Duda tampan dan kaya menjadi incaran para wanita lajang, tetapi sama sekali tidak tertarik menikah lagi karena masih mencintai mantan istri yang telah direbut oleh pria lain.
Saat berencana untuk hidup melajang dengan gelar 'Duren', tetapi gagal karena sang ibu sibuk mencarikan wanita untuk dijodohkan dengannya.
Sampai ia memiliki jalan keluar untuk mencari seorang wanita untuk dijadikan istri kontrak demi mengelabuhi sang ibu.
Akankah Duren ini menemukan seorang wanita yang sesuai dengan kriterianya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dianning, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menebus kesalahan
"Coba Ibu cium ini." Kemudian mendekatkan bunga itu pada ibunya. "Harumnya." Ia kemudian mencium bunga itu sendiri sambil tersenyum. "Harum sekali. Sepertinya bunga ini dipetik dari kahyangan, dipetik oleh bidadari langsung."
Alesha kemudian menatap ibunya. Wanita itu lantas tersenyum. Meski tak terlihat, ibunya pasti sedang tersenyum sekarang.
"Ibu, selamat ulang tahun." Wanita itu tersenyum lebar. "Hari ini masih sama, bunga lavender masih menemani kita. Dan aku masih menemani Ibu. Kita masih bersama-sama."
Alesha kemudian kembali meletakkan bunga lavender itu pada vasnya. "Esok, besoknya lagi, dan seterusnya lagi, kita akan terus seperti ini sampai akhir."
Ia kemudian kembali duduk di kursinya. "Ibu, pernah bilang, bukan? Kalau kita akan selalu saling menemani satu sama lain. Itu adalah sebuah janji dan aku sudah pasti akan berusaha menepatinya. Ibu juga begitu, kan?"
"Aku percaya. Ibu adalah pejuang yang hebat. Ibu ingat dulu? Dongeng tentang para penjaga kekaisaran. Ibu pernah menceritakan kalau ada seorang perempuan yang berhasil mengalahkan naga api hitam dengan pedang pusaka kerajaan."
"Pedang pusaka itu adalah pedang yang dikutuk dan tidak bisa digunakan selama ratusan tahun lamanya, tetapi ada yang bilang kalau pedang itu hanya bisa digunakan oleh orang yang memiliki kekuatan dalam dirinya." Alesha kini menatap wajah ibunya.
"Bagiku, perempuan itu sama seperti Ibu. Ibu adalah seseorang yang memiliki kekuatan dalam dirimu sendiri. Selama aku hidup bersama ibu, aku tidak pernah melihat satupun yang tidak bisa ibu taklukkan."
Alesha kini tersenyum lebar. "Aku yakin kali ini pun begitu. Terlebih lagi, pejuang itu sekarang bersama denganku."
Wanita itu terdiam beberapa saat. Ia kemudian bersuara, mengatakan hal-hal yang selama ini ingin ia bicarakan. "Ibu, ada yang perlu aku beritahu. Ibu harus menjalani operasi jantung nanti. Aku sangat menantikannya, agar Ibu tidak kesakitan lagi."
Alesha kemudian tersenyum dengan mata membulat antusias. "Dan aku punya berita baik!"
Alesha menegakkan tubuhnya. "Ibu ingat, kan, beberapa bulan lalu aku pernah cerita kalau aku membeli kupon undian dan baru saja memenangkan hadiah itu."
"Hadiahnya memang tidak cukup untuk biaya operasi, tetapi hadiah itu bisa digunakan untuk biaya perawatan." Alesha membasahi bibirnya, mulai membicarakan inti sarinya.
"Aku tahu betul Ibu selalu khawatir tentang biaya perawatan di rumah sakit, tapi kali ini benar-benar tidak ada yang perlu Ibu khawatirkan."
"Lihat ini, kantong mataku sehat. Aku tidur dengan baik akhir-akhir ini. Karena aku sudah mendapatkan untuk biaya operasi itu." Alesha kini melipat tangannya di depan dadanya. "Jadi Ibu hanya perlu fokus pada kesehatan saja sekarang."
"Oh, iya. Ibu ingat, kan, kalau kita punya asuransi kesehatan? Aku juga sudah mengumpulkan ini. Selain itu, aku mengajukan tunjangan pemerintah juga dan berhasil mendapatkannya." Alesha kini tersenyum simpul.
"Ibu lihat sendiri, aku adalah dewi keberuntungan." Wanita itu tertawa kecil.
Sementara itu, Rafael yang mendengarnya kini mengerutkan alisnya. Jadi, wanita ini ingin merahasiakan pinjaman darinya.
"Tapi, ada seorang teman yang membantuku juga. Dia memberiku pinjaman, tanpa bunga. Aku sangat berterima kasih padanya. Karena itu, aku ingin meminta izin kepada Ibu untuk membantunya." Alesha kini menipiskan bibirnya.
Rafael kembali tersentak. Apakah wanita itu membicarakan dia?
