Dia terjerat dalam sebatas ingatan dimana sebuah rantai membelenggunya, perlakuan manis yang perlahan menjeratnya semakin dalam dan menyiksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencoba
Valeri membuka matanya dengan tiba-tiba, lalu menghela nafasnya saat dia baru saja bermimpi.
Ya, mimpi buruk lagi seperti sebelumnya.
"Mimpi buruk?" Valeri menoleh dan menemukan Mario di sebelahnya. Pria itu menatapnya dengan mata tajamnya.
"Hm, aku tak mengerti kenapa terus bermimpi buruk." Nafasnya masih terengah.
"Apa yang kamu mimpikan?"
"Aku bermimpi memakai gaun pernikahan, tapi gaunnya penuh darah." Valeri mengusap lengannya yang terasa merinding. Mimpinya nampak nyata, seperti biasanya.
"Kamu hanya bermimpi," katanya. "Kembali tidur." Mario mengusap rambut Valeri.
"Tetap saja aku takut untuk kembali tidur."
"Mau mencoba sesuatu?"
"Apa?"
"Sesuatu yang membuatmu lelah, lalu tidur dengan lelap."
Valeri mengerutkan keningnya. "Kau yakin aku tidak akan bermimpi?"
Mario terkekeh. "Terkadang mimpi adalah suatu ketakutan di alam bawah sadarmu. Cobalah untuk tidak memikirkan hal yang kamu takutkan."
"Aku takut apa?"
"Seperti kamu takut aku membohongimu, hingga kamu terus berpikir hal yang tidak- tidak, lalu terbawa ke alam mimpi."
Valeri diam.
"Lalu aku harus apa?"
Mario menarik sudut bibirnya. "Kamu hanya perlu diam dan menerima." Mario bangkit dan menindih tubuh Valeri.
Valeri yang terkejut pun terkesiap dengan menahan tubuh Mario. "Mario?"
"Sudah ku bilang kamu hanya perlu diam." Mario menunduk dan meraih bibir Valeri dengan bibirnya.
Valeri memejamkan matanya dan mencoba menikmati apa yang Mario lakukan.
"Bernafas, Sayang," ucapnya di sela ciumannya. "Rileks." Mario menurunkan kecupannya ke leher, dan menenggelamkan dirinya disana.
Valeri membusungkan dadanya saat Mario menurunkan cumbuan ke dadanya. Rasa geli bercampur nikmat mulai menjalari tubuhnya. Ada rasa panas yang mucul dalam tubuhnya saat satu persatu kancing piyamanya terlepas. Perasaan asing begitu terasa, meski dulu mungkin dia pernah melakukannya, namun dalam ingatan Valeri ini untuk pertama kalinya.
Tangan Mario terasa merambat di pinggangnya lalu naik ke bagian dada dan meremasnya.
Ah,
Desahan muncul begitu saja, namun Valeri segera menutupnya dengan telapak tangannya.
"Lepaskan, sayang. Berteriaklah, mendesahlah," Suara Mario terdengar berat, meski wajahnya masih tak menunjukkan raut berarti.
Valeri menunduk saat Mario terus merambat ke bagian bawah tubuhnya, bermain di sekitar pusarnya dengan kedua tangan yang terus meremas buah dadanya.
"Apa yang ... ah." Tubuh Valeri melengkung saat Mario menenggelamkan diri di kelembutannya bermain dengan lidahnya, membelainya lembut dengan sesekali hisapan yang membuat Valeri semakin tak karuan.
"Mario ..." Valeri tak bisa bertahan, tubuhnya mengejang dengan perasaan melayang saat gelombang cintanya datang. Seolah seluruh beban di tubuhnya terlepas, Valeri menghela nafasnya lega.
Valeri menelan ludahnya saat Mario bangkit dan mengusap bibirnya yang basah. "Mau memulai ke menu utama?" Belum sempat Valeri berpikir, gerakan Mario dengan cepat melepas penghalang di tubuhnya hingga bentuk itu nampak nyata di depan Valeri.
Keperkasaan pria itu menjulang dengan tegang. Dan saat melihat betapa kokoh dan panjangnya bentuk tersebut Valeri membelalakan matanya.
"Tunggu-" Tak membiarkan Valeri melakukan protes, Mario segera melesakkan dirinya, membuat Valeri menjerit tertahan.
"Apa sakit?"
"Hanya terkejut." Wajah Valeri memerah. "Sekarang aku yakin ini memang bukan pertama kalinya." Mario menyeringai.
"Kau harus ingat saat kamu menjerit saat itu." Valeri semakin memerah.
"A- apa kau tidak akan bergerak?"
"Kenapa, hum?"
"Ini ... sedikit tidak nyaman," kata Valeri dengan rasa malu luar biasa.
Mario kembali meraih bibir Valeri, lalu mulai bergerak tanpa melepas ciuman mereka.
....
Mario menarik selimut untuk menutupi tubuh polos Valeri yang terlelap, lalu dia bangun untuk mengenakan bathrobe.
