Anindita (40), seorang istri yang berdedikasi, menjalani kehidupan rumah tangga yang tampak sempurna bersama Bima, suaminya, seorang insinyur. Namun, semua ilusi itu runtuh ketika ia mencium aroma sirih dan parfum vanila murahan yang melekat di pakaian suaminya.
Bima ternyata menjalin hubungan terlarang dengan Kinanti, seorang siswi SMP yang usianya jauh di bawahnya dan merupakan teman sekolah putra mereka. Pengkhianatan ini bukan hanya merusak pernikahan yang sudah berjalan delapan belas tahun, tetapi juga melukai harga diri Anindita secara telak, karena ia dibandingkan dengan seorang anak remaja.
Dipaksa berhadapan dengan kenyataan pahit ini, Anindita harus memilih: berjuang mempertahankan kehormatan keluarganya yang tercoreng, atau meninggalkan Bima dan memulai hidup baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansan Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rayhan dan Kopi Pahit
Dua hari berlalu dalam ketegangan yang mendesis. Anindita pergi ke kantor pengacara dan merampungkan surat-surat gugatan. Ia kembali ke rumah, mengganti semua kunci, dan menghapus semua jejak Bima yang ia temukan.
Rayhan pulang dari kemah pada sore hari. Anindita menjemputnya di gerbang sekolah, memeluk putranya erat-erat, mencium bau matahari dan hutan di rambutnya.
"Aku kangen, Bun!" seru Rayhan, membawa ransel besar. Remaja berusia 13 tahun itu tampak lebih tinggi dan lebih dewasa setelah tiga hari jauh dari rumah.
"Bunda juga kangen banget, Sayang," kata Anindita, berusaha keras agar suaranya terdengar normal.
Dalam perjalanan pulang, Rayhan bercerita antusias tentang api unggun, hiking, dan bagaimana dia berhasil menaklukkan rasa takutnya terhadap kodok. Anindita mendengarkan, sesekali tertawa kecil, menikmati momen kebahagiaan palsu yang ia ciptakan.
Setibanya di rumah, Rayhan langsung menyadari ada yang berbeda.
"Kok sepi, Bun? Ayah belum pulang kerja?" tanya Rayhan sambil meletakkan ranselnya. Ia melihat mantel Bima yang biasanya tergantung di gantungan kini sudah tidak ada.
Anindita menarik napas. Waktunya tiba.
"Rayhan, duduk sebentar, Nak. Bunda mau bicara sesuatu yang penting," kata Anindita, menggiring putranya ke meja makan.
Rayhan duduk, ekspresinya berubah khawatir. "Ada apa, Bun? Kenapa wajah Bunda serius sekali?"
Anindita mengambil segelas air dan duduk di hadapan putranya. Ia menatap mata Rayhan, mata yang sangat mirip dengan mata Bima, namun penuh dengan kepolosan remaja.
"Dengar, Sayang. Bunda dan Ayah sudah lama memiliki masalah yang besar," Anindita memulai, memilih kata-kata dengan hati-hati. "Masalah orang dewasa, ya. Bukan karena kamu atau apapun yang kamu lakukan. Kamu anak yang hebat."
"Masalah apa, Bun?"
"Kami... kami sudah tidak bisa bersama lagi, Rayhan. Kami sudah tidak sejalan. Kami sudah memutuskan untuk berpisah." Anindita menahan napas, menunggu ledakan emosi.
Rayhan terdiam. Tidak ada tangisan, tidak ada teriakan. Justru ekspresi bingung yang kemudian berubah menjadi sedih dan marah secara bersamaan.
"Berpisah? Maksud Bunda... cerai?" tanya Rayhan, suaranya sedikit pecah.
Anindita mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Iya, Sayang. Maafkan kami. Ini adalah keputusan yang sangat sulit, tapi ini yang terbaik untuk kami berdua."
"Kenapa? Kalian kan baik-baik saja!" seru Rayhan. "Waktu aku pergi, kalian masih kiss bye di depan pintu! Kalian bohongin aku?"
"Kami tidak bohong, Nak. Kami berusaha keras untuk baik-baik saja di depan kamu," jelas Anindita. "Tapi di belakang, kami sering bertengkar. Kami punya pandangan hidup yang berbeda, kami punya masalah komunikasi yang tidak bisa diperbaiki lagi."
Anindita mengulurkan tangannya, meraih tangan Rayhan. "Ayah akan pindah. Tapi Ayah tetap akan sering bertemu denganmu. Kita sudah atur jadwalnya. Ayah tetap Ayah kamu. Bunda tetap Bunda kamu. Kita akan tetap menjadi keluarga, hanya saja tidak tinggal di bawah satu atap."
