Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belongs To Him
Suara langkah Emeline menggema lembut di lantai marmer, mengiringi Sara yang berjalan pelan melewati area butik lantai satu. Beberapa pekerja proyek tampak sibuk menyelesaikan detail terakhir, mengecek panel pencahayaan, merapikan furnitur, dan mengatur ulang vas kaca tinggi yang diletakkan sebagai aksen ruangan.
Tangga spiral dari besi tempa berwarna abu gelap membawa mereka ke lantai dua, di mana area utama butik mulai terlihat bentuknya. Dinding-dinding telah dicat warna krem elegan, lampu gantung sudah terpasang, dan lantai kayu mengilat karena baru dipernis. Meski masih kosong, ruangan itu sudah terasa hidup.
Naik ke lantai tiga, suasananya lebih tenang. Lorong memanjang menuju beberapa ruang studio desain, ruang penyimpanan, dan satu ruang paling ujung, ruang kerja pribadi Sara.
Emeline membuka pintu ruangan itu pelan.
Di dalam, hanya ada satu meja dan dua kursi. Dinding ruangan masih polos, tapi jendela kaca tinggi di sisi selatan menyajikan pemandangan kota yang terpantul terang di bawah langit siang yang cerah.
Balkon kecil terbentang di sana.
Dan di sanalah perhatian Sara tertuju.
Ia melangkah pelan, membuka pintu geser kaca, lalu berdiri diam. Angin menyentuh rambutnya. Tempat itu terasa terlalu familiar.
“Kalau begitu, saya tinggal dulu, Nona. Saya harus periksa area belakang. Tapi saya bawa ponsel kalau ada apa-apa,” ucap Emeline dari balik pintu.
Sara hanya mengangguk. Matanya masih tertuju pada balkon tempat favoritnya. Ruang itu seperti bayangan masa lalu yang tiba-tiba jadi nyata. Seolah waktu memutar ulang apa yang pernah ia ucapkan pada Nicko beberapa bulan lalu.
Langkah Emeline perlahan menghilang. Lalu... hening.
Sara menarik napas panjang.
Tapi sebelum udara penuh memenuhi dadanya, ia tahu.
Ia tidak sendiri.
Ada langkah pelan di belakangnya. Tak cepat, tapi membuatnya waspada.
Suara itu datang tak lama kemudian.
"Apakah ini sesuai bayanganmu?"
Sara tak menoleh. Ia tetap menatap langit yang mulai kelabu. Tapi tubuhnya mulai tegang. Bukan karena cuaca, tapi karena suara yang terlalu ia kenal.
Ia berbalik perlahan. Dan seperti dugaan, pria itu berdiri di sana.
“Kenapa kau buat tempat ini begitu sempurna, jika hanya untuk mengurungku?” tanyanya pelan, tapi nadanya tajam.
Nicko tidak langsung menjawab. Ia hanya mengambil satu langkah panjang, cukup untuk membuat Sara terdesak.
Sara langsung mundur Punggungnya membentur pagar balkon.
Sebelum ia sempat berpaling, dua tangan Nicko sudah bertumpu di pagar di sisi kanan dan kiri, mengurung tubuhnya.
Sara menatap langsung ke matanya.
Berani. Meski dagunya bergetar dan jari-jarinya gemetar saat mendorong dada pria itu. Trauma itu masih di sana, mencengkeram, tapi ia tidak lari kali ini.
"Kau tidak sedang dikurung, Sara," bisik Nicko pelan, suaranya menggetarkan kulitnya saat bibirnya menyentuh sisi telinga.
"Kau sedang dilindungi. Kau hanya terlalu keras kepala untuk melihatnya."
Sara menarik napas tajam.
Tubuhnya berusaha kabur ke belakang, tapi pagar batu dingin membatasi. Ia mendorongnya lagi, lebih keras. Tapi Nicko tidak mundur. Ia justru menunduk lebih dekat.
“Jangan pikir aku akan tinggal diam di sangkar ini,” katanya gemetar.
“Butik ini... ya, ini memang mimpiku. Tapi kau, bukan bagian dari mimpi itu."
Nicko tidak tertawa. Tidak juga marah. Ia hanya menyibak rambut dari wajah Sara dengan tenang Nicko menunduk lebih dekat, wajahnya menyentuh rambut Sara yang jatuh di pundak.
Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan aroma amber yang hangat dan manis memenuhi dadanya, aroma khas yang selalu membuatnya kehilangan kendali.
“Mimpi atau bukan, aku tetap akan ada di sini Sara. Karena kenyataanmu tidak pernah bisa lepas dariku.”
Sara mengerjap, dan tubuhnya menegang saat napas Nicko terasa terlalu dekat.
“Kau bisa mengelak, menyebutku bukan bagian dari hidupmu,” lanjutnya dengan datar, “tapi semua ini... bangunan ini, tempat ini, bahkan udara yang kau hirup sekarang, aku yang buat jadi mungkin.”
