Hidup Singgih yang penuh kegelapan di masa lalu tanpa sengaja bertemu dengan Daisy yang memintanya untuk menjadi bodyguard-nya.
Daisy
Penulis: Inisabine
Copyright Oktober 2018
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Inisabine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Mobil berhenti di pinggir jalan, di depan sebuah gedung apartemen mewah di bilangan Kemang.
"Kita masih bisa bertemu, kan?" Ajeng yang berada di balik kemudi setir menoleh ke Singgih yang duduk di sampingnya.
Telepon saja kalau kamu butuh bantuanku. Singgih melepas tali sabuk pengaman.
Singgih membuka pintu mobil, sebelah kakinya sudah menjejak di aspal, tapi tubuhnya masih tertahan di tempat ketika Ajeng memanggilnya.
Mata Ajeng menatap lekat Singgih. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, namun ragu kemudian. Ia hanya tersenyum sembari berkata, "Nggak pa-pa. Lain kali kita bertemu lagi."
Singgih balas tersenyum. "Hati-hati di jalan."
"Hmph." Ajeng mengangguk. "Daah."
"Daah."
Singgih melompat turun dan melepas mobil yang mengantarnya melaju pergi.
Langit telah berubah gelap. Lampu-lampu mobil menyoroti jalan. Singgih menurunkan topi, lalu berjalan memasuki gerbang apartemen. Langkahnya bergerak cepat menuju gedung mewah itu, tapi tertahan di pos penjagaan. Singgih mengangkat topi dan memperlihatkan wajahnya pada pak satpam.
"Oh, kamu pengawalnya Non Daisy, kan?"
"Iya."
"Beberapa hari ini kok nggak kelihatan. Biasanya lari pagi. Sekarang malah Non Daisy yang rajin lari pagi."
Mengesiap Singgih. Kemudian ia gegas menuju ke unit apartemen Daisy tanpa berpamitan pada pak satpam, yang kini menatap Singgih kesal.
Pikiran Singgih kembali melayang pada ucapan Daisy sewaktu di rumah sakit. Daisy memintanya untuk menemaninya joging setelah keluar rumah sakit. Gadis itu benar-benar menepati ucapannya.
Singgih tiba di unit apartemen Daisy dengan debar jantung yang tak bisa dikendalikan. Sayangnya, ruangan itu gelap. Singgih menyalakan lampu untuk menerangi seluruh ruangan yang gelap.
Sambil menunggu Daisy pulang, Singgih ke dapur untuk membuat mie. Betapa terkejut ia melihat stok mie di lemari penyimpanan. Stok mie yang cukup untuk persediaan anak kos selama uang kiriman dari rumah belum datang.
Bip... bip... bip... biribip...
Bunyi kode akses pintu dibuka yang sontak membuat Singgih memutar tubuh menuju pintu masuk. Dirinya kini tampak seperti remaja tujuh belasan tahun yang baru saja mengenal cinta lagi―setelah sekian lama.
Jantungnya berdebar-debar menanti kedatangan sang tuan putri. Seulas senyum tipis mengukir di wajahnya kala melihat Daisy Cattleya berdiri di sana... di hadapannya―dengan wajah kaku.
*
Satu setengah jam yang menyesakkan dan kini Daisy dapat menghirup kembali udara kebebasan dari senyum palsu yang membelenggunya.
"Aku mau mengambil barang-barangku di apartemen." Daisy memberitahu papa setibanya di selasar restoran sambil menunggu mobil datang menjemput.
"Biar Hansel yang mengambilnya."
"Dia nggak tahu di mana letak barang-barangku."
"Tinggal beritahu saja di mana kamu menyimpannya."
"Dan membiarkan Hansel mengacak-ngacak apartemenku?"
Larasati yang melihat ketegangan di antara suami dan putrinya lantas maju menengahi. Dipegangnya lengan suaminya untuk menahan sang suami agar tidak menyela Daisy. Mereka berdua sama-sama keras kepala.
"Pah," Larasati memberi anggukan kecil agar suaminya mengizinkan Daisy mengambil barang-barangnya di apartemen. "Cuma sebentar kan, Dai?" tolehnya ke Daisy untuk memastikan.
"Cuma sebentar." Daisy membeo patuh.
Dengan keterpaksaan hati, Romi menuruti permintaan istrinya untuk mampir sebentar ke apartemen Daisy.
Mobil melaju di antara sorot lampu-lampu yang menerangi jalan. Namun, Daisy merasa ia tak memiliki cahaya yang akan menerangi jalannya. Tentunya ia tak mau dijodohkan, apalagi sampai menikah dengan Rolan. Ia harus mencari jalan keluar dari permasalahan ini.
Hingga mobil pun tiba di pelataran gedung apartemen. Daisy menahan tubuh Larasati yang hendak ikut melompat turun.
"Aku nggak lama, Mah."
Air muka Larasati tampak ragu.
"Hanya sebentar." Daisy menyakinkan mama bahwa ia tak akan kabur. Kabur pun percuma karena orang-orang suruhan papa pasti akan dengan sangat mudah menemukannya.
