NovelToon NovelToon
Oh My God, Aku Punya Harem

Oh My God, Aku Punya Harem

Status: sedang berlangsung
Genre:Zombie / Sistem
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: samsuryati

lili ada gadis lugu yang Bahkan tidak pernah punya pacar. tapi bagaimana Ketika tiba di hari kiamat dia mendapatkan sebuah sistem yang membuatnya gila.

bukan sistem untuk mengumpulkan bahan atau sebuah ruang angkasa tapi sistem untuk mengumpulkan para pria.

ajaibnya setiap kali ke pria yang bergabung, apa yang di makan atau menghancurkan sesuatu, barang itu akan langsung dilipatgandakan di dalam ruangan khusus.

Lily sang gadis lugu tiba-tiba menjadi sosok yang penting disebut tempat perlindungan.

tapi pertanyaannya Apakah lili sanggup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

2

Keesokan harinya.

Sinar matahari menelusup masuk melalui celah tirai jendela apartemen. Jam dinding menunjukkan pukul 10.03 pagi ketika Lily terbangun dengan kepala berat dan mata masih sepat. Ia mengerang pelan, menyesali sedikit minuman manis malam tadi.

"Ugh... kenapa rasanya kayak ditabrak truk," gumamnya sembari duduk di ranjang, rambutnya acak-acakan seperti sarang burung.

Tapi tunggu dulu, ini di mana?"

Mata lili berputar putar ingin mencari tempat yang dia kenal.Tapi kenapa rasanya begitu aneh apakah mungkin karena kepala akibat dari mabuk tadi malam?

Ahh...mungkin kebetulan aja"pikir lili dalam hati.

mengesampingkan rasa aneh di hatinya Lily Berencana untuk pergi mandi .

Beberapa menit kemudian, suara gemericik air memenuhi kamar mandi. Lily berendam sebentar untuk menyegarkan tubuhnya, lalu mengenakan pakaian santai,kaos longgar dan celana pendek.

Lagi-lagi dia di bingung kan dengan kondisi yang kontras dengan ingatan nya sendiri.

Ahh lupakan saja.

 Dia mengikat rambutnya seadanya, membuka jendela balkon yang kecil, dan mulai menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang, telur, dan segelas susu dingin.

Balkon mungil di lantai delapan itu sudah menjadi tempat favoritnya. Di sana dia bisa melihat jalanan kota, deretan toko kecil, dan taman mungil di seberang jalan. Udara pagi cukup sejuk, walau agak panas karena sisa musim panas yang belum benar-benar berlalu.

Lily duduk dengan santai, menggigit roti panggangnya sambil memandangi jalanan di bawah.

Namun, pagi itu terasa... aneh.

Bunyi klakson dan deru mesin biasanya ramai di jam segini, tapi sekarang justru senyap. Tidak ada suara anak-anak sekolah. Tidak ada ibu-ibu yang mendorong kereta bayi. Suasana begitu lengang... terlalu lengang.

Lily menyipitkan mata, mencondongkan tubuh ke arah balkon, mencoba melihat lebih jelas.

Dan saat itulah dia melihatnya.

Di ujung jalan, seorang pria berlari terpincang-pincang, pakaian robek, dan darah membasahi wajahnya. Dia tampak panik, terus menoleh ke belakang. Tak lama kemudian, muncul sosok lain. Atau lebih tepatnya... makhluk. Berjalan kaku dengan mulut terbuka, tubuh berlumuran darah, dan mata kosong menatap lurus ke depan.

Jantung Lily langsung melonjak ke tenggorokannya. Roti yang ada di tangannya terjatuh.

Makhluk itu mengejar pria tersebut, dan sebelum sempat berbelok, pria itu terjatuh. Dengan suara mengerikan, si pengejar langsung menubruknya, menggigit lehernya seperti binatang buas yang kelaparan. Darah memercik di jalanan.

Lily membekap mulutnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar hebat.

"Apa itu...?" bisiknya, matanya membelalak tak percaya.

