Rasa sakit yang Maura rasakan saat mengetahui Rafa menikah dengan wanita lain tidak sebanding dengan rasa sakit yang kini dia rasakan saat tahu dirinya tengah hamil tanpa tahu siapa lelaki yang sudah membuatnya hamil.
Kejadian malam dimana dia mabuk adalah awal mula kehancuran hidupnya.
Hingga akhirnya dia tahu, lelaki yang sudah merenggut kesuciannya dan membuatnya hamil adalah suami orang dan juga sudah memiliki seorang anak.
Apa yang akan Maura lakukan? Apakah dia akan pergi jauh untuk menyembunyikan kehamilannya? Atau dia justru meminta pertanggung jawaban kepada lelaki itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dewi widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Fabian yang kebetulan sabtu ini pulang cepat memutuskan untuk pergi joging sore di taman untuk merilekskan ototnya yang terasa kaku akibat aktivitasnya yang beberapa hari ini lumayan padat. Setelah operasi besar kemarin, dia harus pergi workshop lagi di sebuah kampus di luar kota. Membuat dia tidak bisa meluangkan waktunya untuk sekedar memberi kabar pada Maura. Bukannya Fabian tidak ingin memberi kabar pada Maura, dia hanya ingin fokus pada workshop karena dia ditunjuk sebagai pembicara di acara tersebut.
Fabian yang saat ini joging sore dan baru saja keluar dari komplek perumahan terlihat memelankan langkah kakinya saat melihat wanita yang dia kenal. Kedua alisnya saling bertautan dengan pandangan mata fokus pada wanita yang sudah hampir seminggu ini tidak dia temui. "Maura!!" Gumam Fabian saat melihat wanita yang ternyata Maura itu tengah berjalan tergesa dan sepertinya tengah menghindari sesuatu. Fabian yang melihat sikap aneh Maura memutuskan untuk mendekati wanita yang tengah mengandung benihnya itu.
Brukk
"Aduchh!!" Keluh Maura saat kakinya tersandung dan membuat rujak yang dibelinya tadi jatuh terkoyak di aspal.
"Maura!!"
Maura yang tengah berjongkok untuk mengambil bungkusan rujak yang sudah terkoyak itu mendongak kepalanya keatas untuk melihat siapa lelaki yang tengah berdiri dihadapannya. Dia takut kalau Rafa akhirnya menyusul dirinya dan menemukannya sekarang.
"Fabian!!" Maura bernafas lega karena ternyata lelaki itu bukan Rafa, melainkan Fabian.
Meski Maura lega karena yang dia temui sekarang bukan Rafa, tapi tetap saja dia kesal saat melihat Fabian. Lelaki yang sudah hampir seminggu ini tidak ada kabar tiba-tiba muncul dihadapannya dengan pakaian joging nya. "Kirain sibuk di rumah sakit, ternyata sibuk joging." Gerutu Maura lirih. Biar saja Fabian dengar, dia tidak perduli.
Fabian tersenyum sekilas dan membantu Maura berdiri. Dia juga mengambil kantong plastik yang berisi rujak yang sudah terkoyak isinya. Meski dia mendengar apa yang Maura katakan, dia hanya diam saja dan tersenyum dalam hati. "Kamu masih mau menyimpannya?" Fabian mengangkat kantong plastik yang berisi rujak itu menunjukkan kepada Maura.
Maura menatap kantong plastik itu dengan tatapan sedih, rujak dengan isian buah mangga muda yang dia inginkan dari tadi sudah terkoyak karena terjatuh. Dengan menelan air liur nya sendiri, Maura menggeleng kepala ragu. Dia tidak ingin menyimpannya, tapi dia juga ingin memakannya.
Fabian lantas membuangnya ke tong sampah yang tidak jauh dari mereka. "Kamu mau beli lagi?" Tawar Fabian. "Ayo aku antar!" Fabian mengulurkan tangannya kepada Maura.
Maura melihat uluran tangan Fabian sebentar sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya pelan. Kalau dia kembali membeli rujak, yang ada dia nanti ketemu lagi sama Rafa. Dia tidak mau bertemu Rafa karena malu dengan keadaannya saat ini. Atau lebih parahnya lagi, Rafa akan menganggapnya wanita murahan. Meski dia masih sedikit memiliki perasaan sama Rafa dan tidak sebanyak dulu, tapi tetap saja dia tidak ingin dipandang rendah sama Rafa.
"Aku mau yang langsung dari pohonnya." Ucap Maura asal.
"Ayo, kalau gitu ikut aku!" Fabian menarik pelan pergelangan tangan Maura dan diajaknya pergi.
"Mau kemana?" Tanya Maura yang tidak tahu Fabian akan membawanya kemana. Dia masih kesal pada lelaki itu. Tapi kenapa dia nurut saja saat Fabian mengajaknya pergi. Apalagi ada sedikit rasa menggelitik didalam hatinya.
"Memetik mangga muda." Jawab Fabian dengan tersenyum kearah Maura.
