NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:360
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26

Kalau ada satu hal yang Lyra pelajari dari semua ujian magis super nyiksa emosi ini, itu adalah: gak ada yang benar-benar siap menghadapi masa lalu mereka sendiri. Bahkan kalau kamu udah nonton semua video motivasi di internet, minum teh kamomil tiap malam, dan meditasi pake aplikasi berlangganan mahal—tetep aja, ketika kamu disuruh ngadepin isi kepalamu sendiri, rasanya kayak dilempar ke dalam mesin cuci emosi.

Dan sekarang dia berjalan menuju gerbang terakhir.

Langkahnya berat, tapi bukan karena lelah fisik. Ini lebih ke... lelah batin. Capek banget jadi Lyra lately. Tapi, ironisnya, justru karena itu dia makin sadar—mungkin ini memang harus dijalanin. Biar gak selamanya dia terjebak di bayang-bayang masa lalu dan trauma warisan keluarga yang ribet.

Lorong terakhir ini berbeda dari sebelumnya.

Tidak ada api, tidak ada suara gema yang creepy, tidak ada ilusi menyakitkan. Hanya keheningan. Dinding batu hitam mengilap memantulkan siluet tubuhnya yang terus berjalan. Udara pun anehnya hangat—bukan panas, tapi... nyaman. Terlalu nyaman, sampai bikin Lyra curiga.

“Kalau ini jebakan, tolong kasih clue ya. Gue trauma lorong tenang,” bisiknya sambil menyentuh dinding.

Lalu, perlahan-lahan, ujung lorong terbuka ke sebuah ruang besar berbentuk lingkaran. Atapnya tinggi dengan pilar-pilar putih yang menjulang seperti tulang belulang raksasa. Di tengah ruangan, berdiri sebuah gerbang emas—luar biasa indah dan memancarkan cahaya lembut seperti matahari sore.

Tapi, tentu saja, gak mungkin sesimpel itu.

Di depan gerbang, berdiri tiga sosok.

Bukan manusia. Bukan monster. Mereka... semacam entitas? Aura mereka seperti gabungan antara malaikat dan AI super jenius. Bersinar, tenang, dan... bikin Lyra pengen balik badan.

Salah satu dari mereka melangkah maju. Wajahnya tampan, nyaris tanpa ekspresi, dengan mata keperakan yang menembus hati.

“Kau adalah pewaris darah Auron Draveil,” katanya, suaranya dalam dan bergema seperti nyaringnya alarm subuh tapi... lebih lembut.

Lyra menelan ludah. “Yeah, sayangnya begitu. Mau minta bukti DNA?”

“Kau telah melewati dua ujian. Yang ketiga adalah ujian kehendak. Kau akan dihadapkan pada pilihan yang akan menentukan nasib dunia ini.”

“Nasib dunia?” Lyra memutar bola matanya. “Nggak bisa nasib aku dulu? Satu orang aja. Aku. Please.”

Tapi mereka tidak tertawa. Tentu saja. Sense of humor tidak termasuk dalam fitur makhluk cahaya ini, rupanya.

Tiba-tiba, lantai di bawah Lyra bersinar, dan permukaan tanah membentuk semacam kolam cahaya. Dari dalam kolam itu, muncul bayangan—tapi kali ini bukan tentang masa lalu. Ini masa depan.

Sebuah versi Aedhira yang hancur.

Langit merah. Bangunan runtuh. Sungai-sungai mengering. Kabut hitam menyelimuti langit seperti asap kebakaran open BO naga. Dan di tengah kehancuran itu... ada Lyra. Lebih tua, lebih kuat, tapi dengan mata yang kosong. Dingin. Tak berperasaan.

“Ini... aku?”

“Versi dirimu yang memilih kekuasaan di atas kasih,” suara entitas kedua menjawab. “Kau memiliki kekuatan untuk menjadi pemimpin. Tapi juga untuk menjadi tiran.”

Lyra menatap pantulan itu dengan ngeri. “Oke, serem. Tapi juga... agak keren sih. Cuma ngeri juga gue bisa sampai segitu.”

Lalu permukaan kolam berubah lagi.

