Kehidupan Hana baik-baik saja sampai pria bernama Yudis datang menawarkan cinta untuknya. Hana menjadi sering gelisah setelah satu per satu orang terdekatnya dihabisi jika keinginan pemuda berdarah Bali-Italia itu tidak dituruti. Mampukah Hana lolos dari kekejaman obsesi Yudis? Ataukah justru pasrah menerima nasib buruknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Mengejutkan
"Demian, Kakak mau lanjutin masak dulu, ya. Nanti kita lanjut ngobrol lagi," kata Hana, tampak tergesa-gesa.
"Kak Hana nggak mau ketemu sama Bli Yudis dulu?" tanya Demian tanpa berkedip.
"Enggak. Lain kali aja," pungkas Hana, bergegas ke dapur.
Sementara Hana melanjutkan masakannya di dapur, Demian menyambut kedatangan Yudis dengan senyum sumringah. Disambutnya pria berkaca mata itu di ruang tamu dan mempersilakannya masuk.
"Bli, tumben mampir lagi kemari. Kangen, ya, sama gue?" sapa Demian, sambil nyengir.
"Gue butuh parfum baru. Ada yang lebih mantap nggak?" terang Yudis tanpa basa-basi.
"Oh, butuh parfum. Masuk aja, kuy!" ajak Demian berjalan menuju galeri parfum milik ibunya.
Yudis melihat-lihat ke sekitar ruangan, lalu menghentikan langkahnya di depan ruangan khusus parfum. Demian menyodorkan beberapa macam parfum racikan ibunya pada Yudis. Pria berkacamata itu langsung membuka botol satu per satu, lalu menghirup aromanya.
"Bli, kata Koh Kevin lo bawa cewek ke acara makan malam. Gimana? Hubungan lo sama itu cewek masih jalan, kan? Secara, lo itu, kan, ganteng, cerdas, jago bisnis, kaya, anak pejabat, seksi terus ... apa lagi, ya? Ah, pokoknya lo tuh seratus persen perfect, lah, menurut gue. Yang bener aja, cewek itu nggak mau sama lo," tutur Demian dengan santai.
Yudis mencibir sambil mengedikkan bahu. "Entahlah. Meskipun udah gue bawa ke acara penting, dia tetep aja nolak gue. Katanya gara-gara kami beda status. Mungkin dia minder disamperin terus sama gue. Padahal gue pengen banget jadian sama dia, tapi dianya susah nerima gue."
"Oh. Ya udah, sih, mending cari cewek lain aja. Masa, lo kalah sama anak SMA kayak gue, yang bisa pacarin lima cewek sekaligus. Ganteng, kok, disia-siain?" cetus Demian.
"Ah, lo tuh masih labil. Yang ada di pikiran lo tentang cewek, sama kayak si Kevin. Cuma buat seneng-seneng doang," ketus Yudis mendelik.
Demian tersipu-sipu sambil menggaruk kepalanya. "Ya ... gimana, ya? Abisnya gue nggak tahan kalau ngejomblo. Hape gue sepi, nggak ada notifikasi."
Yudis mengembuskan napas berat, sambil melirik Demian sebentar. Setelah dirasa menemukan aroma maskulin yang cocok, Yudis memasukkan botol parfum ke saku celananya.
"Duitnya udah gue transfer duluan ke nyokap lo. Lo nggak usah nagih lagi ke gue, ya," ujar Yudis, sambil membuktikan pembayaran di layar ponselnya pada Demian.
"Iya. Santai aja."
"Gue cabut dulu, ya. Kapan-kapan gue ke sini lagi kalau parfumnya nggak berhasil ngegaet cewek idaman gue," pamit Yudis melangkah menuju ruang tamu.
Demian meraih tangan Yudis seraya berkata, "Ngapain buru-buru pergi, Bli? Santai aja dulu. Kita ngopi-ngopi bentar. Nanti gue kenalin lo sama cewek cantik. Gimana?"
"Males, ah. Gue masih ada perlu bentar di luar." Yudis melepaskan genggaman tangan Demian dengan lesu.
"Ayolah! Gue masih kangen ngobrol sama lo. Baru sekarang lagi kita ketemu setelah lo tersandung kasus. Oke? Mau, ya?" bujuk Demian penuh harap.
"Ya udah, deh."
Yudis berjalan menuju halaman belakang kediaman Bu Laras, sedangkan Demian pergi ke dapur. Dihampirinya Hana yang baru saja selesai memasak, sambil tersenyum-senyum.
"Kak, bikinin kopi pahit dua, ya. Nanti anterin ke halaman belakang," pinta Demian.
"Dua? Buat siapa aja?"
"Buat siapa lagi coba? Ya buat gue sama Bli Yudis lah."
Terbelalak Hana mendengar jawaban Demian. "Y-Yudis belum pulang?!"
