The Orchid dipimpin oleh tiga pilar utama, salah satunya adalah Harryson. Laki-laki yang paling benci dengan suasana pernikahan. Ia dipertemukan dengan Liona, perempuan yang sedang bersembunyi dari kekejaman suaminya. Ikuti ceritanya....
Disclaimer Bacaan ini tidak cocok untuk usia 18 ke bawah, karena banyak kekerasan dan konten ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El_dira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Menjahit Luka
Dahi itu berlumuran darah. Entah itu darah Lukas, Mikael, atau darah Harry sendiri—Liona tidak bisa membedakannya.
"Aku butuh kotak P3K dari kamar mandi lorong," kata Harry cepat, melepas jaket jas Mikael yang sobek dan penuh noda.
Bercak gelap darah di kain itu membuat perut Liona bergejolak. Ia hanya bisa berdiri kaku, napasnya tersendat, tubuhnya terasa lembap oleh keringat dingin.
"Liona!" suara Harry terdengar lebih tegas.
Tubuh Liona tersentak. Dengan kepala mengangguk cepat, ia berbalik dan melangkah goyah menuju kamar mandi. Di bawah wastafel, tangannya bergetar saat meraih kotak P3K. Lututnya lemas saat ia kembali ke dapur, tempat para lelaki itu masih bergulat dengan luka dan rasa sakit.
Darah mengalir dari lengan mereka. Sisi tubuh Lukas tampak paling parah—warna merah pekat merembes keluar dari sobekan di kemejanya. Liona merasa mual, dunia di sekelilingnya berputar.
Tangan Harry menyambut kotak P3K yang ia ulurkan, dan tanpa banyak kata, ia segera bekerja.
"Persetan," geram Lukas, tubuhnya melengkung menahan nyeri.
"Jangan jadi pengecut," kata Harry, meski suaranya terdengar sedikit gemetar. Ia berusaha tetap tenang, meskipun jelas ia khawatir. Otot-otot di wajahnya menegang saat ia mencoba menambal luka adiknya. "Jangan bergerak sampai aku selesai."
Liona berdiri terpaku di tengah dapur, matanya menatap kosong pada tetesan darah yang membentuk pola mengerikan di lantai. Lututnya hampir tak sanggup menopang tubuhnya. Ia memegang pinggiran meja demi menenangkan diri, lalu memandangi hidangan makan malam yang belum selesai.
Harry meraih sebotol wiski dan menyodorkannya ke wajah Lukas. Lelaki itu mengerang pelan sebelum menenggak sedikit, entah sebagai bentuk rasa terima kasih atau sekadar untuk mematikan rasa sakit.
"Awas, jangan banyak gerak," perintah Harry, menusuk luka dengan pinset kecil. Lukas mendesis keras.
"Berhenti mengutak-atik, sialan. Kau bahkan lebih buruk dari dokter hewan."
"Kalau kamu mau pelurunya keluar, tahan sedikit lagi. Aku sudah bilang ini bakal sakit."
Liona hanya bisa mendengar, tidak berani bergerak. Ini… inilah dunia yang ia tinggali sekarang. Dunia yang penuh darah, bisik-bisik kasar, dan nyeri yang ditelan dalam diam. Ini bukan kehidupan yang pernah ia bayangkan.
"Berhenti, berhenti! Demi Tuhan dan semua orang kudus—berhenti!" Lukas meraung ketika Harry mencabut sesuatu dari sisi tubuhnya.
Harry mengumpat pelan, lalu mengacak rambutnya dengan tangan yang masih berlumuran darah, meninggalkan bekas merah di helaian rambut gelapnya. Wajahnya tampak putus asa.
Ia menatap Liona. Tatapan itu berbeda dari sebelumnya—ada sesuatu di sana. Bukan perintah, bukan kemarahan, tapi semacam harapan. Sesuatu yang dalam, tersembunyi di balik wajah kerasnya.
“Liona,” katanya pelan. Suaranya bukan lagi perintah, tapi permohonan.
Liona menatapnya, bingung.
“Aku butuh bantuanmu.”
“A-aku?” tanyanya ragu.
"Ya. Sini, tolong bantu aku."
Perlahan, Liona melangkah maju. Ia tidak tahu pasti apa yang akan diminta Harry padanya, tapi saat pria itu menatapnya penuh urgensi, ia tahu bahwa ini bukan sesuatu yang bisa ia tolak.
"Aku butuh bantuanmu mengeluarkan pelurunya," kata Harry, suaranya tegas meski napasnya terburu.
"Tanganku terlalu gemetar."
Liona memandang luka yang mengucurkan darah di sisi tubuh Lukas, lalu kembali ke wajah Harry. Napasnya memburu, tercekat oleh ketakutan yang menusuk-nusuk.
