Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Mama
Pagi itu, rumah sakit terasa berbeda bagi Arini. Mungkin hanya perasaannya saja, tapi langkahnya terasa lebih ringan ketika memasuki ruang anak tempat Celin dirawat. Sejak malam kemarin, setelah Bagas memberitahu bahwa Celin benar-benar tidak memiliki keluarga lagi, hatinya penuh dengan keyakinan baru.
Di dalam ruangan, Celin sudah duduk di ranjang. Boneka kelincinya tetap setia di pelukan, rambut halusnya sedikit acak-acakan. Saat melihat Arini masuk, matanya langsung berbinar.
“Tanteee…” suaranya melengking, membuat Arini tersenyum lebar.
“Pagi, sayang,” jawab Arini sambil mendekat. Ia mencium kening Celin lalu duduk di sampingnya. “Tidurnya nyenyak?”
Celin mengangguk, lalu menunjuk ke jendela. “Matahari… terang.”
Arini terkekeh kecil. Di usianya yang baru dua tahun, Celin seakan punya cara berbicara yang lebih jelas dibanding anak sebayanya. Setiap kalimatnya singkat, tapi penuh makna.
“Betul, sayang. Hari ini cerah sekali. Sama seperti senyum Celin.”
Gadis kecil itu terkikik, lalu menyodorkan kelincinya. “Peluk.”
Arini menerima boneka lusuh itu, lalu berpura-pura berbicara dengan suara lucu, “Hai, aku kelinci Celin. Aku seneng banget punya mama baru.”
Celin terkesiap. Ia menatap Arini lekat-lekat. “Mama…?” suaranya lirih, seakan takut salah dengar.
Arini terdiam sejenak, hatinya bergetar. Ia tidak berniat menyebut kata itu, tapi lidahnya lebih cepat dari pikirannya. Tangannya langsung meraih jemari mungil Celin.
“Celin mau panggil Tante… Mama?” tanya Arini lembut.
Mata bulat itu berkaca-kaca. Bibir mungilnya bergetar, lalu dengan suara pelan tapi jelas ia berkata, “Mama…”
Arini langsung memeluknya erat-erat. Air matanya tumpah tanpa bisa dibendung. “Iya, sayang. Iya… mulai sekarang Mama akan selalu ada buat kamu.”
---
Hari-hari setelah itu, ruangan Celin jadi lebih hidup. Para perawat yang biasanya menjaga bergantian kini sering menemukan Celin duduk di pangkuan Arini sambil mendengarkan cerita. Arini membawakan buku bergambar, kadang boneka tangan, dan Celin selalu memperhatikan dengan seksama, seakan menyerap setiap detail cerita.
“Dok, anak ini luar biasa,” ujar salah satu perawat, Sinta, suatu sore. “Biasanya anak usia segini belum bisa merangkai kalimat jelas. Tapi dia… cepat sekali tanggapnya.”
Arini mengangguk. “Iya. Aku juga perhatiin. Mungkin memang dia anak istimewa.” Ia menatap Celin yang tengah menggambar dengan krayon di atas kertas. Goresannya memang belum rapi, tapi ia bisa membentuk lingkaran besar dengan titik-titik kecil di sekelilingnya.
“Matahari,” kata Celin sambil menunjuk.
Arini tersenyum bangga. “Pintarnya anak Mama.”
Celin tersipu, pipinya memerah. Sejak pertama kali memanggil Arini dengan sebutan Mama, anak itu semakin lengket, seolah menemukan rumah baru yang selalu ia cari.
---
Sementara itu, Bagas mulai mengurus dokumen adopsi dengan bantuan seorang pengacara keluarga. Meski prosesnya panjang, ia tahu setiap langkah penting untuk memastikan tidak ada masalah hukum di kemudian hari.
Suatu malam, Bagas pulang lebih larut dari biasanya. Arini sudah menunggu di ruang tamu, masih mengenakan piyama. “Mas, gimana hasilnya?” tanyanya cemas.
Bagas duduk, melepas dasinya. “Masih panjang, Arin. Kita harus ajukan permohonan ke pengadilan, ada investigasi sosial, dan butuh persetujuan dari dinas perlindungan anak. Tapi kabar baiknya, karena Celin benar-benar nggak punya keluarga, peluangnya besar.”
Arini mengangguk, berusaha sabar. “Aku akan lakukan apa pun, Mas. Aku nggak peduli berapa lama. Yang penting Celin bisa resmi jadi anak kita.”
Bagas tersenyum lembut, lalu menggenggam tangannya. “Aku tahu. Dan aku akan selalu dukung kamu.”
---
Beberapa minggu berlalu. Celin makin sehat, bekas luka di pelipisnya berangsur membaik. Ia sudah bisa berjalan lincah di koridor rumah sakit, menyapa perawat dan dokter dengan ramah. Semua orang di rumah sakit jatuh hati padanya.
Suatu pagi, Arini mengajak Celin ke taman rumah sakit. Udara masih segar, embun belum hilang sepenuhnya. Celin berlari kecil di atas rumput, tertawa riang.
“Mama, bunga!” teriaknya sambil menunjuk sekuntum bunga kertas merah muda.
Arini tersenyum, mengambil bunga itu, lalu menyelipkannya di telinga Celin. “Cantiknya anak Mama.”
