Sikap anak dan suami yang begitu tak acuh padanya membuat Aliyah menelan pahit getir segalanya seorang diri. Anak pertamanya seorang yang keras kepala dan pembangkang. Sedangkan suaminya, masa bodoh dan selalu protes dengan Aliyah yang tak pernah sempat mengurus dirinya sendiri karena terlalu fokus pada rumah tangga dan ketiga anaknya. Hingga suatu hari, kenyataan menampar mereka di detik-detik terakhir.
Akankah penyesalan anak dan suami itu dapat mengembalikan segalanya yang telah terlewatkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAS 26
"Bun, Aliyah tidak ada di sini."
Ucapan Amar sontak saja membuat langkah Sang Bunda berhenti. Lalu ia membalikkan badannya menghadap sang putra yang sedang tertunduk.
"Maksudmu apa? Aliyah tidak ada di rumah? Memangnya dia kemana? Jangan bilang kau masih menyuruhnya ini itu saat ia sedang sakit?" tanya sang bunda dengan mata memicing.
Amar menggelengkan kepalanya, "sebaiknya bunda duduk dulu. Nanti biar Amar jelaskan!"
"Amar, sebaiknya jangan bertele-tele. Katakan sebenarnya ada apa? Dimana Aliyah? Kalau dia sedang sakit, kenapa dia tidak kau suruh istirahat? Dimana dia? Cepat katakan. Jangan buat bunda kesal seperti ini!" sentak Bunda Naima.
Amar makin tertunduk. Matanya terpejam. Tak mungkin ia menyembunyikan rahasia sebesar ini. Mau bagaimanapun ia merahasiakannya, suatu hari pasti akan terbongkar juga. Tak ada kebohongan yang sempurna. Apalagi hal itu melibatkan penyakit salah satu anggota keluarga mereka.
"Bun, Aliyah ... Aliyah ... "
"Aliyah kenapa? Katakan apa yang terjadi pada Aliyah, Amar?" tanya Bunda Naima panik.
"Aliyah sakit parah, Bun. Aliyah ... Kini sedang koma dan harus menjalani perawatan intensif," ujar Amar dengan suara bergetar.
Bunda Naima terperanjat kaget. Bahkan tas yang ada di tangannya sampai terjatuh. Hampir saja ia jatuh terhuyung kalau saja ia tidak berpegangan dengan salah satu kursi di sana.
"Aliyah koma? Dan kau tidak mengatakannya pada bunda? Kau ini suami macam apa, Amar? Kenapa kau merahasiakan masalah sebesar ini, hah? sentak Bunda Naima lepas kendali. Bahkan ia sampai lupa kalau ada sesosok anak kecil yang berdiri di sampingnya.
"I-ibu ... hiks ... hiks ... hiks ... "
Gaffi yang mendengar suara menggelegar sang eyang sontak terperanjat hingga menangis kencang. Bunda Naima tampak kelimpungan. Ia benar-benar lepas kendali. Lantas ia meraih Gaffi ke dalam gendongannya. Tak disangka, Amri pun ikut menangis dari dalam kamarnya. Mungkin ia pun ikut terkejut mendengar suara sang nenek yang lepas kendali.
Amar pun gegas masuk ke kamar untuk menenangkan putra bungsunya.
Setelah satu jam berlalu, akhirnya kedua bocah itu sudah tampak tenang. Mereka kini bahkan sedang makan cemilan yang dibawakan bunda Naima sebagai oleh-oleh.
Sementara itu, bunda Naima dan Amar sedang duduk di ruang tamu. Sang bunda ingin menginterogasi sang putra mengapa sampai merahasiakan hal sebesar ini. Bukan hanya pada dirinya, tapi seluruh keluarga besar mereka, termasuk orang tua Aliyah yang ada di kampung.
Dengan meremas kedua telapak tangannya, Amar menunduk kaku. Ia yakin, sang ibu pasti akan begitu marah saat mengetahui bagaimana sikapnya selama ini pada Aliyah.
"Jadi jelaskan, sejak kapan Aliyah koma? Dan apa penyebabnya?" tanya Bunda Naima berusaha tenang. Ia tidak bisa menyalahkan putranya begitu saja tanpa mendengarkan penjelasannya.
"Aliyah sudah dirawat beberapa hari ini. Sebenarnya, ini salah Amar. Amar yang tidak bisa mengontrol emosi hingga melemparkan asbak tepat ke kepala Aliyah. Melihat Aliyah tampak biasa saja, Amar pikir tidak ada masalah. Tapi ..."
"Tapi apa? Cepat ceritakan segalanya tanpa bertele-tele!" sentak Bunda Naima pelan agar kedua cucunya tidak mendengar kemarahannya.
"Tapi ternyata tanpa Amar ketahui, Aliyah terluka di kepalanya. Bahkan Aliyah sampai pingsan berhari-hari dan Amar ... Amar tidak menyadarinya."
"Apa? Astaghfirullah, Amar. Apa karena itu Aliyah mengalami koma?" cecar Bunda Naima.
Amar menggelengkan kepalanya, "ternyata ada hal yang lebih mengejutkan dari itu, Bun. Ternyata ... ternyata Aliyah mengidap penyakit."
"Penyakit? Penyakit apa?" tanya bunda Naima yang kian mengkhawatirkan keadaan sang menantu.
Amar tergugu pilu setiap mengingat penyakit apa saja yang Aliyah idap saat ini.
"Kanker otak stadium lanjut, gagal ginjal, dan ... asam lambung kronis."