Rayhan menarik tangannya, menyandarkan punggungnya ke kursi. "Aku nggak mau. Aku maunya Ayah di sini. Kenapa Ayah nggak ada di sini buat jelasin?!"
"Ayah sedang mengurus barang-barangnya, Nak. Dia akan menghubungimu nanti," dusta Anindita. Ia tidak ingin Bima dan Rayhan bertemu saat ini.
"Pasti karena Bunda ngomel terus soal kemeja Ayah kan? Atau soal Ayah sering telat pulang? Aku dengar lho, Bun!" tuduh Rayhan.
Tuduhan itu menyakitkan. Anindita harus menahan lidahnya untuk tidak membongkar kebenatan Kinanti. "Bukan, Rayhan. Ini bukan salah siapa-siapa. Ini bukan salah Ayah, bukan salah Bunda, apalagi salah kamu. Ini adalah takdir, Nak. Kita harus hadapi ini bersama."
Anindita memeluk Rayhan, membiarkan putranya menangis pelan di bahunya. Tangisan itu adalah tangisan atas hancurnya dunia kecil Rayhan, dan itu adalah rasa sakit terbesarnya saat ini.
Kopi Pahit dan Audit Mendadak
Keesokan harinya, Anindita bertemu dengan Pengacara Purbaya untuk membahas detail aset. Purbaya menyarankan agar Anindita segera melakukan audit keuangan rumah tangga secara mandiri.
"Tuan Bima pasti sudah menyadari bahwa ia kalah dalam hak asuh," ujar Purbaya di kantornya. "Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah mencoba mengamankan aset atau menyembunyikan uang. Kita harus bergerak cepat."
Anindita, dibantu seorang akuntan forensik, menghabiskan malam itu mengorek laptop Bima dan mencari tumpukan surat-surat tagihan. Anindita adalah manajer rumah, namun Bima yang selalu mengurus rekening utama dan investasi.
Pukul dua pagi, Anindita duduk di meja dapur, menyeduh kopi hitam pekat. Ia berhasil mendapatkan akses ke akun e-banking Bima, menggunakan password yang selama ini ia hafal (nama Anindita dan tanggal jadian—sebuah ironi yang menyedihkan).
Saat membuka riwayat transaksi, kopi pahit di tangannya terasa semakin getir.
Awalnya, semua tampak normal: gaji bulanan Bima masuk, cicilan rumah, tagihan kartu kredit. Namun, di antara transaksi rutin itu, Anindita menemukan sejumlah transfer tunai yang mencurigakan.
Transfer itu dilakukan secara berkala selama tiga bulan terakhir, ke sebuah rekening atas nama yang asing: 'PT. Jaya Properti Abadi'. Jumlahnya signifikan, mencapai total hampir Rp 75 juta.
Anindita terkejut. Bima adalah insinyur sipil di perusahaan kontraktor besar, bukan makelar properti. Kenapa ada transfer besar ke perusahaan properti yang tidak ia kenal?
Lalu, matanya menangkap transaksi lain, yang lebih kecil namun terjadi lebih sering: transfer mingguan sebesar Rp 500.000 ke rekening yang hanya diberi nama inisial: 'K.N'.
K.N.. Kinanti.
Jantung Anindita berdegup kencang. Transfer ini dilakukan rutin, setiap hari Senin. Uang jajan, uang sepatu, uang rokok, uang pelarian. Bima memang membiayai mainan barunya.
Anindita menghela napas, berusaha menenangkan emosinya dan fokus pada angka besar: Rp 75 juta ke PT. Jaya Properti Abadi.
Ia kembali mencari dokumen di dalam flashdisk Bima. Dan di dalam folder tersembunyi berlabel 'Proyek Baru', ia menemukan dokumen yang membuat darahnya mendidih.
Itu adalah Surat Perjanjian Pembelian Unit Apartemen Studio atas nama Bima Prasetya. Lokasinya tidak jauh dari kantor Bima. Dan uang Rp 75 juta itu adalah uang muka untuk unit tersebut.
Bima tidak hanya selingkuh, ia sudah merencanakan hidup barunya secara matang. Apartemen studio itu pasti akan digunakan untuk berkencan dengan Kinanti, dan mungkin selingkuhan-selingkuhan lain di masa depan. Ia bukan hanya khilaf, ia pengkhianat yang terencana.
Anindita mengepalkan tinju di atas meja dapur. Rasa sakit karena dikhianati kini berganti menjadi amarah yang dingin dan terkendali.
Ia memotret semua bukti e-banking itu. Kopi di tangannya sudah dingin, tapi tekad Anindita sudah membara panas.
"Oke, Bima," bisiknya di keheningan dapur. "Kau mau bermain kotor dengan uang? Aku akan pastikan kau membayar mahal untuk setiap sen yang kau gunakan, dan setiap kebohongan yang kau ciptakan."