Salma seorang wanita karir di bidang entertainment, harus rela meninggalkan dunia karirnya untuk mejadi ibu rumah tangga yang sepenuhnya.
Menjadi ibu rumah tangga dengan dua anak kembar sangat tidak mudah baginya yang belum terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga. Salma harus menghadapi tuntutan suami yang menginginkan figur istri sempurna seperti sang Ibunda.
Saat Salma masih terus belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik,ia harus menghadapi sahabatnya yang juga menginginkan posisinya sebagai istri Armand.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aveeiiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Bimo
"Bang." Salma merapat pada Abangnya yang sedang duduk di sofa menonton televisi. Bimo hanya melirik sekilas, lalu kembali memusatkan lagi pada layar televisi dihadapannya.
"Tadi Armand dan Ibunya datang ke rumah, mereka menengok Candra dan Cakra," lanjut Salma pelan. Ia takut jika abangnya itu murka karena membiarkan dua orang meresahkan itu masuk ke dalam rumah.
"Lalu, kali ini apa lagi yang dia perbuat sama kamu?" tanya Bimo datar.
"Dia sedikit berlaku kurang ajar lagi," cicit Salma lirih.
"Apa yang kamu tunggu Salma? Kalau kamu memang masih cinta sama bajingan itu, kembali saja kerumahnya. Jangan berbuat zinah di sini, ingat kalian bukan pasangan suami istri lagi jadi haram jika dia menyentuhmu lewat dari batas wajar!" sembur Bimo keras. Matanya menatap tajam ke arah adik satu-satunya.
"Mas, jangan berteriak nanti anak-anak ikut dengar," bisik Tia. Kakak ipar Salma itu sudah duduk di samping suaminya dan mengusap-usap punggung Bimo agar emosinya cepat mereda.
Bimo menoleh ke arah dua keponakannya yang sedang bermain. Dua bocah kembar itu tampak melongo ketakutan menatapnya. Ia lantas memberikan senyumannya, tak lama keduanya tampak bermain lagi melupakan kerasnya suara Pamannya.
"Salma ga salah, tapi aku. Tadi waktu Armand dan Ibunya datang, ada pasien yang mengalami kontraksi palsu jadi aku titip mereka sebentar sama neneknya karena saat itu Salma masih dalam perjalanan pulang," ucap Tia. Ia pun merasa gentar menghadapi suaminya yang gampang tersulut emosinya.
"Apa kalian tidak tahu betapa liciknya kedua orang itu. Kalau kalian lengah, Candra dan Cakra akan diambil alih oleh mereka. Itu yang kalian mau?" Bimo melihat adik dan istrinya bergantian.
"Maaf," cicit Tia. Sedangkan Salma terus menundukan kepalanya. Ia merasa semakin bersalah karena permasalahan keluarganya, Abang dan istrinya sekarang bertengkar.
"Kurangi waktu berkunjungmu ke pasien. Kalau Salma tidak ada di rumah, baiknya kamu jangan keluar juga. Dan kamu Salma, mulai sekarang kalau tidak ada aku jangan pernah membuka pintu untuk mantan ibu mertuamu apalagi anaknya itu," ujar Bimo ketus.
Bukan tanpa alasan abangnya itu tidak suka dengan kehadiran mantan suami dan ibunya, karena dengan mata kepalanya sendiri saat di dalam kamar, Bimo melihat Armand berlaku kurang ajar pada adiknya yang sudah bukan berstatus istri lagi. Padahal waktu itu semua anggota keluarga lengkap ada di dalam rumah.
"Bang, jangan korbankan pekerjaa Mba Tia," ucap Salma risau.
"Tia ada aku suaminya yang menafkahi. Sedangkan Cakra dan Candra hanya punya kamu, ibunya."
"Abangmu benar, Salma. Kami bahkan belum punya tanggungan anak, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan," imbuh Tia.
"Tidak, jangan seperti ini. Aku di sini hanya menumpang dan aku tidak mau merepotkan Abang dan Mba Tia." Salma menggelengkan kepalanya. Ia berada di persimpangan yang sulit untuk diputuskan.