Kini menampilkan Lyra yang... biasa. Menjadi pelindung hutan. Berjuang dengan penduduk. Menyembuhkan, membangun, membantu, tapi tidak punya kuasa besar. Tidak dikenal secara luas. Tidak diakui. Hanya... hidup dalam kedamaian.

“Ini versi dirimu yang menolak takhta. Yang memilih menjadi cahaya kecil, bukan matahari.”

Lyra terdiam.

Pilihannya tidak mudah. Menjadi kekuatan besar, tapi berisiko kehilangan jiwanya. Atau tetap kecil, tapi mempertahankan kemanusiaannya. Atau... ada pilihan ketiga?

“Ada opsi C gak?” tanyanya setengah serius. “Kayak... jadi kuat tapi gak jadi psikopat?”

Entitas ketiga akhirnya bicara. Suaranya seperti angin, nyaris tak terdengar tapi menusuk.

“Opsi ketiga selalu ada. Tapi jalannya tak bisa diperlihatkan. Kau harus menciptakannya sendiri.”

“Tentu saja,” gumam Lyra. “RPG mode: HARD unlocked.”

Ia menatap gerbang emas di depannya. Cahaya dari gerbang itu seolah menunggu keputusan finalnya. Jantung Lyra berdetak cepat. Di luar sana, Kaelen, Arven, dan semua orang yang percaya padanya... masih menunggu. Masih berjuang.

“Kalau aku masuk ke gerbang itu... apa yang terjadi?”

“Kau akan mengukir takdirmu.”

Jawaban itu tidak membantu, tapi juga tidak bisa disalahkan. Karena memang begitulah hidup: tidak ada jaminan. Tidak ada peta. Tidak ada GPS arah kebahagiaan.

Lyra menarik napas panjang.

“Kalau gitu... aku akan masuk. Tapi bukan untuk menjadi ratu, atau dewi, atau penjaga. Aku masuk untuk mencari jalan di mana aku gak kehilangan siapa pun—termasuk diriku sendiri.”

Dan dengan langkah penuh keyakinan, dia melangkah melewati gerbang emas itu.

Begitu telapak kaki Lyra menyentuh lantai setelah melewati gerbang emas, rasanya kayak... nyemplung ke air dingin pas subuh-subuh—syok, tapi juga nyadar.

Bukan karena suhunya. Tapi karena seisi ruang baru ini berbeda banget. Langitnya hitam, bukan gelap kayak malam biasa, tapi hitam—pekat, nggak ada bintang, nggak ada cahaya. Tanahnya transparan, kayak kaca, dan di bawahnya... dia bisa lihat bayangan dunia.

Aedhira. Tapi juga bukan Aedhira.

Seperti mimpi yang kabur. Seperti realitas yang diremukkan dan dibentuk ulang. Seperti—dan Lyra bukan ahli teori multiverse, tapi ini jelas bukan alam biasa.

“Selamat datang di Elarion, wilayah kehendak,” suara itu datang dari belakangnya.

Lyra hampir melompat saking kagetnya.

Yang muncul dari balik gerbang... adalah dirinya sendiri.

Tapi lebih dewasa. Rambut lebih panjang, pakaian tempur elegan berwarna ungu pekat dengan jubah hitam keperakan. Matanya—masih sama, tapi ada sinar berbeda. Tenang, tajam. Kaya banget aura ‘boss final’.

Lyra memicingkan mata. “Kamu siapa, cosplay-ku?”

“Bukan cosplay. Aku adalah kemungkinan dirimu—kalau kau memilih kekuasaan penuh.”

“Ya ampun, ini kayak liat versi ‘aku tapi CEO.’”

Sosok Lyra versi boss ini berjalan perlahan ke arahnya. Setiap langkahnya meninggalkan jejak cahaya yang pelan-pelan menghilang. Keren banget. Kalau ini game, pasti dia udah punya skin legendary.

“Tugasmu belum selesai,” katanya, suara lebih berat dan tenang dari Lyra biasa.

Lyra mengangkat alis. “Ya, makanya gue ke sini. Tapi gue gak nyangka harus battle sama versi glow up gue sendiri.”

Sosok itu tersenyum samar. “Tidak ada pertempuran. Hanya pemahaman.”

Oke. Jadi ini lebih ke deep talk ya? Great. Karena Lyra tuh paling suka deep talk... pas lagi gak terancam.

