Gisva dan Pandu adalah pasangan kekasih yang saling mencintai. Seiring berjalannya waktu, hubungan keduanya semakin merenggang setelah kehadiran seseorang dari masa lalu.
Hingga saatnya Pandu menyadari siapa yang benar-benar dia cintai, tapi semua itu telah terlambat, Gisva telah menikah dengan pria lain.
**
“Gisva maaf, aku harus ke rumah sakit sekarang juga, Kalila kecelakaan.”
Pandu hendak berbalik badan, tapi tangannya ditahan Gisva. “Tunggu mas.”
“Apalagi Gis, aku harus ke rumah sakit sekarang juga, Kalila kritis.”
“Hiks.. Hiks… Mas kamu tega, kamu mempermalukan aku mas di depan banyak orang.” Gisva menatap sekeliling yang tengah pada penasaran.
“GISVA! sudah aku bilang aku buru-buru. Hari pertunangan kita bisa diulang dihari lain.” Pandu melepaskan tangannya sekaligus membuat Gisva terhuyung dan terjatuh.
“Mass…” Panggil Gisva dengan suara bergetar.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka berdua? baca di bab selanjutnya! 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Athariz271, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gisva sakit?
Setelah pulang makan siang, Gisva kembali tidak enak badan. Ia langsung berlari ke kamar mandi dan muntah-muntah.
"Hueeek... hueeek..."
Sari yang mendengar suara Gisva, segera menghampirinya.
"Mbak Gis kenapa?" Sari mengetuk pintu kencang dipenuhi kekhawatiran.
Tak lama Gisva keluar dengan wajah pucat dan lemas. Sari buru-buru membantu Gisva duduk ditepi ranjang.
“Sari panggilkan dokter aja ya mbak?”
Gisva menggeleng lemah. "Gak usah mbak. Mungkin kecapekan aja atau mabuk kendaraan kali ya, mual banget."
Sari mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, mungkin juga sih. Sari buatkan teh hangat aja ya.” Ucapnya sambil berjalan keluar kamar.
Gisva merebahkan tubuhnya diranjang, matanya memejam merasakan pusing di kepala.
“Padahal gak habis ngapa-ngapain, tapi kok pusing banget sih.” Gumamnya tak begitu jelas, sambil memijat-mijat kepala.
Tak lama kemudian, Sari datang membawa secangkir teh hangat dan menghampiri Gisva.
"Ini diminum dulu, Mbak!" ujar Sari sambil membantu Gisva duduk.
Gisva menerima cangkir teh itu dan menyesapnya perlahan.
"Gimana, Mbak?" tanya Sari.
"Lumayan, agak enakan." jawab Gisva kembali merebahkan tubuhnya.
“Sari duduk memijat- mijat pelan kaki majikannya itu, tapi Gisva buru-buru menolak karena merasa gak enak.
“Gak usah mbak, aku mau istirahat aja. Mbak juga istirahat gih.”
"Ya udah, Mbak Gis istirahat ya. Jangan lupa diminum tehnya." pesan Sari seraya bangkit.
Gisva mengangguk. “Iya mbak, makasih ya.” Sari keluar dari kamar dan menutup pintu dengan pelan.
Saat Gisva hendak memejamkan matanya, tiba-tiba ia teringat dengan kejadian di rumah makan tadi.
"Apa benar itu Mas Naresh?" batin Gisva.
Ia meraih ponselnya, tak ada pesan apapun dari suaminya. Gisva menimbang-nimbang untuk menghubungi suaminya lebih dulu, tapi dia takut mengganggu pekerjaan suaminya dan juga masih dalam jam kerja.
"Ah, sudahlah. Mungkin aku salah lihat aja." Gumam Gisva. Ia meletakkan kembali ponselnya dan mencoba untuk tidur.
Di sisi lain, Naresh baru saja sampai di rumah. Ia merasa lega karena sudah menyelesaikan urusannya dengan Alina. Kini, ia bisa fokus pada istrinya.
Naresh masuk ke dalam rumah dengan penuh kerinduan, ingin segera bertemu dengan istrinya dan memeluknya erat-erat.
"Assalamualaikum, sayang." Teriak Naresh saat memasuki rumah.
"Waalaikumsalam, mas." jawab Sari dari arah dapur.
"Gisva mana, mbak?" tanya Naresh.
"Mbak Gis lagi istirahat di kamar, Mas. Tadi habis muntah-muntah, gak enak badan." jawab Sari.
Naresh terkejut mendengar ucapan Sari, kenapa gak ada yang mengabarinya kalau Gisva sakit.
“Kenapa gak bilang kalau Gisva sakit?” Tanya Naresh.
“Mbak Gisva melarang mas, gak mau juga dipanggilin dokter.” Jawab Sari.
Naresh hendak beranjak menemui istrinya dikamar, tapi Sari menghentikan langkahnya.