"Kenapa kaget gitu mukanya, Kak? Santai aja. Dia orangnya baik, kok, nggak jelalatan kayak cowok lain."
"T-Tapi, Demian ...."
"Ditunggu kopinya, ya," kata Demian, sembari mengedipkan sebelah matanya dan bergegas meninggalkan dapur.
Hana mendesah kasar selepas Demian pergi. Ia tak habis pikir akan menghadapi situasi yang paling dibencinya. Menyuguhkan kopi pada Yudis, tak ada bedanya dengan profesi sebelumnya. Pelayan kafe.
Kendati demikian, Hana tetap bersikap profesional. Ia menuangkan dua sendok kopi hitam ke dalam cangkir, lalu mencampurkannya dengan air panas. Ditaruhnya dua cangkir kopi hitam itu ke nampan, sambil memasang muka masam. Sungguh, degup jantungnya berpacu lebih cepat tatkala berjalan menuju halaman belakang.
Hana menghela napas dalam-dalam, berusaha memudarkan kegugupan yang mengusik benaknya. Tak peduli dengan reaksi Yudis kelak, ia harus tetap bersikap tenang seperti biasa. Setidaknya dengan kehadiran Demian, Yudis mustahil berbuat nekat seperti di depan rutan kemarin.
Dengan langkah yakin, Hana membawa dua cangkir kopi ke tempat Yudis dan Demian berbincang-bincang. Ditaruhnya cangkir-cangkir itu di meja, tanpa gemetar sedikit pun.
Di sisi lain, Yudis yang menyadari kehadiran Hana sejak tadi, bersikap lebih kalem seolah tak pernah mengenal gadis itu sebelumnya. Meski begitu, matanya masih saja enggan lepas memperhatikan Hana. Seulas senyum mengembang di bibirnya, seakan menggambarkan kebahagiaan dari dasar hatinya.
"Silakan," ujar Hana, kemudian berbalik badan.
Demian segera memegang tangan Hana sambil mendongak. "Mau ke mana, Kak? Tunggu dulu di sini. Kenalin, ini Bli Yudis."
Yudis dengan sumringah beranjak dari kursi, kemudian mengulurkan tangan pada Hana. Tentu saja, sikapnya yang terkesan berpura-pura itu membuat Hana merasa heran.
Kendati demikian, gadis itu tetap menanggapi dengan santai. Ia menyambut uluran tangan Yudis dan bersalaman. Sesekali ia menatap sinis, seakan tak suka dengan perilaku Yudis yang seperti baru pertama kali bertemu dengannya.
"Yudis," ucap pemuda berkacamata itu.
"Hana," sahut Hana.
Yudis masih menatap Hana begitu dalam. Hatinya merasa lega, karena tak perlu lagi jauh-jauh menguntit gadis itu ke tempat lain. Ia memegang tangan Hana lebih kuat seakan menandakan, bahwa gadis itu tak akan pernah lepas darinya.
Sementara itu, Hana merasa tidak nyaman dengan genggaman Yudis yang semakin mencengkram. Ia berusaha keras melepaskan tangan pria itu. Lewat isyarat tatapan mata, ia mendesak Yudis untuk menghentikan sandiwaranya.
"Kayaknya Bli Yudis langsung suka sama Kak Hana, ya," celetuk Demian tersenyum-senyum.
Seketika, Yudis melepaskan jabatan tangannya dari Hana. Ia pun tersipu-sipu, sambil tersenyum memandangi Hana. Adapun Hana, berusaha membuang muka akibat rasa tidak nyaman bertemu langsung dengan Yudis.
"Demian, Kakak masuk lagi ke dalam, ya," kata Hana, menatap Demian.
"Loh? Nggak ngobrol-ngobrol dulu sama Bli Yudis? Kalian, kan, baru aja kenalan." Demian tercengang.
"Kerjaan di dalam masih banyak. Nanti mama kamu marah kalau rumahnya masih kotor. Kakak permisi dulu, ya," tutur Hana tergesa-gesa.
"Ya udah, deh." Demian tersenyum hambar.
Bergegas Hana masuk kembali ke rumah sambil membawa nampan. Perasaannya tak karuan, menyadari keberadaannya di kediaman Bu Laras tidaklah aman. Selama Yudis masih menemukan Hana, maka kehidupan gadis itu tak akan pernah tenang.
Sementara itu, Yudis mengetik pesan untuk Hana di sela-sela obrolannya bersama Demian. Pemuda itu kembali berbincang ringan dengan si pemilik rumah, setelah pesan berhasil dikirim.
Di dapur, Hana yang mendengar bunyi notifikasi di ponselnya, langsung membuka pesan masuk. Napasnya tercekat tatkala membaca pesan itu dengan saksama.
+62xxx : Kamu pikir, kamu bisa lari dariku, Hana? Aku nggak nyangka, langkah yang kamu pilih justru malah bikin kita semakin dekat.