Senyum itu sungguh manis, membuat Maura terpaku sesaat meski setelahnya lelaki itu tidak menatap kearahnya lagi. Namun senyum itu masih ada dan membuat Maura semakin terhipnotis. Dulu Umma Annisa pernah bilang pada dirinya. "Menikah dengan duda itu enak, banyak pengalamannya, puas banget pokoknya." Maura mengingat perkataan Umma Annisa saat dirinya remaja dulu.
"Apa yang dimaksud Umma waktu itu perhatian juga urusan ranjang ya?" Batin Maura yang tiba-tiba kedua pipinya memanas membayangkan adegan panas dirinya dengan Fabian.
Sayang sekali malam romantis waktu itu dirinya dalam keadaan setengah sadar, coba kalau dalam keadaan sadar. Mungkin Maura masih mengingat adegan panas keduanya hingga menghasilkan benih zigot di dalam rahimnya.
"Ayo masuk!!" Ajak Fabian setelah membuka pintu pagar yang tidak terlalu tinggi.
Maura tersadar dari lamunannya dan melihat sekitarnya. Dia masuk ke sebuah komplek perumahan dan saat ini berhenti di sebuah rumah yang tidak begitu besar seperti rumahnya juga tidak terlalu kecil, sedang dengan rumah gaya minimalis modern. "Ini rumah siapa?" Tanya Maura karena tidak mengenali rumah siapa itu yang mereka datangi.
"Ini rumah aku." Jawab Fabian. "Ayo masuk!! Katanya tadi mau mangga muda." Ajak Fabian yang sudah masuk duluan dan menahan pintu pagar.
Maura menatap rumah itu, ini pertama kalinya dia datang ke rumah Fabian. Dengan ragu dia melangkah masuk dengan pandangan mata masih menatap sekeliling rumah.
"Kenapa? Rumahnya kecil yaa." Tanya Fabian saat melihat Maura mengamati sekitar rumahnya yang tidak sebesar rumah milik keluarga Abrisam.
"Nggak kok." Maura menggeleng kepala cepat. "Ini tuh dah termasuk besar. Aku malah suka rumah yang tidak terlalu besar seperti ini. Tidak capek kalau mau kesana kemari. Kadang juga nyasar aku kalau lagi ada di rumah." Ungkap Maura dengan perasaan senang mengingat dirinya sering nyasar saat berada di rumah sendiri.
Fabian mengangguk membenarkan, dia sendiri aja saat ke rumah Maura terasa jauh dari pintu gerbang ke rumah utama. Selain halamannya yang begitu luas, rumahnya juga sama luas dan besarnya. Pasti dirinya juga akan nyasar bila disuruh ke dapur saja.
"Ayo!! Waktunya kita metik mangga." Fabian kembali menggandeng tangan Maura dan menuju taman belakang melalui jalan samping rumah.
Maura melihat kolam renang minimalis di belakang rumah, dan ada beberapa pohon mangga yang sudah berbuah juga pohon rambutan sama kelengkeng yang belum berbuah. Mungkin karena bukan musimnya.
"Itu pohon apa? Tinggi banget." Maura menunjuk pohon yang ada dipaling pojok kiri yang menjulang paling tinggi diantara pohon lainnya.
Fabian mengikuti arah pandang Maura. "Itu pohon matoa." Sebut Fabian. "Kamu sudah pernah makan buah matoa?" Fabian bertanya sambil kembali menatap Maura.
Maura menoleh dan menggeleng kepalanya pelan. "Aku belum pernah makan. Seperti apa buahnya?" Maura terlihat begitu penasaran dengan buah yang Fabian sebutkan tadi. Entah sebenarnya dia lupa atau memang belum pernah makan dan melihatnya sama sekali.
"Buahnya seperti kelengkeng, tapi ukurannya sedikit lebih besar. Nanti aku petikkan buat kamu." Maura mengangguk semangat atas tawaran gratis yang Fabian berikan pada dirinya.
"Kamu tunggu disini sebentar." Fabian meninggal Maura dan masuk kedalam rumah memanggil pelayan rumah untuk menyiapkan minum juga keperluan buat bikin rujak.
"Mau berapa mangga nya?" Tanya Fabian yang sudah kembali. Dia menatap dua pohon mangga yang buahnya tidak begitu lebat.
Maura yang duduk di sebuah kursi taman menoleh dan menjawab, "kalau bisa semuanya." Jawabnya dengan tertawa kecil.
"Oke!! Asal nanti dihabiskan." Balas Fabian menatap Maura dengan menaikkan kedua alisnya.
Fabian kini sudah manjat ke atas pohon mangga dan Maura sendiri berdiri dibawah pohon sambil mendongak, melihat Fabian yang tengah memilih buah yang sekiranya tidak terlalu muda juga tidak begitu matang.
"Lihat Papa kamu. Dia rela manjat pohon demi keinginan kita." Ucap Maura lirih mengajak debaynya mengobrol sambil mengusap perutnya.
Maura tersenyum senang, dia membayangkan kalau saja seandainya dirinya sungguh menerima Fabian dalam kehidupannya dan mau menikah dengan Fabian, pasti hidupnya akan bahagia. Mengingat sekarang saja saat keduanya tidak memiliki hubungan yang terikat, Fabian begitu perhatian pada dirinya juga bayi yang masih ada dalam kandungannya.
"Apa aku harus menerimanya? Menikah demi anak kami."