Sara terdiam, rahangnya mengeras.
Nicko menarik diri sedikit hanya untuk menatap mata Sara. Pandangannya begitu dalam dan menikmati setiap detik ketakutan di matanya.
“Jadi lari saja. Tapi cepat atau lambat, kau akan sadar. Tak ada tempat di dunia ini yang bisa jauh dariku.”
Nicko akhirnya mundur perlahan. Saat melihat tubuh Sara mulai menggigil dan bibirnya bergetar, ia tak mengatakan apa pun lagi. Tak ada rasa bersalah.
Ia hanya berbalik, meninggalkan ruang itu dengan langkah tenang, seolah yang barusan terjadi hanyalah percakapan biasa.
Tangannya masih bergetar saat pintu balkon tertutup di belakang Nicko.
Untuk beberapa saat, Sara tetap berdiri mematung, seolah waktu menahannya di titik itu. Sinar matahari menyusup dari sela balkon, menghangatkan kulitnya, tapi yang terasa justru dingin, karena sisa suara pria itu masih menggema di telinganya, datar dan penuh keyakinan yang menyesakkan.
Ia menarik napas panjang. Tapi dadanya tetap berat. Dengan langkah pelan, ia kembali masuk ke ruang utama dan menutup pintu balkon. Cahaya dalam ruangan menyambutnya, terang tapi tak menawarkan ketenangan. Tangannya menyentuh meja, mencari tumpuan.
Dia selalu begitu... selalu membuatku merasa kecil.
Ia berjalan ke sudut ruang kerjanya, tempat sebuah wastafel kecil tertanam rapi di atas kabinet kayu pucat. Ia membasuh wajahnya pelan, membiarkan air dingin menetes di sepanjang rahangnya sebelum ia menyekanya dengan handuk kecil.
Aku tidak akan jatuh lagi.
Sara menggigit bibir, mencoba mengunci rasa takut yang menyelinap naik ke tenggorokannya.
Meski dadanya masih terasa sesak dan lututnya sempat gemetar, ia memaksa langkahnya tetap tegak.
Ketakutan dan trauma itu masih ada, mengendap dari dalam, tapi ia menolak tunduk.
Aku hanya butuh satu celah kecil. Sekecil apa pun. Dan aku akan keluar dari sini… pelan-pelan.
...----------------...
Langkah Sara terdengar pelan menuruni tangga.
Wajahnya masih pucat, tapi napasnya mulai stabil. Ia menunduk sejenak di depan meja kasir, mencoba mengalihkan pikirannya dari bayangan pria itu… dari suara dingin yang tadi menghantuinya.
Suara bor dan obrolan teknisi terdengar samar dari sudut ruangan. Dua orang sedang memasang kabel untuk CCTV di langit-langit, sementara seorang teknisi lainnya sedang mengecek sambungan mesin kasir yang baru tiba siang tadi. Layar monitor kecil menyala, memperlihatkan tampilan awal sistem. Sara menyentuh permukaannya pelan, memastikan semuanya bekerja sebagaimana mestinya.
Di tengah riuh rendah proyek yang belum selesai, ia berdiri diam, berusaha terlihat tenang, meski pikirannya masih kacau.
Pikirannya dipaksa kembali pada realita.
Dan realitanya sekarang. Solea Paris sedang bersiap tampil di Milan Fashion Week dua minggu lagi. Proses kurasi koleksi sudah mendekati tahap final. Ia harus tetap terlibat.
Suara notifikasi video call memecah lamunannya.
Nadine dari Paris muncul di layar, senyum lelah tapi ia terlihat semangat.
“Sara, kami butuh pendapatmu soal urutan tampil koleksi silk-matte dan gaun transparan. Deadline pengajuan show rundown tinggal tiga hari.”
Sara menarik napas pelan. Ia mengangguk.
“Aku lihat dulu posisi sekuens-nya. Kirimkan semuanya malam ini.”
Setelah panggilan berakhir, ia meletakkan tabletnya di atas meja dan memandang sekeliling butik yang masih kosong. Ruangan itu masih dipenuhi bahan material, kardus, dan beberapa rak setengah jadi. Hanya satu lampu gantung menyala, memantulkan bayangan samar pada dinding polos dan lantai yang belum sepenuhnya bersih.
Jika ia tak bisa bebas sekarang, maka setidaknya... ia tetap memegang kendali di ruang ini.
Sara membalikkan tubuhnya. Dan meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi.
...----------------...
Jam delapan malam.
Nicko turun dari mobilnya dengan langkah berat. Tanpa jas, hanya kemeja hitam terbuka hingga dada, memperlihatkan guratan samar tato di sisi kirinya. Dasi sudah dilonggarkan. Tangannya membawa jas hitam kusut, seolah tak peduli lagi dengan formalitas atau penampilan.