“Aku gak ngerti. Kenapa aku harus lihat ini semua?” tanya Lyra, mulai agak serius. “Gue udah melalui dua ujian emosional, menghadapi ingatan, pilihan... terus sekarang apa? Liat versi keren dari diri gue sendiri biar minder?”

Sosok Lyra boss itu menatapnya dengan ekspresi lembut tapi firm. “Karena kau harus sadar satu hal penting: kekuatan tak membuatmu jahat. Pilihanmu yang melakukannya.”

Lyra diam. Itu kena.

Versi dirinya yang kuat ini nggak menghakimi. Nggak menakutkan. Bahkan... terlihat damai.

“Kalau aku memilih kekuatan, tapi tetap menjaga hati, bisa gak?” tanya Lyra pelan.

“Bisa. Tapi itu jalan paling berbahaya. Karena kau harus melawan bukan hanya musuhmu, tapi dirimu sendiri—setiap hari.”

Tentu saja. Plot twist-nya bukan di dunia luar. Tapi di kepala dan hati sendiri.

Tiba-tiba, sosok ‘Lyra boss’ mengangkat tangan, dan sebuah tombak cahaya muncul—panjang, ramping, dengan simbol-simbol kuno di sepanjang gagangnya. Tombak itu mengambang di udara, menghadap Lyra.

“Ini Aetherion—senjata takdir. Hanya bisa digunakan oleh mereka yang tak takut pada kegelapan dalam diri mereka sendiri.”

Lyra mengulurkan tangan dengan ragu. “Kalau gue ngambil ini...?”

“Kau tidak terikat pada takhta. Tapi kau akan terikat pada janji.”

“Janji apa?”

“Untuk tidak menyerah pada dirimu yang tergelap.”

Lyra menatap tombak itu lama. Tangannya sempat gemetar. Tapi ia tahu—kalau dia kabur sekarang, dia bakal menyesal seumur hidup. Jadi, dia menguatkan hati, dan menggenggam Aetherion.

Begitu jari-jarinya menyentuh senjata itu, cahaya meledak di sekeliling mereka—dan seluruh ruang tiba-tiba runtuh seperti cermin pecah. Suara-suara bergaung dari segala arah, jeritan, tawa, bisikan-bisikan mengerikan—kayak audio mix di mimpi buruk.

Tubuh Lyra terangkat ke udara. Tombaknya menyatu dengan tubuhnya—bukan fisik, tapi lebih kayak menyatu dengan jiwanya.

Dan dalam keheningan berikutnya, dia mendengar satu suara—bukan dari luar, tapi dari dalam.

“Kau sudah memilih. Sekarang, waktunya kembali.”

ZRAAAKK!

Lyra terjatuh ke tanah, napasnya memburu, jantungnya nyaris meledak. Dia kembali di ruang tengah—ruang yang dipenuhi serpihan cahaya dari gerbang-gerbang sebelumnya. Tapi sekarang, semuanya terasa... hidup. Ruangan itu berdenyut seperti jantung, seolah menyesuaikan diri dengan kehadirannya.

“Lyra!” Kaelen berlari ke arahnya, wajahnya panik banget kayak baru kehilangan sinyal Wi-Fi.

“Kael... gue gak mati, kok,” gumam Lyra lemas, tapi matanya berbinar. Tangannya masih gemetar, tapi di dalam dirinya, ada rasa damai yang baru.

Arven menyusul, wajahnya masih dingin tapi ada sedikit kekhawatiran di sudut matanya. “Apa yang terjadi?”

Lyra menatap mereka. “Gue... ketemu versi diri gue yang bisa ngalahin boss terakhir tanpa make cheat.”

Kaelen memicingkan mata. “Apa?”

“Long story. Intinya, gue gak cuma lulus ujian. Gue... nerima semuanya. Sisi baik, sisi jelek. Semua. Dan gue dapet senjata baru—tombak kece yang bisa... well, belum gue coba sih, tapi feeling gue OP.”

Lyra mengangkat tangannya dan whoosh!—tombak Aetherion muncul dari udara kosong, menyala samar kayak lampu neon mahal. Kaelen melongo.

“Holy cheese... itu tombak dari langit?”

