Argani Sebasta Ganendra adalah pewaris muda dari keluarga yang berdiri di puncak kejayaan. Ayahnya seorang CEO tambang emas, ibunya desainer ternama dengan butik yang selalu menjadi pusat perhatian sosialita. Semua yang ia butuhkan selalu tersedia: mobil sport mewah, sekolah elit dengan fasilitas kelas dunia, dan hidup yang diselimuti gengsi serta hormat dari sekitarnya. Di sekolah, nama Argani bukan sekadar populer—ia adalah sosok yang disegani. Wajah tampan, karisma dingin, dan status pewaris membuatnya tampak sempurna. Namun, di balik citra itu, Argani menyimpan ruang kosong di hatinya. Sebuah perasaan yang ia arahkan pada seorang gadis—sederhana, berbeda, dan jauh dari dunia yang penuh kemewahan. Gadis itu tak pernah tahu kalau ia diperhatikan, dijaga dari kejauhan oleh pewaris yang hidupnya tampak sempurna. Kehidupan Argani semakin rumit ketika ia dipaksa mengikuti jejak keluarga: menjadi simbol keberhasilan, menghadiri pertemuan bisnis, bahkan menekan mimpi pribadinya. Di satu sisi, ia ingin bebas menjalani hidupnya sendiri; di sisi lain, ia terikat oleh garis keturunan dan kewajiban sebagai pewaris
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASTORIA
Latisha keluar dari kelas sambil merapikan tas kecilnya. Ia menatap layar ponselnya yang kini sudah penuh daya,siap untuk menghubungi Amar agar menjemput nanti sore.
Namun langkahnya terhenti.
Di bangku panjang luar kelas, Argani duduk dengan posisi santai, satu kaki disilangkan di atas lutut. Matanya yang tajam sedang mengarah tepat padanya, seolah dari tadi ia memang menunggu.
Latisha menelan ludah. Sejak kapan dia di sana? Tadi waktu aku masuk kelas jelas nggak ada orang sama sekali…
Agar tidak canggung, Latisha memaksakan senyum tipis lalu melambaikan tangan kecil dengan kikuk.
“Hei…” sapanya singkat, suaranya agak kaku.
Ia berbalik, berniat melangkah cepat ke arah koridor lain supaya tidak terjadi interaksi yang panjang.
Namun suara bariton yang dingin langsung memanggilnya:
“Latisha.”
Langkah gadis itu otomatis berhenti. Ia memejamkan mata sebentar, mengatur napasnya, lalu menoleh perlahan.
“Ya?” jawabnya lembut tapi waspada, menatap Argani yang kini bangkit dari duduknya.
Tatapan mereka beradu, hening mendominasi lorong yang sepi itu.Argani melangkah mendekat, postur tingginya membuat Latisha refleks mundur setengah langkah.
“Gue cuma tanya,” suara Argani terdengar datar tapi menusuk. “Kalau sama Vion lo mau pulang bareng, tapi kalau gue yang nawarin… lo langsung nolak.”
Latisha menatapnya kaget, bibirnya terbuka sedikit, lalu buru-buru menggumam pelan,
“Gila ni orang…”
“Apa?” Argani mengernyit.
“Bukan urusan kamu, Argani,” jawab Latisha cepat, nada suaranya mulai meninggi. “Mau aku pulang sama siapa itu urusan aku. Lagian kamu aneh, tiba-tiba aja nyamperin aku, terus ngomong soal Vion segala. Maksud kamu apa sih?”
Argani terdiam sesaat, sorot matanya tajam tapi ada gurat emosi lain yang nggak bisa ditebak.
“Gue cuma pengin tau… kenapa Vion selalu jadi pengecualian buat lo.”
Latisha menghela napas keras, benar-benar bingung.
“Lagi-lagi Vion… apa sih urusan kamu sama dia?” tanyanya, kali ini lebih serius, tatapannya menantang balik meski jantungnya berdegup kencang.
Hening beberapa detik. Argani masih menatap dalam, seolah sedang menimbang sesuatu yang nggak mau ia ucapkan.
Argani mendengus pelan, lalu tiba-tiba menyandarkan punggungnya ke dinding koridor.
“Lupakan Vion,” katanya singkat. “Jawab aja… lo kenapa selalu ngejauh dari gue?”
Latisha spontan mengerutkan kening.
“Hah? Apa lagi sih? Aku nggak pernah ngejauh dari kamu, orang kita juga jarang banget ngobrol!”
Argani menoleh sekilas, tatapannya dingin.
“Jarang ngobrol karena lo selalu ngilang tiap gue ada. Dari awal semester, gue udah sadar.”
“Ya ampun…” Latisha menghela napas kesal, menepuk dahinya. “Argani, jangan bikin cerita aneh deh. Aku bukan ngejauh, emang kita nggak pernah ada alasan buat ngobrol. Itu aja.”