Ia pulang lebih awal dari biasanya. Jika saja tidak ada pertemuan penting tadi siang, mungkin ia sudah duduk diam di butik Sara, menemaninya atau bahkan memaksanya berhenti sejenak hanya untuk makan malam bersamanya.
Ia merindukannya. Sampai otaknya terus memutar ulang bayangan wajah Sara yang menatapnya ketakutan.
Ekspresi itu semestinya membuatnya merasa bersalah, tapi justru memuaskan sisi tergelap dalam dirinya.
Begitu pintu penthouse terbuka, langkahnya terhenti sejenak.
Rafael berdiri di dekat meja ruang tengah, kepalanya tertunduk, seperti sudah menunggu. Ia tak perlu bicara. Nicko tahu dari gerak tubuhnya, Sara sudah pulang sejak sore.
Matanya melirik jam dinding.
Masih pukul delapan. Terlalu awal untuk tidur, kecuali dia kembali menelan obat itu.
Pikirannya mengendap di sana, dan bibirnya terangkat pelan. Sebuah senyum samar yang tak tahu malu, campuran rasa ingin tahu, dan sesuatu yang lebih gelap dari sekadar hasrat.
Satu bagian dalam dirinya ingin masuk kamar sekarang juga. Tapi sisi lainnya justru menikmati lamunan itu...
Membayangkan tubuh Sara yang meringkuk di balik selimut, napasnya pelan, mungkin masih mengenakan blus kerja yang belum sempat diganti.
Ting.
Lift terbuka di lantai tiga.
Nicko melangkah keluar, menyusuri lorong menuju kamar Sara.
Ia membuka pintu.
Jas ia lempar sembarangan ke sofa.
Aromanya langsung menyergap.
Aroma sabun.
Ruangan itu kosong, tapi rasanya seperti Sara ada di mana-mana.
Lampu menyala. Laptop terbuka di meja kecil dan masih menyala.
Nicko melangkah pelan, menatap sekeliling.
Lalu matanya menangkap sesuatu.
Pintu kamar mandi terbuka sedikit. Uap tipis masih menggantung di udara, perlahan memudar, jelas bahwa seseorang baru saja selesai mandi dan keluar dari ruangan tanpa terburu-buru.
Ia berjalan mendekat tanpa mengetuk.
Tangan panjangnya menyentuh gagang pintu dan mendorongnya perlahan. Bukan dengan sembunyi-sembunyi, tapi juga tidak sampai terbuka lebar, sekadar cukup untuk mengintip ke dalam.
Pandangannya tertahan di sana, tubuhnya mendadak kaku.
Saat itu, waktu serasa melambat.
Sara duduk di tepi bathtub, satu kaki bertumpu di pinggir bak, lutut terangkat saat ia mengoles lotion ke pahanya perlahan. Piyama putih tipis yang ia kenakan nyaris tak bisa menyembunyikan apa pun, jatuh dari bahu kirinya, memperlihatkan kulit pucat dan garis tulang selangka yang dalam cahaya tampak rapuh namun indah.
Gerakannya santai, seolah tak sadar belahan dadanya ikut terbuka, memperlihatkan payudara yang penuh, besar tapi proporsional, tertutup setengah, cukup untuk membakar imajinasi siapa pun yang melihat.
Dan Nicko melihat. Menyerap setiap inci tanpa berkedip, seolah tubuh Sara adalah pemandangan yang diciptakan untuk membuatnya hancur perlahan.
Nicko membeku. Dadanya bergemuruh. Suara dunia mendadak hilang, yang tersisa hanya detak jantung yang memukul keras di dalam.
Sialan, batinnya. Ini seperti hukuman... atau hadiah yang menyakitkan.
Satu detik.
Dua.
Baru di detik ketiga, Sara sadar. Matanya membulat, lalu-
"Nicko?!"
Ia tersentak buru-buru menjatuhkan kakinya dan menarik bagian piyama yang melorot. Tapi gerakannya panik. Dan itu tak menghapus gambaran yang sudah terpatri di kepala Nicko.
Nicko menatapnya. Diam.
Bukan karena bingung, tapi karena tergoda.
Melihat Sara yang buru-buru menutupi diri malah membuatnya makin menginginkannya.
Tubuh itu, ekspresi itu, terlalu sulit untuk diabaikan.
Dia melangkah masuk.
"Pintu yang terbuka... bisa jadi undangan yang salah, Sara." Suaranya berat hampir tak terdengar.
pelan" akan terobati...
kasihan Nick selalu bermain solo
karena ingin menyembuhkan Sara...
lanjut thor ceritanya
Sara bisa tenang
berada di sisi Nick
bisa jadi obat untuk trauma nya
yg menyakiti akan menyembuhkan
lanjut thor ceritanya
tetapi masih mengikuti keegoisannya...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya lagi