"Sekarang, Liona!" teriak Mikael, ketika kepala Lukas mulai terhuyung ke depan. "Sebelum dia kehabisan darah!"
Tubuh Liona bergerak sendiri, meskipun otaknya tidak sepenuhnya memahami apa yang terjadi. Dengan hati-hati, ia meraih tang dari tangan Harry.
Jari-jari mereka bersentuhan sejenak—sentuhan yang mengirimkan gelombang dingin ke perutnya, seakan tubuhnya baru saja menyadari bahwa ini nyata.
"Aku... maaf," bisiknya berulang kali saat ia menyiram luka itu dengan air alkohol.
Tangannya gemetar saat ia mendekatkan alat penjepit logam itu ke lubang peluru pertama. Setiap tarikan napas terdengar seperti petir dalam dadanya, dan lututnya terasa seperti kapas.
"Letakkan di sini," perintah Harry sambil menyerahkan mangkuk makan malam yang tadi ia siapkan. Bunyi logam mengenai keramik terdengar nyaring—seakan menghantam saraf-saraf Liona yang sudah tegang.
Satu demi satu, ia mencabut peluru yang tertanam dalam tubuh dua pria itu. Saat ia mendekat ke luka di tubuh Mikael, ia menghindari tatapan tajam pria itu, menunduk tanpa berani melihat wajahnya. Ia tak sanggup melihat jenis monster seperti apa yang tersembunyi di balik mata lelaki yang kini menggeram kesakitan.
"Lebih cepat," desis Mikael. Rahangnya mengeras, menggertak.
Liona mencoba menenangkan tangannya. Ia mengingat saat-saat ia harus mengobati anaknya, Akram, ketika lututnya tergores. Ia pernah melihat darah. Pernah menyentuhnya. Tapi kali ini, ini bukan luka kecil. Ini adalah luka peperangan.
Mengambil napas dalam-dalam, Liona mulai bekerja.
Setelah peluru terakhir berhasil dikeluarkan, Harry menyerahkan jarum dan benang padanya.
"Kau yang menjahit luka Mikael."
"Aku bisa menjahit luka Lukas," Liona mencoba menyela, tapi Harry menggeleng.
"Mikael. Sekarang."
Menahan gemetar di ujung jarinya, Liona mulai menjahit luka itu. Ia menghindari kontak mata, dan menganggap tubuh itu hanya kain robek yang harus ditambal. Detik demi detik, ia terus bekerja, seperti berada di luar tubuhnya sendiri.
Ketika tarikan terakhir selesai, Liona melihat Harry sedang membalut luka Lukas. Pria itu berbicara, tapi suaranya tenggelam di antara detak jantung Liona yang tak menentu.
Bunyi bel dari oven membuatnya tersentak, hampir menjatuhkan mangkuk berisi peluru dan daun selada. Jari-jarinya mencengkeram pahanya sendiri, mencoba menahan gemetar yang kini menjalar dari dalam.
Ia memaksa tubuhnya untuk bergerak. Satu langkah, lalu satu lagi, menuju oven. Jari-jarinya bergetar, penuh noda merah yang sudah mulai mengering.
Tangannya meninggalkan bekas samar di atas meja saat ia mencapai wastafel. Dan di sanalah, realitas menghantamnya tanpa ampun.
Orang-orang di belakangnya bukan seperti Bennedit, atau bahkan ayahnya. Mereka jauh lebih berbahaya. Mereka adalah sosok-sosok yang tak terguncang oleh darah atau nyeri. Mereka hidup di dalamnya, bernapas melalui kekerasan seperti itu hanyalah rutinitas harian.
Dan bagi mereka, memang begitu.
Ayahnya pernah berkata bahwa orang-orang seperti ini kejam, haus darah, mematikan. Kata-kata itu kembali bergema di kepalanya. Dan kini ia tahu, ia bukan siapa-siapa bagi mereka. Dapat dikorbankan kapan saja.
Ia melompat dari kegelapan masa lalu ke kobaran api yang lebih mengerikan.
Dunia ini... lebih dingin daripada dunia yang pernah ia tinggalkan. Tidak ada tempat untuk pulang di sini. Tidak ada ruang untuk kesalahan.
Dengan tangan yang bergetar, ia mencuci darah dari kulitnya. Air hangat mengalir, mengubah merah menjadi merah muda, sebelum akhirnya hilang di saluran pembuangan.
Malam ini, setelah menghubungi Akram, ia harus memikirkan langkah berikutnya.
Tanpa suara, ia membersihkan meja, mencoba menghapus setiap bukti peristiwa barusan. Ia tahu bahwa itu bukan darahnya. Tapi rasanya… sama saja.
Suara pelan dari percakapan antarsaudara terdengar dari ruangan sebelah. Liona tahu, Harry sedang membawa Lukas naik ke kamarnya.
Dan kini ia ditinggal sendirian… dengan Mikael.