Teriakan mulai terdengar. Dari kejauhan, orang-orang berlarian, dan beberapa dari mereka juga tampak... aneh. Gerakan mereka kaku, namun cepat. Tubuh-tubuh yang tak semestinya bisa berdiri kembali berjalan, mencakar, menggigit siapa pun yang ada di sekitar mereka.

Taman di seberang jalan berubah menjadi ladang kekacauan. Seorang wanita tua diseret oleh tiga makhluk yang menggigit lengannya bersamaan. Suara retakan tulang dan jeritan minta tolong menggema di udara.

Lily terpaku di tempatnya. Napasnya memburu.

"Apa ini... film? Ini mimpi, kan...?"

Namun saat melihat seorang pria memanjat mobil dengan tubuh penuh luka, hanya untuk diseret dan ditarik paksa oleh gerombolan makhluk buas itu, Lily sadar...

Ahhhhkkkk

Ini nyata.

Lily mundur perlahan dari balkon, tubuhnya gemetar. Kakinya terasa lemas, hampir saja ia terjatuh saat punggungnya menyentuh dinding kaca pintu. Tangannya mencari-cari ponsel yang masih tertinggal di meja makan kecil. Dengan jari gemetar, dia meraihnya dan langsung mencari nama seseorang .Anehnya telepon dan data di sana, bukan miliknya.

Tapi masa bodoh.

Tidak perduli apa, dia harus menelepon seseorang.

Satu dering. Dua dering. Tidak diangkat.

"Angkat... angkat dong..." bisiknya putus asa.

Nada sambung terus berdering tanpa jawaban. Lalu dia mencoba satu nomor lagi,kontak emergency,juga no taksi online yang tadi malam mengantarnya pulang. Tapi ponselnya mendadak kehilangan sinyal.

Layar menampilkan pesan “tidak ada layanan”

"Kenapa... kenapa tiba-tiba..." gumamnya, matanya mulai berair.

Baru kemudian sebuah ingatan eneh datang.

Wow,dia bukan lagi lili di abad 21,tapi lili lain yang seperti nya berada di ujung dunia.

"Ya tuhan, apa ini hukuman karena mabuk tadi malam??"

Huhuhu...tolong, tolong huhuhu.

Ketakutan yang menyelimuti seluruh tubuhnya seperti selimut dingin di tengah musim salju.

Dia mendekati jendela lagi, hanya sedikit, dan mengintip dengan perlahan. Suara-suara teriakan masih terdengar. Sebuah mobil ambulans lewat dengan kecepatan tinggi, namun sebelum bisa melewati perempatan, sebuah sosok melompat ke atas kap mobil, menghantam kaca depan dengan kepala.

Ambulans itu oleng dan menabrak tiang lampu jalan.

Lily mundur lagi. Napasnya sesak. Dia berjalan ke pintu apartemen, memutar kunci ganda, lalu menggeser kunci rantai. Ia memeriksa lubang intip.

Lorong apartemen masih sunyi. Tidak ada suara, tidak ada tanda-tanda orang lain.

Dia kembali ke jendela, melihat ke bangunan seberang. Di balkon lantai lima, ia melihat seorang gadis lain sedang menangis, juga melihat ke bawah. Pandangan mereka sempat bertemu, sama-sama ketakutan.

Lily menutup tirai rapat-rapat. Lalu dia duduk bersandar di pintu, memeluk lututnya.

"Apa ini akhir dunia?" bisiknya. "Apa aku... akan mati di sini?"

Namun saat suara ketukan terdengar dari pintu apartemen, tubuhnya langsung menegang.

Tok. Tok. Tok.

Pelan. Lalu semakin keras.

TOK. TOK. TOK!

Lily berdiri perlahan. Nafasnya memburu. Tapi dia tak berani membuka pintu. .

Suaranya... tidak seperti orang biasa. Jelas ini adalah suara geraman samar yang terdengar di balik pintu.

lily mundur.

Ponselnya masih kehilangan sinyal. Stok di kulkas tadi... hanya cukup untuk dua hari.

Lily berdiri di tengah apartemennya yang sempit, sendirian. Dunia luar telah berubah menjadi mimpi buruk, dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Tapi satu hal pasti,ini bukan mimpi.