Lyra senyum. “Lebih kayak... tombak dari pilihan hidup. Tapi yeah, rada dramatis sih.”

Mereka bertiga saling pandang. Lalu perlahan, ruangan itu mulai berubah. Gerbang-gerbang di sekeliling mereka runtuh satu per satu, menjadi pecahan cahaya yang beterbangan dan menghilang ke udara.

“Waktunya pergi,” ujar Arven, dan seperti biasa, suaranya nggak panik, cuma... final.

“Tapi pergi ke mana?” tanya Kaelen, masih clingy sama tanah Aedhira.

Dan tepat saat itu, lantai di bawah mereka pecah—bukan seperti jatuh ke jurang, tapi lebih kayak... ditarik. Semacam transisi cepat yang bahkan editor film Marvel pun bakal iri.

Seketika, mereka berada di tempat lain.

Langitnya merah darah.

Udara bergetar seperti napas naga yang lagi PMS.

Dan di hadapan mereka—sebuah benteng hitam menjulang dengan menara menusuk awan dan aura kegelapan yang tebal banget sampai rambut Lyra berdiri sendiri.

“Yup. Welcome to tempat serem no.1 di daftar liburan,” gumam Lyra.

Benteng itu adalah Nocthras—markas terakhir si makhluk dari bayang-bayang. Entitas yang mengendalikan kekacauan, yang merusak tirai Aedhira, yang menarik Lyra ke dunia ini sejak awal.

“Jadi... ini final boss-nya?” Kaelen menelan ludah.

Lyra mengencangkan genggaman di tombaknya. “Yeah. Dan kali ini, kita gak bisa mundur.”

Arven menatap ke depan. “Kita harus hancurkan inti kekuatannya, sebelum dia menembus dimensi kita sepenuhnya.”

“Oke, tapi... rencana detilnya gimana?” Kaelen menatap dua orang di sampingnya. “Kita nyusup? Ngegas? Atau pura-pura jualan cilok?”

“Plan A: kita masuk, cari intinya, dan hancurin,” kata Lyra. “Plan B: kalau gagal, improvisasi. Plan C: gue jadi umpan, kalian kabur.”

Kaelen langsung geleng. “Gue gak suka Plan C.”

“Gue juga,” kata Arven datar, tapi nadanya sedikit lebih... hidup?

Mereka berjalan maju, langkah demi langkah. Jalan menuju benteng Nocthras tidak lurus. Mereka harus melewati padang suara—tanah tempat setiap langkah mengeluarkan bisikan ketakutan terdalam mereka. Suara-suara dari masa lalu mulai muncul.

Kaelen mendengar suara ayahnya yang dulu menolak kemampuannya. “Kau bukan petarung. Kau cuma beban.”

Arven mendengar ibunya berkata, “Kau harus jadi bayangan, bukan cahaya. Kau bukan pahlawan.”

Lyra... mendengar ibunya. Suara lembut dan penuh luka.

“Maafkan ibu, Lyra. Ibu gak bisa melindungimu waktu itu.”

Matanya panas. Tapi dia terus melangkah. Karena sekarang, dia yang akan melindungi dunia mereka.

Langkah demi langkah, mereka mendekati gerbang utama Nocthras—pintu logam hitam raksasa dengan ukiran aneh yang kelihatannya dibuat buat bikin mimpi buruk makin detail.

“Kenapa ukirannya kayak lukisan waktu gue salah gambar burung di TK?” bisik Lyra sambil mendekat. “Burung gue dulu juga ada tanduk sama gigi vampir, sumpah.”

Kaelen nyaris ketawa tapi buru-buru nutup mulut karena suara langkah mereka udah bergema.

Arven mengangkat tangannya, dan dari jubahnya, muncul semacam segel bercahaya. “Kita gak bisa dobrak ini. Harus pakai kunci sihir... dan satu darah penjaga.”

“Please jangan bilang harus ngorbanin satu dari kita,” Lyra refleks mundur setengah langkah. “Gue suka klimaks, tapi bukan yang berdarah-darah literal, bro.”

Arven menggeleng. “Bukan kita. Tapi penjaga.”

Dari bayang-bayang, muncul sesuatu... atau seseorang. Seorang pria tinggi, berwajah pucat dengan mata perak dan pakaian seperti jubah kultus, berjalan perlahan keluar dari sisi pintu.