Bunda Naima terperanjat. Ia memegang dadanya yang tiba-tiba terasa begitu nyeri. Bagaimana menantunya yang selama ini tampak baik-baik saja ternyata mengidap begitu banyak penyakit. Penyakit satu saja sudah sangat sulit disembuhkan, apalagi ini 3 sekaligus.
"Dan kau ... baru tau? Benar begitu?"
Amar mengangguk dengan mata memerah.
"Astaghfirullah, Amar. Kau itu suami macam apa, hah? Sampai-sampai istri mengidap penyakit begitu banyak pun kau tidak tahu."
"Ampun, bunda. Ampuni Amar, Amar memang laki-laki bodoh. Amar memang suami yang jahat. Padahal ... selama ini Aliyah sering mengeluh sakit kepala dan perutnya, tapi ... tapi Amar justru mengatakannya cengeng. Amar tidak memedulikannya. Amar acuh tak acuh. Aliyah juga pernah meminta ditemani ke dokter, tapi Amar ... Amar ... "
Plak
Plak
Tamparan mendarat di pipi kiri dan kanan Amar bergantian. Pelakunya adalah bunda Naima. Ia benar-benar marah sekaligus kecewa dengan putranya itu. Ia tidak menyangka putranya bisa berlaku begitu kejam pada istrinya sendiri. Bahkan bunda Naima sudah meneteskan air matanya. Dadanya naik turun menunjukkan kalau ia benar-benar emosi.
"Sebenarnya otakmu dimana, Amar? Begitu teganya kau melempar istrimu dengan asbak? Bunda yakin, memang Aliyah mengidap penyakit, tapi pemicunya sampai koma adalah perbuatanmu. Kenapa kau begitu tega Amar? Sesalah-salahnya Aliyah, tidak pantas kau memperlakukannya seperti itu. Apalagi sampai melukainya. Sebenarnya apa yang membuatmu begitu emosi sampai melakukan hal itu, hah? Kenapa?" pekik Bunda Naima tapi dengan suara tertahan. Ia benar-benar kecewa dengan perbuatan sang putra. "Dan ... Kenapa kau begitu tidak berperasaan mengabaikan istrimu yang sakit. Bahkan kau sampai tidak tahu kalau Aliyah mengidap penyakit sebanyak itu. Ya Allah, kau benar-benar suami yang dzalim, Amar. Bunda benar-benar kecewa padamu."
Bunda Naima terisak pilu. Tak terbayang betapa menyedihkan nasib menantunya itu. Diabaikan sang suami. Bahkan saat sakit pun bukannya diperhatikan, tapi sebaliknya.
"Maafkan Amar, Bun. Amar salah. Amar menyesal."
Amar tidak menceritakan perihal Nafisa. Entah sekecewa apa bundanya nanti bila tahu ia sempat membawa wanita lain masuk ke dalam kehidupannya. Apalagi ibunya sangat membenci orang ketiga. Perusak rumah tangga orang lain.
"Maaf? Bukan pada bunda kamu seharusnya meminta maaf, tapi pada Aliyah. Kamu benar-benar kejam, Amar. Sungguh suami yang tidak memiliki hati. Apa bunda mendidik mu untuk jadi lelaki kejam dan jahat seperti itu? Bukankah Bunda selama ini selalu mengajarkanmu agar jadi laki-laki yang bertanggung jawab? Bukan laki-laki tidak berperasaan seperti ini? Cukup ayahmu yang brengsekk, tapi kau jangan!" sentak Bunda Naima dengan mata yang masih bercucuran air mata. "Pada Aliyah lah kau bersalah. Pada Aliyah pula kau berhutang maaf. Tapi ... apa mungkin Aliyah masih mau memaafkan perbuatanmu? Kau tahu Amar, satu yang paling bunda takutkan, bagaimana kalau kau kehilangan kesempatan meminta maaf? Bagaimana? Bagaimana, Amar?" lirih Bunda Naima yang kini sudah terduduk lemas.
Amar menggeleng cepat, "Bun, Amar harus bagaimana? Amar tidak ingin kehilangan Aliyah. Amar benar-benar menyesal, Bun. Tolong bantu Amar! Amar tidak ingin kehilangan Aliyah, Bun. Tidak."
Membayangkan Aliyah pergi meninggalkannya, membuat jantung Amar terpompa berkali-kali lipat. Tak terbayangkan bila Aliyah pergi dari sisinya. Baru 2 Minggu mereka pisah ranjang dan tidak bertegur sapa saja, rasanya sudah menyedihkan. Ditambah beberapa hari ini melihat Aliyah yang terbaring tak berdaya membuat dunianya seakan runtuh.
Cinta yang sempat meredup, kini kembali memancarkan cahayanya. Tapi kenapa, cahaya itu harus kembali memancar di saat-saat seperti ini. Cahaya itu seakan menampar dirinya kalau sebenarnya cintanya masihlah pada sang istri. Tapi ego dan pengaruh lingkungan membuatnya nyaris salah jalan. Seandainya ia sadar lebih cepat, mungkin semua takkan jadi seperti ini.
"Memohon ampun lah pada Allah, Nak. Memohonlah pada pemilik hidup agar Aliyah diberikan kesembuhan. Memohonlah, memohonlah agar kau diberikan kesempatan untuk menebus segala kesalahanmu. Hanya itu yang bisa kau lakukan, Nak. Hanya itu selain berikhtiar melalui pengobatan."
Amar dan Bunda Naima tergugu. Dalam hati keduanya mereka berdoa, semoga Aliyah diberikan kesembuhan dan semoga masih ada kesempatan untuk Amar menebus dan memperbaiki segala kesalahannya.
Namun, mungkinkah kesempatan itu masih ada?
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
...***...
itu suami dan nak dis kok g mau bantuin sih