Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#20
Desi akhirnya masuk ke dalam setelah beberapa menit terdiam sambil memandangi punggung Afi dengan tatapan kesal. Malam ini dia mungkin tidak berhasil membuat pria itu tunduk padanya. Tapi masih ada malam-malam berikutnya. Dia yakin dia akan berhasil nanti.
Sementara itu, Afi masih sibuk dengan gawai miliknya. Dia masih terus berusaha untuk menghubungi Nindi. Padahal, dia tahu kalau usahanya itu akan tetap sia-sia. Karena sekali Nindi kesal, maka akan sulit untuk membujuknya.
*
Pagi-pagi sekali Afi sudah siap untuk meninggalkan Desi. Tentu saja setelah drama panjang yang telah mereka lewati tadi malam. Mulai dari usaha Desi yang gagal, hingga permintaan Afi untuk pisah ranjang. Tadi malam, benar-benar hal yang sangat menjengkelkan bagi Desi.
"Apakah harus pulang sepagi ini, Fi?"
"Iya. Tentu saja. Aku sudah melewatkan janji untuk pulang tadi malam. Jadi, aku harus pulang cepat pagi ini."
"Tapi ... iya, baiklah. Pulanglah. Titip salam buat Nindi. Sampaikan permintaan maaf ku padanya karena telah menahan kamu di sini tadi malam."
"Hm. Baiklah. Akan aku katakan."
Tentu saja jawaban itu bukan jawaban yang Desi inginkan. Tapi yah, mau bagaimana lagi? Hati Afi sulit untuk ditaklukkan. Desi ingin sekali menunjukkan rasa kesal yang sedang bersarang dalam hatinya. Hanya saja, dia sadar, itu bukanlah pilihan yang tepat.
Hanafi yang dibenaknya hanya ada Nindi, tentu saja tidak ingin memikirkan hal lain. Dia berjalan cepat meninggalkan kamar pengantin mereka tanpa menoleh.
Saat pintu terbuka, Lena sudah berdiri di sana. Tatapan mata lugu cukup mampu untuk menahan langkah Afi yang ingin segera meninggalkan tempat tersebut. Afi pun berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Lena.
"Selena. Selamat pagi." Afi berucap dengan wajah bahagia. Dia singkirkan wajah cemas yang sebelumnya ada di wajah sebelumnya.
"Om papa. Mau ke mana?"
"Om papa mau pulang ke rumah nenek, sayang. Mau lihat tante Nindi sedang apa." Jujur Afi pada anak kecil tersebut.
"Gak boleh," ucap Lena dengan nada khas miliknya.
Afi pun langsung mengernyitkan mata karena ucapan Lena barusan. "Gak boleh? Kenapa, sayang? Kok gak boleh sih?"
"Lena mau main sama om papa. Lena gak mau om papa pergi."
Anak kecil itupun langsung Afi raih agar bisa masuk ke dalam pelukannya. Setelahnya, Afi menggendong tubuh mungil milik Selena dengan penuh kasih.
"Lena sayang. Om papa harus pulang karena ada hal yang harus om papa lalukan. Lena bisa main sama mama dulu ya."
"Gak mau! Lena gak mau main sama mama. Maunya sama om papa. Lena mau main sama om papa."
Dengan wajah bahagia, Desi keluar dari dalam kamar. "Lena sayang, om papa harus pulang dulu. Nanti sore, om papa akan kembali. Jadi, Lena harus sabar jika mau main sama om papa ya, Nak."
"Nanti ... sore?"
"Fi." Desi memberi kode pada Afi untuk membenarkan apa yang baru saja dia katakan.
Tentu saja Afi merasa cukup keberatan. Tapi, perasaan tidak tega malah membuatnya langsung mengiyakan apa yang hatinya tidak inginkan. Maklum, sejak awal pun, sejak sang kakak masih ada, Lena juga sudah cukup dekat dengan dia. Yah, namanya juga keponakan pertama dan satu-satunya dalam keluarga. Jadi, wajar jika anak itu cukup di manja.
"Iya, iya baiklah. Om papa akan kembali buat main sama Lena nanti sore."
"Janji," ucap si gadis kecil sambil mengangkat jari kelingking di depan wajah Afi.
"Iya. Janji, nona sayang."
"Hore ... Lena tunggu. Om papa harus kembali secepatnya."
"Hm. Baiklah."
