sudah beli makanan sebanyak ini, tanpa memikirkan uang yang sudah dikeluarkan" jawab Andralia.
Ucapan itu terdengar lucu di telinga Lucian. "Astaga Yang Mulia...." Lucian terkekeh.
Suara kekehan itu membuat Andralia kembali melihat Lucian. Mata Lucian menyipit, pipinya terangkat ke atas. Untuk pertama kalinya, Andralia melihat wajah Lucian yang tertawa dan tersenyum sejelas itu.
"Saya kira Anda menyesal karena tidak menyukai rasanya, ternyata tentang uang. Tidak perlu memikirkan tentang uang. Uang bisa dicari Yang Mulia. Dan, uang saya tidak sesedikit yang Anda bayangkan" jawab Lucian dengan ringan dan mengulurkan jeruk yang sudah dikupas pada Andralia.
Andralia menatap uluran jeruk itu. Bibirnya terkatup rapat. "Kenapa ucapan ini harus terucap dari bibirnya? Membuatku malu saja" batin Andralia dan mengambil jeruk kupas itu.
"Yang penting bagi saya hanyalah Anda yang menikmati liburan Anda. Tanpa memikirkan hal lain..."
"... hanya saya... dan Anda." lanjut Lucian tersenyum lebar kepada Andralia.
Hari itu, berakhir begitu saja. Andralia langsung tertidur begitu sampai mansion. Dan Lucian menyelimuti Andralia yang sudah lelap. Lucian melihat telapak tangan kanannya. Dia merasakan kebas dan sekilas dia melihat asap tipis keluar dari tangannya.
"Ah, ayolah... jangan sekarang... " Lucian mengibas-ngibaskan telapak tangannya kemudian dia bersiap untuk menemui wali Isaac.
Malam itu cuacanya cukup berangin. Dia tidak bisa berlama-lama di luar karena tidak meminta izin pada Andralia keluar.
Lucian mengetuk pintu kayu rumah yang sebelumnya ditujukan oleh bocah berbadan bongsor itu.
Seorang lelaki paruh baya, mungkin usianya sekitar 42-45 tahun membukakan pintu itu.
Mata merah sepekat darah, rambut hitam legam. Tubuh yang tinggi tegap. Tidak ada orang lain yang memiliki fisik seperti itu. "Tu... Tuan Beasley?" Pria itu terkejut saat melihat sosok pembawa kemenangan Kerajaan Erundil yang telah berperang selama 4 tahun itu.
Pria itu membungkukkan badannya dengan cepat. "SUNGGUH KEHORMATAAN BAGI SAYA BISA BERTEMU DENGAN ANDA!"
Lucian tidak mengingat pria itu. Tapi, dia sudah mendengar jika Ayah bocah bongsor itu (wali Issac saat ini) adalah Prajurit.
Lucian menunjukkan senyumannya. "Tolong kembali berdiri, Pak. Saya rasa, putra Anda sudah menjelaskan kedatangan saya kemari" ucap Lucian dengan ramah.
Pria itu tersenyum lebar kepada Lucian dan memainkan tangannya karena gerogi.
"Saya kira, anak-anak itu sedang bercanda kepada saya. Mari masuk dulu, Tuan. Akan lebih baik jika mengobrol di dalam" ucap pria itu mengiring Lucian masuk ke dalam rumahnya.
Issac bersama bocah bongsor itu mengintip Lucian dan Ayah bocah bongsor itu yang sedang mengobrol. Bocah berbadan bongsor itu tersenyum dengan lebar, tak henti-hentinya.
"Setelah ini, kehidupanmu pasti lebih baik Issac. Jika kamu sudah jadi prajurit hebat, tolong jangan melupakanku sebagai teman kecilmu" bocah berbadan bongsor itu, terlihat sangat bahagia jika Issac benar-benar akan diadopsi oleh Kerajaan.
Namun, Issac berkata lain. "Aku tidak ingin jauh dari kalian. Kamu dan Paman adalah keluargaku"