"Lima belas menit kamu belum turun, Mama ke atas. Oke?"
Daisy mengangguk setuju. Ia mengembus napas lega tak kentara menuju unit apartemennya.
Lima belas menit, setidaknya, cukup membuatnya lepas dari pengawasan. Situasi ini pernah dialaminya. Paska penculikan yang terjadi di kelas dua SMP, selama setahun lebih ia diawasi oleh pengawal papanya. Setiap kegiatannya selalu dilaporkan. Tak ada ruang untuk bernapas kala itu. Terlebih ia ingin kabur ke suatu tempat yang tak ada satu pun yang mengenalinya sebagai putri bungsu Ekadanta.
Langkahnya telah membawanya tiba di depan pintu unit apartemennya. Daisy memasukkan empat kode angka untuk mengakses pintu masuk.
Ada atmosfir yang berbeda seketika ia melangkah masuk dan menemukan sepasang sepatu kets putih usang. Kedua ujung bibirnya tersenyum bergetar. Ruangan di apartemennya terang benderang seakan ada penghuninya. Ia melepas heels dan gegas menuju pada sang pemilik sepatu kets tersebut. Ia menemukan sang pemilik sepatu di dapur.
Sulit dipercaya. Apa yang diharapkannya terkabul. Singgih... bodyguard-nya kembali. Rasa-rasanya ia ingin berlari dan memeluk laki-laki itu. Namun, yang ada tubuhnya malah memaku di tempat.
"Katanya cuma sebentar." Daisy jalan ke tempat Singgih.
Bukan. Bukan itu yang harusnya ia katakan. Harusnya ia bilang welcome home.
"Nggak usah datang aja sekalian."
Langkah Daisy berhenti. Meja persegi menyekat langkahnya. Nggak... aku senang Mas Singgih datang.
"Maaf..."
"Empat hari. Tanpa kabar." Daisy menatap tajam Singgih. "Papaku pasti sudah memecat pegawainya. Apa aku juga harus memecat Mas Singgih?"
Terdiam Singgih. Ia menyadari sikap salahnya. Janji sebentar yang diucapkannya nyatanya mangkir selama empat hari. Wajarlah bila tuan putrinya ini marah besar padanya. Ia tak akan melakukan pembelaan diri karena ia memang salah.
"Kenapa nggak kabur aja sekalian?"
"Kabur?" Singgih mengernyit tak paham.
"Entah apa yang kalian berdua lakukan?" Daisy menyinis, lalu memutar tubuh menuju ke ruang kerjanya.
"Apa maksudnya dengan kalian?" Singgih mengikuti Daisy di belakang. "Siapa?"
"Mas Singgih dan dokter Ajeng! Siapa lagi!" Daisy memutar tubuhnya tiba-tiba.
Singgih mengesiap dan lekas mengerem langkah agar tidak menabrak Daisy. Ia menarik mundur tubuhnya saat jaraknya terpangkas pendek.
"Rolan yang bilang?" Singgih coba membaca jawabannya melalui mata Daisy.
Daisy menghindari kontak mata dengan Singgih. Ia tak tahan menatapi mata teduh Singgih yang kemungkinan besar bisa menghipnotisnya.
"Rolan itu pembohong. Jangan percaya omongannya."
"Memercayai omongan Mas Singgih juga terlalu berisiko."
Tersentak diam Singgih. Ucapan Daisy seolah menamparnya. Kalimat itu pernah diucapkannya di hari pertama mereka bertemu dan kalimat itu sekarang menyerangnya balik.
Daisy menuju meja kerja, membereskan laptop, pen tablet, serta tumpukan notes berisi outline. Semuanya dimasukkan ke tas. Kesal. Rasanya ingin dibantingnya semua benda di atas meja. Sebelah tangannya menumpu keras di meja. Ia memutar tubuh untuk kembali menuju ke tempat Singgih.
"Aku atau dokter Ajeng?" lontaran pertanyaan konyol itu meluncur begitu saja dari mulut Daisy. "Mas Singgih bekerja untukku, tapi Mas Singgih malah kabur dengan mantan Mas Singgih. Terus aku harus gimana sekarang? Memecat Mas Singgih?" tatapnya tajam.
"Seperti yang pernah kubilang di awal. Kamu memerlukan bodyguard yang andal. Bukan orang sepertiku. Aku... akan berhenti."
Kedua bahu Daisy merosot jatuh. Ucapannya barusan tidaklah serius. Ia hanya menggertak agar Singgih tidak mengulangi tindakan yang sama. Ia masih mengharapkan Singgih bekerja mengawalnya.
Setelah mengatakan berhenti, Singgih pamit begitu saja. Meninggalkan Daisy yang sekarang menangis terisak.
Dan, untuk kesekian kalinya cinta Daisy bertepuk sebelah tangan. Namun, sakit yang dirasanya kali ini teramat sakit, hingga membuatnya mungkin trauma untuk jatuh cinta lagi.
*
mampir di ceritaku juga dong kak🤩✨