Berjalan ke arah nakas dan mengambil sebatang roko, lalu menyulutnya dengan api sebelum berjalan menuju balkon.
Mario menatap jauh kedepan dengan sesekali menghembuskan asap dari hidung dan mulutnya.
Dari atas sini dia bisa melihat para penjaga berpatroli dengan mengelilingi pelataran rumahnya.
Mario menggulir layar ponselnya lalu menekan sebuah nomer sebelum mendekatkannya ke telinga.
"Kenapa ingatannya terus muncul dalam mimpinya?" tanya Mario secara langsung. Dia bahkan tak perlu basa-basi.
"Maaf, Tuan?" jelas saja orang di seberang sana merasa bingung.
"Dia terus bermimpi tentang masa lalu yang belum saatnya dia ingat."
"Maaf, Tuan. Masa lalunya mungkin bisa terhapus. Tapi alam bawah sadarnya mungkin mengingat."
"Aku tidak peduli, lakukan sesuatu agar dia tidak curiga."
"Hanya obat kemarin yang bisa mencegahnya mengingat lima tahun ke belakang, Tuan. Tapi saya sudah beri tahu konsekuensinya pada Tuan Rey. Selama obat itu di konsumsi, Nona tidak akan ingat tentang masa lalunya. Jika itu muncul di alam mimpi, itu bukan kuasa saya."
Mario mengapalkan tangannya.
"Mario?" Mario tertegun saat mendengar suara Valeri. Sejak kapan gadis ini ada disana? Apa dia mendengar percakapannya? Dengan tenang dia menoleh. "Kamu sedang apa?" tanya Valeri. Gadis itu mengenakan bathrobe di tubuhnya.
"Menerima panggilan. Aku takut kamu terganggu."
"Sejak kapan kamu disana?" Mario menekan rokoknya diatas asbak.
"Baru saja." Mario menarik sudut bibirnya saat Valeri tak mendengar percakapannya.
"Kamu terbangun? Karena mimpi lagi?" Mario berjalan mendekat.
Valeri menggeleng tersenyum. "Aku cuma mau ke toilet."
"Apa kegiatan kita berhasil membuat mimpi burukmu hilang?" Mario meraih pinggang Valeri mendekat.
"A- aku tidak tahu." Wajah Valeri memerah.
"Haruskah, kita lakukan lagi untuk membuktikannya?"
"Tunggu, apa?" Valeri menghentikan ucapannya saat Mario menggendongnya dalam sekali hentakkan, lalu membawanya ke arah ranjang.
"Mario, kita baru saja melakukannya?" Valeri menahan dada Mario, saat pria itu menindihnya.
"Kenapa? Tak ada larangan melakukannya berkali-kali." Mario membungkam Valeri dengan ciuman. Kedua tangannya bergerak membuka tali bathrobe yang di kenakan Valeri lalu mendaratkan tangannya di permukaaan kulit Valeri, hingga gadis itu kembali mendesah tidak karuan.
....
Saat Valeri bangun dia tak menemukan Mario. Valeri menoleh dan menemukan matahari sudah naik ke permukaan. "Aku lapar," ucapnya dengan menurunkan kakinya. Seluruh tubuhnya pegal dan lelah, jadi dia hanya bisa melangkah gontai ke arah kamar mandi.
Selesai dengan mandinya, Valeri berniat untuk sarapan. Namun baru saja membuka pintu dia melihat Hilda dengan troli makanan di tangannya.
"Selamat pagi, Nona," ucapnya.
"Pagi, Hilda."
"Tuan meminta saya membawakan sarapan untuk anda. Beliau tak ingin anda lelah untuk turun ke lantai satu."
Wajah Valeri bersemu tipis, lalu mempersilakan Hilda masuk.
Menatap makanan dimeja Valeri semakin merona. Melihat semua makanan tersaji adalah untuk meningkatkan stamina.
"Tuan memperhatikan kondisi tubuh anda, Nona."
"Aku tahu, Hilda. Jangan di katakan." Valeri menepuk pipinya karena malu.
Hilda menunduk dengan tersenyum.
"Kapan Mario pergi?" Valeri merasa bersalah karena bangun terlalu siang. Bagaimana lagi dia kelelahan karena kegiatan mereka semalam.
"Tuan pergi di jam biasa, Nona. Tuan berpesan untuk jangan lupakan obat anda." Valeri mengangguk dan segera memulai makannya.
Selesai dengan makannya Hilda masih disana dan menunggu Valeri meminum obat. Hingga gadis itu meneguk air untuk mengalirkan obatnya.
"Saya permisi, Nona." Hilda mengangguk hormat lalu pergi.
Baru saja pintu tertutup Valeri merasakan mual, hingga dia berlari ke arah kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya.
Valeri mengeryit saat melihat obat yang baru dia telan ikut terbuang ke dalam wastafel.
....
Dari kamera pengawas Mario melihat gerak- gerik Valeri, mulai dari dia bangun tidur lalu memakan sarapan yang di bawa hilda.