“Lyra Draveil,” katanya, suara seperti bisikan logam berkarat. “Putri Auron. Akhirnya kau datang.”

“Uh... siapa elo?” tanya Lyra, siap mengaktifkan tombaknya.

“Namaku Zephare. Aku mantan penjaga gerbang, sebelum Nocthras menghancurkan jiwaku. Tapi...” dia mengangkat tangannya yang gemetar, “...aku belum sepenuhnya hilang.”

Zephare meraih dada kirinya dan menarik keluar pecahan kristal berwarna ungu gelap.

“Ini kunci yang kau cari. Tapi untuk menggunakannya... seseorang harus menahan Nocthras saat gerbang terbuka.”

Lyra mengerutkan alis. “Kau mau ngelakuin itu?”

Zephare menatapnya lama. “Aku pernah melayani ayahmu. Aku gagal melindungi keluarganya. Biarkan aku melakukan ini... sebagai penebusan.”

Sebelum ada yang bisa mencegah, Zephare menusukkan pecahan itu ke tanah dan berdiri tegap. Cahaya keunguan meledak dari simbol-simbol di lantai, dan gerbang mulai bergerak, bergemuruh seolah dunia runtuh.

Zephare berteriak—dihantam oleh bayangan yang keluar dari dalam pintu, menjerit dan merobek tubuhnya seperti debu. Tapi dia bertahan. Menahan gerbang agar tetap terbuka.

“Cepat!” raungnya. “Masuk sebelum semuanya tertutup lagi!”

Lyra, Kaelen, dan Arven saling tatap. Lalu, tanpa kata, mereka melesat masuk ke dalam kegelapan Nocthras.

Dan langsung disambut oleh... keheningan.

Tidak ada pasukan. Tidak ada monster. Tidak ada jebakan berduri ala Indiana Jones.

“Wait. Kenapa sepi?” Kaelen berbisik. “Ini pasti... perangkap.”

“Of course it is,” gumam Arven tanpa ekspresi.

Lyra menggenggam tombaknya lebih erat. “Tapi kita udah terlalu jauh buat mundur. Ayo cari intinya.”

Mereka melintasi lorong panjang yang terasa... hidup. Dindingnya bernafas. Lantainya sesekali bergetar seperti ada sesuatu yang besar banget lagi menunggu.

Mereka tiba di ruangan besar seperti katedral, dengan langit-langit setinggi gunung dan pilar-pilar raksasa yang menjulang sampai menghilang ke dalam kabut. Di tengah ruangan... sebuah bola hitam mengambang. Seperti miniatur lubang hitam yang berdenyut pelan-pelan.

“The Void Core,” kata Arven. “Inti kekuatan Nocthras.”

“Dan pasti ada bos jahatnya nunggu di sini juga kan?” Kaelen mundur setengah langkah.

Dan ya, benar aja.

Bayangan besar muncul dari balik kabut—tinggi, kurus, dan menyeringai dengan ratusan mata menyala.

“Manusia kecil...” suara itu seperti ribuan jeritan bersamaan. “Kalian pikir bisa menyentuh inti kekuasaanku? Kalian bahkan tak bisa menyentuh diri kalian sendiri tanpa trauma!”

“Eh, itu... terlalu personal,” Lyra nyengir kecut.

Makhluk itu—Nocthras—mengulurkan tangan seperti cakar kabut dan dunia di sekitar mereka mulai berubah. Lantai berubah jadi pusaran tinta. Pilar-pilar bergerak sendiri. Ruangan itu menolak eksistensi mereka.

“Bersiap!” seru Arven.

Lyra melompat maju, tombaknya bersinar terang.

Dan... pertarungan terakhir pun dimulai.

“Serang dari kiri!” teriak Kaelen sambil memutar pedangnya dan melompat ke pilar yang bergerak-gerak kayak ular kelaparan. Lyra, yang udah hampir nyusruk gara-gara lantai pusaran tinta itu, berusaha menyeimbangkan diri dan melesat ke arah Void Core—bola hitam pekat di tengah altar.