Teman, ya. Wanita itu memperkenalkannya sebagai teman rupanya.
"Sudah malam. Ibu harus istirahat lebih banyak lagi. Lihatlah, aku sangat bersemangat. Ibu juga harus bersemangat." Alesha kini menarik selimut ibunya.
Ibu Alesha tampak menurut dan sedikit demi sedikit menutup matanya.
Sampai wanita itu benar-benar terlelap, Alesha berbalik, sedangkan Rafael kini panik, berpindah tempat persembunyian.
Lelaki itu bergeser menghimpit tembok dan menyandarkan tubuhnya dibalik liku sudut itu.
Alesha kemudian keluar dari ruangan. Ia pergi menuju taman yang kini diterangi oleh lampu-lampu berbentuk bola yang memancarkan cahaya berwarna putih terang.
Alesha duduk di kursi taman yang sekarang cukup sepi. Ia menunduk dalam, menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Lama sekali. Wanita itu menutupi wajahnya seakan tak mengizinkan udara malam itu mengusik pernapasannya.
Sampai kemudian, punggungnya bergetar. Bulir demi bulir air mata yang ditangkup dalam seni itu perlahan menderas. Sedikit demi sedikit sunyi yang menakutkan itu beradu dengan suara yang sendu.
Ia menangis.
Alesha sadar kalau air matanya tak bisa selamanya ia tahan. Melihat ibunya berbaring tak berbicara membuatnya tak berdaya. Alesha rindu saat hari-harinya berjalan dengan normal.
Tanpa ketakutan yang setiap detik memojokkannya, tanpa kekhawatiran yang setiap hari menyapanya dan ada suara ibunya.
Rafael menghela napasnya. Kalau ternyata serapuh ini, kenapa harus terus berusaha membohongi diri sendiri? Terkadang, ketika menghadapi penderitaan, berpura-pura kuat dapat memberikan sedikit kepuasan. Akan tetapi semakin lama, perasaan itu semakin menggerogoti.
Lelaki itu tahu betul. Berpura-pura kuat sama seperti pantai yang disapu ombak berkali-kali. Awalnya tak terjadi apa-apa. Semua tampak normal. Tetapi lama-kelamaan, pantai mulai terkikis. Hamparan pasir mulai dilahap lautan.
Lautan dan pantai merupakan satu kesatuan yang berada di bagian masing-masing menjalankan perannya. Namun, meski lautan dan pantai berada dalam kesatuan yang sama, lautan bisa saja mengikis pantai tanpa toleransi.
Rafael kemudian menatap Zaara. Sejenak berpikir, apakah Alesha termasuk pantai yang ia analogikan?
Atau mungkin hal yang lain.
Wanita itu perlahan-lahan membungkam suaranya. Suara tangisnya kini berganti dengan ritme napas yang berderu pelan. Kemudian menghapus air matanya hingga tak bersisa. Ia lantas berdiri seolah tak ada yang terjadi.
Rafael tersentak.
Alesha, mengapa ia hidup seperti itu?
Lelaki itu kemudian pergi berbalik. Ia bergegas mencari dokter yang tadi baru saja ditemui Alesha. Berjalan dengan langkah lebar dari lorong ke lorong.
Dirasa kurang, ia lantas berlari dalam penyusuran sampai peluhnya bercucuran. Setelah menyusuri semua sudut rumah sakit itu berkali-kali. Kemudian mendapati sang dokter keluar dari sebuah ruangan.
Rafael lantas mendekati dokter itu. "Dokter!"
Dokter itu menghentikan langkahnya. "Ada yang bisa saya bantu?"
Rafael mengembuskan napasnya pelan mencoba menetralkan ritmenya yang berantakan. "Anda yang menangani pasien yang berstatus sebagai ibunya Alesha, kan?"
Dokter itu mengangguk penuh tanya. "Betul."
"Saya ingin meminta sesuatu. Tolong berikan perawatan terbaik padanya. Untuk masalah biaya, saya yang akan menanggung kekurangannya." Ia kemudian mengeluarkan kartu namanya. "Ini kartu nama saya. Anda bisa menghubungi saya melalui nomor ini."
Meski bertanya-tanya, dokter itu tetap mengangguk mengerti.
"Namun, tolong rahasiakan ini dari Alesha. Saya tidak ingin dia tahu bahwa sekarang menemui Anda." Rafael menatap dokter itu dengan tatapan serius.
Sementara dokter itu kembali mengangguk. "Baik, Tuan."
Rafael tak tahu apa yang dilakukannya sekarang. Iba, kasihan, atau merasa bersalah.
Ia merasa dirinya terlalu meremehkan masalah Alesha selama ini. Ia selalu saja menganggap bahwa wanita itu selalu bersikap seenaknya, bertempramen buruk, dan egois. Ia tak pernah sekalipun berpikir melalui sudut pandangnya.
Rafael tidak akan pernah bisa tenang jika ia tidak bisa menebus kesalahannya.
To be continued...