"Sella jatuh hati pada seorang pria yang tampak royal dan memesona. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kekayaan pria itu hanyalah kepalsuan. Andra, pria yang pernah dicintainya, ternyata tidak memiliki apa-apa selain penampilan. Dan yang lebih menyakitkan, dia yang akhirnya dibuang oleh Andra. Tapi, hidup Sella tidak berakhir di situ. Kemudian dirinya bertemu dengan Edo, seorang pria yang tidak hanya tampan dan baik hati, tapi juga memiliki kekayaan. Apakah Sella bisa move on dari luka hatinya dan menemukan cinta sejati dengan Edo?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dasar Sialan!
Waktu seolah terhenti di antara lolongan Hartono dan suara gemuruh reruntuhan di sekitar mereka. Moncong senapan itu menunjuk lurus, hanya berjarak beberapa meter. Di belakang Sella, Bara bereaksi dengan refleks terlatih. Ia tidak menembak. Ia justru menjatuhkan dirinya ke lantai, menarik Edo yang kesakitan ke bawah, menjauh dari jalur tembakan.
“Sella, turun!” teriak Bara, suaranya tercekat karena beban tubuh Edo yang ambruk di atasnya.
Sella tidak sempat berpikir. Naluri yang terlatih dari krisis tak terhitung bersama Edo mendorongnya bergerak. Tepat ketika Hartono menekan pelatuk, Sella melempar amplop lusuh yang berisi foto-foto itu tepat ke wajah pria gila tersebut. Hartono berkedip, terkejut sesaat oleh debu yang beterbangan.
Dalam jeda sepersekian detik itu, Bara berhasil menjangkau pistolnya dan menembak tanpa pandang bulu, tepat mengenai bahu Hartono. Tembakan itu diikuti ledakan di bawah mereka.
“AAAKH!” Hartono menjerit kesakitan, terhuyung mundur, namun dia masih berpegangan pada senapan. “Kau melindunginya, Sella? Kau! Setelah ibunya Andra menghabisimu!”
“Ibu Andra? Apa maksudmu?” tanya Sella, merangkak di antara reruntuhan, mencoba meraih Edo. “Aku tidak tahu apa-apa tentang itu!”
Hartono tertawa pahit, darah menetes dari bahunya. “Tentu saja kau tidak tahu! Kau hanya pion! Edo adalah target utamanya, dan kau, si mokondo buangan, adalah kunci untuk membuatnya lengah! Dia yang merancang Andra untuk memakan habis hartamu, lalu mencampakkanmu, hanya agar kau terdampar ke pelukan Edo! Balas dendam terbaik adalah menghancurkan hal yang paling ia cintai, dan bagi wanita tua itu, itu adalah reputasi bisnis Edo!”
Ledakan utama yang dikhawatirkan Bara akhirnya terjadi. Ruangan di lantai dua miring tajam. Terdengar suara besi beradu dengan beton. Hartono kehilangan pijakan dan terjatuh, senjatanya terlempar. Sebuah balok baja dari langit-langit runtuh menimpa kakinya.
“Dasar Sialan! Aku akan membunuh kalian!” raung Hartono, berjuang membebaskan diri dari himpitan.
Bara berdiri dengan sigap, menodongkan senjata ke arah Hartono yang tak berdaya. “Cukup! Tuan Edo harus dievakuasi. Rio! Cari jalan keluar!”
“Tidak perlu! Tim medis datang! Helikopter mendarat di atas!” seru Rio dari balik puing, sambil menembakkan kembang api penanda lokasi.
“Bagus!” Bara berjongkok di samping Edo. “Tuan, bagaimana Anda? Bertahanlah!”
Edo menggenggam tangan Sella erat-erat, matanya masih terfokus pada Hartono. Wajahnya yang pucat dipenuhi keringat dan debu. “Bara, borgol Hartono. Dia tidak boleh kabur. Informasi tentang Ibu Andra, pastikan dia tidak lolos dengan itu!”
Sella menatap Hartono yang tampak seperti monster gila yang terjebak. Hatinya mencelos. Jadi, pertemuan dengan Edo, kebangkitannya dari keterpurukan, dan semua cinta yang ia rasakan, ternyata adalah bagian dari skenario busuk Andra dan ibunya? Ia bukan korban penipuan murahan, ia adalah bagian dari plot besar kehancuran korporat.
“Andra tahu rencana ini?” tanya Sella lirih, tatapannya beralih pada Edo yang tampak sekarat.
Edo mengangguk pelan. “Mungkin tidak secara rinci. Tapi dia pasti tahu tujuannya. Wanita itu… Ibu Andra adalah Helena Sutedjo. Dia mantan mitra bisnis ayahku yang dikeluarkan secara tidak hormat. Dia ingin perusahaan ini hancur. Dia ingin kau... kau datang sebagai penjahat dalam kisahku. Sebuah kartu As yang membuatku lemah,” jelas Edo, suaranya lemah.