“Tunggu mas.” Sari menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan perkataannya.
“Ada apa mbak?”
“Mas, Sari mau ngomong sesuatu.” ucap Sari serius, sesekali melirik tangga.
Naresh menatap Sari dengan tatapan bingung. “Ngomong apa, mbak? Serius banget.”
“Tadi… tadi siang, Sari lihat Mas Naresh di rumah makan Sunda.” ucap Sari hati-hati.
Naresh terdiam. Wajahnya langsung berubah pucat, apa Sari melihatnya bersama Alina.
“Lalu?”
“Sari lihat Mas Naresh sama… sama mbak Alina pelukan.” jawab Sari pelan.
Naresh menghela nafas panjang, Sari telah lama bekerja dirumahnya. Apapun kejadian di rumahnya pasti dia mengetahuinya, termasuk perjodohannya dengan Alina.
“Kenapa mas? Kenapa mas Naresh lakukan itu? Mas Naresh sendiri yang menolak perjodohan itu, mas Naresh juga yang memutuskan untuk menikahi mbak Gisva.” ucap Sari kecewa.
Naresh menunduk tak berani menatap Sari, dan merasa bersalah.
“Sari gak tahu apa yang kalian lakukan, tapi kenapa harus bohongin mbak Gisva dengan bilang mau keluar kota, kasihan mbak Gisva, mas. Dia tidak tahu apa-apa.”
Naresh mengangkat wajahnya, menatap Sari dengan tatapan memohon. “Mbak, aku bisa jelasin semuanya. Tapi tolong, jangan bilang apa-apa dulu sama Gisva. Aku mohon, ini gak seperti yang mbak pikirkan. Kemarin aku memang keluar kota, tapi tante Wida ada menghubungiku, aku pikir ini kesempatan untuk memutuskan semuanya.” jelas Naresh.
Sari terdiam, menatap Naresh dengan tatapan ragu. Naresh tidak mungkin sengaja menyakiti Gisva, tapi ia juga tidak bisa membenarkan tindakan Naresh yang sudah membohongi istrinya.
“Tapi kenapa harus peluk-pelukan, apalagi ditempat umum?” Sari masih belum percaya sepenuhnya.
“Aku sama sekali gak pelukan.” Naresh berusaha meyakinkan Sari, “Aku refleks menahan Alina yang tersenggol orang.”
Sari menatap Naresh, mencoba mencari kebohongan di matanya. Tapi yang ia lihat hanyalah penyesalan dan kejujuran.
“Beneran?” tanya Sari lagi.
Naresh mengangguk dengan sungguh-sungguh. “Iya, Mbak, percaya sama aku. Aku gak mungkin nyakitin Gisva.” jawab Naresh.
Sari menghela napas panjang. “Ya udah, lain kali gak usah ketemu dia lagi. Sari gak tanggung jawab kalau mbak Gisva tau yang sebenarnya.
“Gak akan. Aku sudah memutuskan semuanya pada Alina.”
“Lalu nyonya Wida?” Tanya Sari mengangkat satu alisnya.
Naresh terdiam, lalu menggeleng pelan. “Aku gak tau,”
Sari menghela nafas berat, “Yaudah, Mas. Sekarang temuin Mbak Gisva. Dia pasti nungguin.” suruh Sari.
Naresh mengangguk. Lalu berjalan menuju anak tangga. Tak lama kembali menoleh menatap Sari yang masih terdiam di tempatnya.
“Apa Gisva tau kejadian tadi?” Tanyanya.
Sari menoleh, lalu menggeleng pelan. “Sari gak yakin, tapi tadi dia…” Sari menggantungkan kalimatnya.
Naresh menatap Sari dengan tatapan cemas. “Tadi apa, Mbak?”
Sari menghela napas. “Gak tau sempat melihat atau tidak, karena Sari buru-buru menarik tangannya masuk.”
Naresh mengangguk, jadi benar dua orang yang dilihatnya tadi adalah istrinya. Naresh semakin merasa khawatir, lalu berlari menaiki anak tangga.
"Gisva, kamu kenapa, sayang?" Naresh membuka pintu langsung menghampiri istrinya.
Gisva yang sedang berbaring di ranjang, terkejut melihat kedatangan Naresh. Ia segera duduk dan menatap Naresh.
“Mas, udah pulang?”
“Kamu sakit apa? Kenapa gak bilang mas, sayang?” Naresh meraba kening Gisva, khawatir.
Gisva tersenyum tipis. “Gak apa-apa kok, Mas. Cuma pusing sama mual aja, masuk angin kayaknya.” jawab Gisva.
Naresh mengerutkan keningnya. “Kamu udah makan? Kenapa gak ke dokter aja, ayok mas temenin.”
“Gak usah mas, istirahat aja nanti juga baikan.”
Naresh mengecup kening Gisva, “Mas bersih-bersih dulu bentar. nanti kita bobo, ya. ”
Bersambung…