Setelah membuat kesepakatan dengan Lena, Afi pun langsung meninggalkan rumah tersebut. Dia pergi dengan hati yang sedikit berdebar. Maklum, yang akan dia temui adalah orang yang ia cintai. Mana dia baru saja melanggar janji yang dia buat lagi. Sudah pasti dia harus berhadapan dengan wajah yang tidak enak di lihat oleh mata nantinya setelah bertatap muka.
"Huh .... " Berulang kali Afi melepas napas berat. Sambil mengemudi, sambil berusaha menenangkan hati.
Mobil itupun melewati tempat yang menjual bubur ayam. Afi menepikan mobilnya. Dia masih ingat dengan sangat baik kalau Nindi sangat menyukai makanan tersebut. Afi membelikan dua porsi bubur ayam untuk dirinya dan untuk sang istri.
"Dua saja sudah cukup. Mama dan Hana, mungkin mereka sudah sarapan. Jadi, tidak perlu lagi." Afi berucap sambil melihat ke arah plastik yang dia jinjing.
Senyum terkembang di bibir Hanafi. Segera dia kembali ke mobil sambil membawa bubur ayam yang sudah dia beli. Hatinya semakin tak sabar untuk kembali ke rumah. Walaupun dia tahu, pertemuannya dengan Nindi pasti tidak akan berjalan dengan baik.
Sementara itu, di sisi lain, tepatnya di kediaman ayah Nindi. Sadan datang bertamu dengan membawakan satu pot kecil tanaman anggrek.
Pria itu datang bertamu pagi-pagi sekali dengan alasan agar ayah Nindi membantunya menyelamatkan tanaman favoritnya itu.
Padahal, itu hanya sebagai alasan saja. Karena niat utama dari kedatangan Sadan pagi ini hanya untuk melihat Nindi. Memberikan sarapan untuk si perempuan yang selalu hadir dalam benaknya. Yang sudah merusak pikiran jernih Sadan sejak awal bertemu.
"Mm ... pak Roslan bisa menyelamatkannya 'kan, Pak?"
"Ini ... kita coba saja, Nak. Mungkin masih bisa diselamatkan."
"Huh. Baguslah kalau gitu, pak."
"Oh iya, sarapannya .... "
"Ayo sarapan sama-sama!"
Ucapan yang langsung membuat senyum manis terkembang di bibir Sadan. Bahagia? Tentu saja. Karena itulah yang dia harapkan dengan kedatangannya pagi ini.
"Anin, apa sudah siap?"
"Iya, Yah. Sudah."
"Nak Sadan, ayo!"
"Mm .... " Sadan melirik Nindi yang masih diam tanpa mengeluarkan suara. Tidak mengajaknya bicara sejak tadi.
Seolah mengerti dengan apa yang Sadan pikirkan, Anindia pun angkat bicara. "Belum sarapan, kan? Ayo! Sarapan sama-sama."
"Ah, he he." Sadan tertawa kecil. "Iya. Belum ... sempat. Soalnya ... cemas."
Nindi hanya mampu tersenyum kecil dengan sikap Sadan yang cukup lucu. Pria itu cukup terlihat kekanak-kanakan sebenarnya. Namun, dia punya daya tariknya tersendiri. Dia mungkin lebih asik dari pada pria yang selalu menjaga harga diri yang tinggi.
*
Mobil yang Afi kendarai kini telah tiba ke halaman rumah. Senyum manis kembali terkembang. Setelah turun dari mobil, Afi langsung mendongak untuk melihat ke arah kamar tidur mereka.
"Anin, aku pulang." Afi berucap lirih.
Setelah menarik napas dalam-dalam, lalu melepas dengan kasar, Hanafi langsung mengambil langkah besar untuk masuk ke dalam rumah. Namun, baru juga masuk, langkah itu malah langsung tertahankan. Penyebabnya adalah, obrolan sang mama yang mengatakan bahwa Anindia sudah tidak ada di rumah lagi sekarang.
"Apa? Anin, tidak ada?"
Bubur yang dia bawa terjatuh. Wajah bahagianya menghilang. "Dia pergi ke mana?"
"Hanafi. Sejak kapan kamu di sana?" Wajah Nisa terlihat sangat terkejut.
Namun, Afi tidak ingin memikirkan apa yang sedang sang mama rasakan. Karena baginya saat ini hanyalah keberadaan Anindia yang paling penting.
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.