Argani tersenyum miring, menunduk sedikit.
“Kalau gitu, gue bikin alasannya sekarang.”
Latisha semakin bingung, matanya membesar.
“Maksud kamu apa lagi…?”
Alih-alih menjawab, Argani berdiri dan meraih tasnya. Ia berjalan melewati Latisha dengan kalimat singkat yang sengaja dibiarkan menggantung.
“Lo bakal ngerti nanti.”
Latisha berdiri mematung, menoleh ke belakang dengan wajah penuh tanda tanya.
“Orang aneh bener…” gumamnya pelan, tapi dalam hati, rasa penasaran mulai tumbuh.
......................
Aula Astoria kembali dipenuhi sorak sorai. Panggung panjang dengan cahaya lampu sorot sudah dipersiapkan. Musik upbeat mulai diputar, membuat suasana makin meriah.
MC sekolah berdiri di sisi panggung, tersenyum lebar.
“Baiklah, kita sampai pada acara berikutnya,Fashion Show! Mari kita sambut perwakilan dari kelas tiga IPA dan IPS kita!”
Sorakan terdengar dari kursi penonton. Siswa-siswi berdiri, bertepuk tangan sambil bersiul heboh.
✨ Model IPA 1
Naila melangkah anggun dengan gaun sederhana namun elegan, rambutnya dikuncir rapi. Ia diiringi Dion, yang mengenakan jas semi-formal dengan kemeja putih. Sorak sorai dari para cewek kelas bawah terdengar kencang, memuji ketampanan Dion.
✨ Model IPA 2
Aurin tampil dengan dress pastel yang flowy, senyumnya manis, membuat beberapa anak cowok di barisan depan langsung ribut sendiri. Di sampingnya, Kevin berjalan dengan percaya diri, sesekali melirik penonton. Beberapa siswi kelas 1 tampak menutup mulut menahan teriak.
✨ Model IPS 1
Melody melangkah penuh percaya diri, rambutnya dibiarkan terurai, tatapannya lurus ke depan. Di sisi lain, Arion dengan setelan casual-smart membuat suasana makin heboh. Dari bangku belakang terdengar suara cewek-cewek:
“Gila, Arion ganteng banget hari ini!”
Lampu panggung berputar, menyoroti tiap langkah mereka. Para penonton bersorak, ada yang merekam dengan ponsel, ada juga yang sibuk membicarakan siapa yang paling menawan.
Di antara keramaian itu, Latisha duduk bersama Keisha dan teman-temannya, berusaha menikmati acara. Tapi matanya beberapa kali menangkap sosok Argani di deretan kursi sisi kanan aula. Entah kenapa, tatapan itu seperti sengaja diarahkan padanya.
Lobi sekolah sore itu ramai dengan siswa-siswi yang pulang. Suara langkah kaki bercampur dengan deru mobil para jemputan.
Latisha berdiri bersama Vion, Elang, Lauren, dan Aruna. Mereka masih bercanda kecil soal penampilan fashion show tadi.
“Serius, tadi Arion kayak model beneran sih,” ucap Lauren sambil terkekeh.
“Eh tapi Dion juga nggak kalah. Kalau disuruh pilih, susah tuh,” tambah Aruna, membuat mereka semua tertawa.
Di sela obrolan itu, Vion sedikit menoleh ke arah Latisha.
“Latisha, mau sekalian aku antar? Supirku udah nunggu di depan,” tawarnya dengan nada tulus.
Latisha tersenyum tipis, menoleh ke Vion.
“Terima kasih, Vion… tapi adik aku udah jalan kok. Sebentar lagi juga sampai.”
Ia lalu melambaikan tangan pelan ke arah Elang, Lauren, dan Aruna.
“Kalian duluan aja ya, jangan tungguin aku.”
“Yakin nih?” tanya Elang memastikan.
Latisha mengangguk mantap. “Yakin, beneran. Adekku bentar lagi nyampe.”
Mereka pun pamit satu per satu. Tinggal Latisha seorang diri menunggu di lobi. Dari kejauhan, terlihat Amar sudah mengendarai motor perlahan mendekat. Latisha langsung melambaikan tangan dengan semangat.
Namun tanpa ia sadari, dari sisi lain lobi, sepasang mata memperhatikannya lagi Argani. Duduk bersandar di bangku panjang, pandangannya tak lepas dari Latisha. Ada ketenangan sekaligus sesuatu yang misterius dari tatapannya.
Latisha yang merasakan tatapan itu sempat menoleh sekilas, tapi buru-buru menghindar. “Kenapa sih dia ada terus…” batinnya kesal, sebelum akhirnya Amar berhenti tepat di depan dan membuyarkan pikirannya.