“Kenapa harus aku? Kenapa harus melalui Andra?” Sella mulai menangis. Kenyataan bahwa ia begitu bodoh, bahkan sampai menjadi senjata, menghancurkannya.
“Karena dia tahu aku akan menyukai wanita yang tulus dan jujur. Wanita yang sudah melewati penderitaan, dan tidak peduli dengan kekayaan,” Edo tersenyum lemah. “Mereka memanfaatkan rasa kasihanku. Dan masa lalumu dengan mokondo itu menjadi amunisi sempurna. Dia berharap aku akan mempertaruhkan segalanya untuk wanita yang secara finansial dan emosional adalah tanggung jawabku.”
Bara selesai memborgol Hartono, yang masih mengumpat di bawah reruntuhan. Tim medis darurat mulai turun dari helikopter menggunakan tali.
“Tuan, mereka datang. Kita akan keluar sekarang!” seru Bara.
Saat para paramedis mulai memasang penyangga leher pada Edo, Sella menjauh sebentar. Ia berjalan ke Hartono, menatapnya lurus.
“Katanya Andra sudah mencampakkanku, menghancurkanku,” ujar Sella, suaranya tenang, berbeda dengan gemuruh di sekitarnya. “Lalu, apa untungnya bagiku sekarang untuk bekerja sama dengan Edo?”
Hartono mendongak, matanya yang liar menyipit penuh ejekan. “Karena Edo adalah akhir yang lebih buruk! Dia akan membuangmu setelah urusannya selesai! Seperti yang dilakukan Andra! Kau pikir Edo sebaik itu? Dia adalah CEO dingin, Sella! Kau hanya hiburan, kompensasi dari traumanya. Setelah kami selesai menghancurkan perusahaannya, Edo akan menendangmu kembali ke lumpur!”
Kata-kata itu menghantam Sella lebih keras dari runtuhan beton mana pun. Hartono meracuni pikirannya, memunculkan keraguan lama. Edo terluka parah. Dia mungkin tidak bisa menolong dirinya sendiri, apalagi Sella.
Sella memejamkan mata, memproses rasa sakit. Jika semua ini adalah plot, maka cintanya yang tumbuh pada Edo adalah kegagalan terbesarnya.
“Tidak,” jawab Sella pelan, namun tegas. Ia mengeluarkan foto usang itu lagi, kali ini ia hanya fokus pada Andra muda yang tersenyum di samping Helena Sutedjo. “Kau salah. Mokondo yang meninggalkanku adalah penipu murahan. Edo yang mengambilku layaknya berlian, dia berbeda.”
Hartono mencibir. “Berlian yang rentan retak. Dia menunggumu retak, Sella. Tunggu saja. Kau tidak akan pernah lepas dari takdir dibuang. Kecuali…”
“Kecuali apa?” desak Sella.
“Kecuali kau gunakan informasi ini untuk menipu Edo sekali lagi. Ambil semua yang dia miliki, sebelum dia membuangmu. Ibu Andra memiliki kontak. Dia bisa melindungimu dari Edo yang haus kekuasaan!” bisik Hartono penuh perhitungan.
Sella terdiam. Keraguan, seperti api kecil, mulai membakar hatinya. Hartono menawarkan jalan keluar yang mengerikan, mengkhianati Edo yang terluka. Jalan yang diukir oleh mantan mokondonya, jalan pengkhianatan yang mungkin akan menjamin keselamatannya.
“Sella! Ayo!” Bara menarik lengannya. “Waktunya kita pergi! Tempat ini akan runtuh!”
Sella kembali pada Edo. Matanya tertutup, napasnya memburu. Apakah Hartono benar? Apakah Sella hanyalah barang dagangan yang dipermainkan, menunggu untuk dibuang kedua kalinya?
Saat tim penyelamat mengangkat Edo, Sella berjongkok sebentar dan memungut ponsel Hartono yang tergeletak di lantai. Ada satu panggilan keluar terakhir, tertuju pada nomor yang ia kenali. Itu bukan nomor Helena Sutedjo.
Itu adalah nomor kontak lama Andra.
“Dia ada di sini. Andra. Dia yang mengatur ledakan terakhir,” gumam Sella. Jika Hartono dan Andra bekerja sama, dan mereka ada di sekitar sini, maka bahaya belum berakhir.
Sella mengantongi ponsel itu. Ketika tali penyelamat ditarik ke atas, membawa tubuh Edo, Sella menoleh ke reruntuhan. Di balik debu tebal, tampak sesosok bayangan ramping yang berdiri tegak, memandang ke atas, seolah memandangi helikopter yang mengangkat Sella. Wajah itu terhalang puing, namun siluetnya familier. Sosok itu adalah hantu masa lalu yang menolak untuk mati.
Apakah itu Andra? Dan apa yang sedang ia rencanakan sekarang?