Ini nyata.

Lily duduk kembali di lantai ruang tengah, tubuhnya masih gemetar dan matanya bengkak karena terlalu banyak menangis. Jari-jarinya masih mencengkeram ponsel. Ia membuka daftar kontak dengan harapan ada seseorang… siapa saja… yang bisa ia hubungi.

Sebagian besar kontak hanyalah rekan kerja, nomor toko, atau teman lama yang jarang dihubungi. Tapi matanya terhenti pada satu nama:

Mira.

Sahabat lama pemilik tubuh semasa kuliah. Mereka tidak terlalu sering bertemu, tapi Mira selalu menjadi orang pertama yang mengangkat telepon saat Lily asli merasa kesepian.

Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol panggil.

Layar menunjukkan,tidak ada layanan.

Lily memukul dadanya dengan frustrasi. "Ayolah… ayolah…" katanya lirih.

Beberapa detik kemudian… satu bar sinyal muncul.

Berdering.

Lily menahan napas.

Suara napas yang terputus-putus terdengar di ujung sana. Lalu, terdengar isakan.

“Mira?” suara Lily tercekat.

“L-Lily? Astaga… kamu hidup? Kamu beneran hidup! Aku… aku pikir kamu…”

Suara Mira pecah, penuh ketakutan. “Aku nggak tahu harus hubungi siapa. Mama Papa aku nggak bisa dihubungi. Lily… aku lihat sendiri! Mereka… mereka bangkit dari tanah! Mereka makan orang, Li!”

Lily ikut menangis, suaranya tercekat. “Aku lihat juga dari balkon. Aku pikir aku mimpi. Tapi itu nyata, Mira. Nyata…”

Keduanya saling terdiam dalam tangis beberapa saat. Dunia di sekitar mereka hancur, namun dalam suara satu sama lain, ada seberkas kehangatan yang menenangkan.

“Aku… aku pernah lihat ini di film. Di novel. Tapi aku nggak pernah nyangka… kita bakal ngalamin sendiri…” Mira tertawa getir di sela isaknya. “Manusia jadi kayak binatang. Mereka nggak bisa diajak bicara… mereka cuma menggigit. Aku lihat tetangga sebelahku,mereka baru pulang belanja,digigit sama… sama orang asing yang berdarah-darah….”

“Mira…” Lily menarik napas dalam-dalam, lalu berkata pelan, “Aku nggak punya makanan…”

“Ha?”

“Di rumahku… cuma ada sisa roti dan susu dari tadi pagi. Aku biasanya beli take-out. Aku nggak pernah masak… bahkan mie instan pun nggak ada…”

Keheningan.

“Aku juga nggak tahu harus gimana,” Mira berbisik. “Aku sembunyi di kamar mandi. Aku dorong lemari ke depan pintu. Tapi sampai kapan? Sampai kapan kita bisa… bertahan?”

Tangisan mereka kembali terdengar, kali ini lebih lirih, lebih putus asa.

Namun, tak lama kemudian…

Tuuut… tuuut…

Sambungan terputus. Sinyal hilang lagi.

Lily memandang layar ponsel yang gelap. Tidak ada layanan. Tidak ada lagi suara. Tidak ada siapa-siapa.

Dia menunduk, dan untuk pertama kalinya sejak dunia berubah, Lily menangis tanpa suara.

Setelah teleponnya terputus, Lily duduk mematung. Waktu terasa berhenti. Dunia di luar sana berubah menjadi mimpi buruk, dan di dalam apartemennya yang sempit, satu-satunya yang tersisa hanyalah dirinya… dan kesunyian.

Lalu, penyesalan mulai datang perlahan seperti kabut.

“Aku bodoh…” bisiknya parau. “Kenapa "dia" nggak pernah beli bahan makanan? Kenapa harus selalu pesan makan di luar?”

lili berdiri lemas, lalu berjalan ke dapur kecil. Tangan gemetarnya menarik pintu kulkas. Angin dingin menyambut wajahnya, tapi tak membawa ketenangan. Hanya rasa takut… dan kosong.