Sementara itu, Nocthras? Dia... dia berubah. Dari sosok tinggi dan menyeramkan jadi... lebih gede. Serius. Sekarang dia kayak perpaduan Dementor, kaiju, dan lemari tua dari rumah nenek yang selalu bunyi sendiri tengah malam.

“Gue benci bos terakhir yang punya tiga fase,” gumam Lyra sambil menghindari semburan kabut yang menyengat kulit.

Arven berdiri dengan tenang, tapi matanya bersinar biru tua. “Dia melepas segelnya. Kita harus ganggu koneksi dia dengan Void Core sebelum dia menyatu sepenuhnya.”

“Gue ganggu mantan aja udah repot, apalagi ini,” Kaelen menangkis satu serangan dengan susah payah.

Seketika, Nocthras meluncurkan tentakel bayangan ke arah mereka. Lyra melompat, memutar tombaknya, dan menusuk salah satu tentakel itu—tapi yang terjadi malah...

ZAP!

Lyra terpental dan nyungsep ke dinding.

“FYI, jangan tusuk bagian situ. Dia kayak punya sistem listrik sendiri,” katanya dengan wajah leleh di tanah.

Arven maju. Tangan kirinya terbakar biru, tangan kanannya hitam pekat. Dia bergumam dalam bahasa kuno, dan simbol-simbol mulai muncul di udara. Sejenis mantra penyeimbang.

“Gue cuma butuh satu menit. Lindungi gue.”

“SATU MENIT DI RPG ITU LAMA, BRO!” Kaelen teriak sambil memotong tentakel yang melesat ke arah Arven.

Sementara itu, Lyra berdiri pelan-pelan. Kepalanya berdengung, tapi dia lihat sesuatu—Void Core mulai pecah, retaknya membentuk pola spiral. Di sana, di baliknya... wajah ibunya muncul sebentar. Kayak... kenangan yang diputar paksa.

“Lyra...” suara itu lembut. “Kau bisa... menghentikannya.”

“Tunggu... itu beneran Mama?” bisik Lyra. Tapi bayangan itu menghilang.

Kaelen terhempas ke lantai setelah terkena pukulan dari bayangan Nocthras. “GUYS, CEPETAN! KEPALA GUE JADI ES KRIM RASA AZAB NIH!”

Lyra bangkit, tombaknya berubah bentuk—tajam, berkilau seperti kristal. Dia tahu harus apa.

Dia melesat ke Void Core, lalu berhenti di hadapan Arven yang masih mengunci mantra.

“Gue bisa masuk. Ke dalam Void Core. Ke dalam dirinya. Bikin dia kacau dari dalam.”

“Lyra, jangan—itu bunuh diri,” Arven menatapnya tajam. Tapi suaranya... goyah.

“Gue gak mau dunia hancur karena kita nunda keputusan, Arven. Kita udah kehilangan terlalu banyak,” bisik Lyra. “Lo tau itu.”

Arven menggertakkan gigi, lalu... menyerah.

“Kalau kau pergi ke dalam, aku pastikan kau keluar.”

Lyra tersenyum kecil. “Deal.”

Kaelen, masih meringis di tanah, angkat jempol. “Jangan mati. Gue males bikin tugu peringatan.”

Dengan satu napas, Lyra menancapkan tombaknya ke Void Core. Cahaya meledak, dan... dia menghilang ke dalam pusaran hitam itu.

Dunia di sekeliling mereka berhenti.

Arven berdiri, tangannya kini menyatu dengan mantra yang membuat waktu melambat.

Kaelen bangkit, pedangnya berkilau dengan energi terakhir.

Nocthras meraung—tubuhnya mencair, berubah bentuk. Dia panik. Dia kehilangan kendali.

Di dalam Void Core, Lyra terapung di ruang tak berujung, dikelilingi bayangan dari masa lalu—ketika dia ditinggal ayahnya, ketika ibunya meninggal, ketika dia merasa dunia gak adil banget.

Tapi dia juga melihat sesuatu...

Dirinya sendiri.

Tegap. Tegas. Hidup.

“Satu-satunya cara keluar dari bayangan... adalah menjadi cahaya itu sendiri,” gumam Lyra.

Tangannya menggenggam tombak yang kini bersinar terang putih keemasan, lalu dia menancapkannya ke jantung kegelapan itu.

Seketika, dunia Nocthras runtuh.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!