Celin terkikik, lalu tiba-tiba menatap langit lama sekali. “Papa di sana?”
Pertanyaan itu membuat langkah Arini terhenti. Hatinya kembali terasa perih. Ia mendekat, berjongkok di depan Celin. “Iya, sayang. Papa sama Mama Celin ada di surga sekarang. Mereka pasti seneng lihat Celin sehat dan bahagia.”
Celin diam sejenak, lalu menggenggam tangan Arini erat. “Mama jangan pergi.”
Arini langsung menahan air matanya. Ia memeluk Celin erat-erat. “Mama nggak akan pernah pergi, sayang. Mama di sini, selalu.”
---
Malamnya, ketika Arini bercerita pada Bagas tentang percakapan itu, suaminya hanya mengangguk pelan. “Anak sekecil itu sudah bisa mengerti kehilangan… dia memang istimewa.”
Arini menatap suaminya. “Aku merasa, Mas, Celin bukan cuma anak biasa. Ada sesuatu yang Tuhan titipkan lewat dia. Rasanya… sejak dia ada di hidup kita, rumah sakit ini, bahkan rumah kita sendiri jadi lebih hangat.”
Bagas mengusap pipi istrinya. “Mungkin benar. Bisa jadi dia anugerah yang kita tunggu-tunggu selama ini.”
---
Suatu sore, dr. Hendra memanggil Arini ke ruangannya. “Arini, Om sudah dengar kamu dan Bagas serius soal adopsi Celin.”
Arini mengangguk. “Iya, Om. Kami sudah mulai urus dokumennya.”
Hendra menghela napas, menatapnya dengan sorot penuh makna. “Om awalnya ragu. Tapi setelah lihat kamu dan anak itu… Om pikir, mungkin memang sudah jalannya. Dia butuh keluarga, dan kamu butuh anak. Jadi… Om restui.”
Arini terharu, matanya berkaca-kaca. Ia bangkit lalu memeluk pamannya. “Terima kasih, Om… terima kasih.”
Hendra tersenyum tipis. “Tapi ingat, jadi orang tua itu bukan cuma soal rasa sayang. Butuh kesabaran, pengorbanan, dan komitmen seumur hidup. Kamu siap?”
Arini menatapnya dengan yakin. “Aku siap, Om. Demi Celin.”
---
Hari berganti minggu. Celin akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Hari itu, Arini dan Bagas menjemputnya. Celin tampak ceria dengan gaun sederhana berwarna kuning muda, boneka kelinci tetap dalam pelukannya.
Begitu sampai di rumah, matanya membesar takjub. Rumah besar keluarga Bagaskara dengan halaman luas terasa seperti dunia baru baginya. Ia berlari kecil ke ruang tamu, menyentuh sofa, vas bunga, lalu menatap tangga besar dengan kagum.
“Rumah Mama?” tanyanya polos.
Arini tersenyum, mengangguk. “Iya, sayang. Mulai sekarang ini rumah Celin juga.”
Celin menatapnya lama, lalu tersenyum lebar. “Rumah… Mama…”
Hati Arini meleleh. Ia menunduk, mencium pipi mungil itu. Bagas yang berdiri di belakang mereka hanya bisa tersenyum hangat melihat pemandangan itu.
---
Malam pertama di rumah, Celin tidur di kamar yang sudah disiapkan khusus untuknya. Dindingnya dicat warna biru muda dengan stiker bintang-bintang. Sebuah ranjang kecil dengan sprei bergambar kelinci menunggu di sudut ruangan.
Sebelum tidur, Arini duduk di tepi ranjang, membacakan cerita. Celin mendengarkan dengan mata berbinar. Lalu, ketika Arini hendak berdiri, tangan kecil itu menahan lengannya.
“Mama… jangan pergi. Tidur sini.”
Arini tersenyum, lalu berbaring di sampingnya. Celin memeluk boneka kelinci, lalu perlahan menutup mata. Namun sebelum benar-benar terlelap, ia berbisik, “Aku sayang Mama.”
Air mata Arini kembali menetes. Ia mengecup kening Celin. “Mama juga sayang kamu, sayang. Selamanya.”
Dan malam itu, di rumah besar keluarga Bagaskara, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Arini benar-benar merasa lengkap. Bukan lagi hanya seorang dokter anak yang mencintai pasiennya, tapi seorang ibu yang akhirnya memiliki anak kandung hati.
Sementara di luar jendela, bulan bersinar terang, seakan ikut merestui ikatan baru yang mulai tumbuh di antara mereka.
---
Bersambung…
cakra msti lbih crdik dong....ga cma mlindungi celin,tp jg nyri tau spa juan sbnrnya....mskpn s kmbar udu nyri tau jg sih....
nmanya jg cnta.....ttp brjuang cakra,kl jdoh ga bkln kmna ko....
kjar celine mskpn cma dgn prhtian kcil,ykin bgt kl klian brjdoh suatu saat nnti.....
ga pa2 sih mskpn beda usia,yg pnting tlus....spa tau bnrn jdoh....
nongol jg nih clon pwangnya celine.....
msih pnggil kk sih,tp bntr lg pnggil ayang....🤭🤭🤭