Matanya menyisir isi kulkas yang tampak mengenaskan.

Satu kotak susu separuh isi.

Dua butir telur.

Sisa salad kemarin malam.

Setengah potong keju.

Tiga botol air mineral kecil.

Dan satu piring plastik berisi ayam goreng yang sudah mulai mengering.

Tangannya meraih pintu freezer. Hanya ada sebungkus kecil nugget dan beberapa balok es batu.

Lily menghembuskan napas panjang. Dia menghitung ulang dengan suara lirih, seolah menghafal daftar harta karun terakhir di dunia.

“Susu… telur… salad… keju… ayam… nugget…”

Ia mengulanginya lagi. Dan lagi.

Sampai akhirnya suaranya pecah, dan tubuhnya merosot ke lantai dapur.

Tangisnya pecah, dan dadanya terasa sesak.

“Kalau saja aku seperti tokoh-tokoh di novel itu…,” gumamnya dengan suara parau, “yang tiba-tiba punya ruang dimensi. Bisa simpan makanan… bisa bersembunyi….”

Bukan kah seseorang seperti dia akan mendapatkan sesuatu.

Ya kan.

Matanya menatap langit-langit dengan putus asa. “Tolonglah…” katanya, nyaris tak terdengar, “aku nggak minta jadi pahlawan… cuma kasih aku… sesuatu. Ruang penyimpanan. Kekuatan kecil. Apa saja… asalkan aku bisa bertahan hidup…”

Ia menunggu.

Hening.

Tidak ada sinar cahaya. Tidak ada suara misterius. Tidak ada perubahan pada tubuhnya.

Hanya napas sendiri… dan perut yang mulai terasa kosong.

Lily menunduk, memeluk lututnya sendiri. Tangis kembali merayap perlahan hingga mengoyak dadanya.

Tapi di sela isaknya, ia berusaha menguatkan diri. “Aku… harus bertahan… harus bertahan… selama mungkin…”

Ia bangkit lagi, menarik napas dalam-dalam, dan kembali ke kulkas.

Kali ini, ia menyalakan memo kecil di ponselnya. Menulis daftar isi kulkas satu per satu.

Lalu ia duduk dan mulai menghitung.

Kalori. Takaran. Jumlah hari.

“Kalau aku makan sebutir telur tiap dua hari… dan setengah gelas susu… salad bisa tahan dua hari… nugget bisa untuk tiga kali makan…”

Hitungan yang sangat ketat. Sangat menyakitkan.

Tapi tetap tidak cukup.

Lily menghapus ulang perhitungannya. Mengulang dari awal. Lagi dan lagi. Tapi hasilnya tetap sama.

Ketika akhirnya ia selesai, Lily menatap layar ponsel dan angka-angka itu.

Lalu, lagi-lagi… air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

Wooow.... huhuhu...

Di tengah dunia yang telah berubah menjadi neraka, Lily hanya punya satu pertahanan: dirinya sendiri… dan harapan kecil yang nyaris padam.

1
Afriatus Sadiyah
ceritaanya bagus..👍👍 autornya semangat...💪💪
samsuryati
ok
yanthi
niat hati tuh pingin Tek kumpulin banyak biar bisa maraton, tp keppo, JD g bisa
thor Doble up ya /Grin/
Rani Muthiawadi
kocak bgt
Rani Muthiawadi
cepet lili cari pasangan
Rani Muthiawadi
hhhhh
Rani Muthiawadi
,hadir
Rani Muthiawadi
ya woy
Rani Muthiawadi
ikut deg" an
Rahmat Rahmat
tegang
Rani Muthiawadi
tetap semangat thor
Rani Muthiawadi
semangat thor
yanthi
Tek tunggu Doble nya ya thor
samsuryati: oke tapi nggak sekarang ya say.
total 1 replies
yanthi
bisa jadi rekomendasi ini cerita
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Dewiendahsetiowati: ok deh
samsuryati: makasih tetep dukung aku ya paling tidak komen terus dan beri ide berharga dalam novel ini ,yang kita bentuk bersama-sama.
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!