"Ngomong apa kamu, aku ini saudaramu terdekat ga usah ngomong macam-macam," sergah Bimo tak suka.
"Aku mau kerja di Jakarta," ucap Salma cepat.
"Apa? Kerja apa kamu di sana?" Mata Bimo terbuka lebar, dari nada suaranya menyiratkan ia tidak setuju dengan keputusan adiknya.
"Pak Angkasa menawarkanku pekerjaan di sana," lanjut Salma pelan.
"Iya, pekerjaan apa? Jakarta itu keras, Salma!"
Salma tergagap bingung, karena ia sendiri juga tidak tahu pekerjaan apa nanti yang akan ia lakukan di kota besar. Pak Angkasa pun hanya mengatakan dia lebih baik berkarir di sana agar kemampuannya jauh lebih berkembang, tapi apa dan bagaimana caranya ia juga tidak tahu.
"Mas, jangan marah-marah coba dengarkan dulu." Tia kembali menenangkan suaminya. Salma sedikit mendapatkan waktu untuk memikirkan jawaban yang tepat saat abangnya meneguk minuman yang disodorkan kakak iparnya.
"Pembawa acara di televisi," sahut Salma cepat sebelum abangnya kembali melontarkan pertanyaan yang menyudutkannya.
"Kamu yakin bisa bertahan hidup di Jakarta?" tanya Bimo tak yakin. Ia sungguh mengkhawatirkan keselamatan adik satu-satunya itu.
Cukup sekali Salma lepas dari pengawasannya dan jatuh ke dalam pelukan pria brengsek, karena saat itu orangtua mereka masih lengkap. Bimo tidak kuasa jika kedua orangtua mereka mengijinkan adiknya menikah dengan pria pilihan sendiri. Namun kali ini, ia sebagai anak pertama berkewajiban menjaga keselamatan adik perempuannya.
"Yakin, Bang." Salma mengembangkan senyumnya. Ia berusaha membuat agar Abangnya yakin dengan keputusannya.
"Lalu Cakra dan Candra langsung kamu bawa?"
"Tentu saja," sahut Salma yakin, karena tujuan paling utama adalah menjauhkan kedua anaknya dari Armand sampai si kembar dapat menentukan pilihannya secara dewasa.
"Kalau kamu bekerja, lalu anak-anakmu bagaimana?" tanya Armand yang lebih terdengar menyelidik.
"Mm, emm ...." Salma tergagap tidak siap dengan pertanyaan Bimo. Jangankan memikirkan bagaimana si kembar jika ia bekerja, sampai di Jakarta nanti ia juga belum tahu bagaimana mulainya untuk berkarir di sana.
"Jangan gegabah, Salma. Abang sudah sangat kenal kataktermu. Kamu selalu mengambil keputusan saat sedang kalut dan emosi." Salma semakin menundukan kepalanya. Percuma ia berbohong pada abangnya ini. Pria bertubuh besar itu, sangatlah mengenal dirinya.
"Aku harus bawa anak-anak jauh dari ayahnya sampai mereka besar, Bang. Selain itu aku takut berdekatan dengan Armand."
"Apa harus ke Jakarta? Tidak ada tempat lain yang bisa kamu tuju?" tanya Bimo, Salma menanggapi dengan gelengan kepala yang lemah.
Setelah menjadi istri Armand, ia bagaikan burung dalam sangkar tapi yang terbuat dari kayu yang reyot. Hidupnya hanya ada di dalam rumah, dengan batasan dunia luar yang cukup ketat. Armand sangat tidak suka dengan dunia Salma yang erat kaitannya dengan media sosial dan penyiaran, membuat Salma harus menyembunyikan akun media sosialnya untuk bekerja mempromosikan barang milik orang lain.
"Lebih baik kamu tetap di sini saja," ujar Bimo tegas.
"Tapi, Bang ...." Salma menahan tangan abangnya yang sudah akan berdiri dari duduknya. Matanya menatap kakak iparnya memohon bantuan.
"Bagaimana kalau aku sementara menemani Salma di Jakarta," ucap Tia.
"Bagaimana maksudmu?" Bimo kembali duduk dan memandang istrinya bingung.
"Aku bisa menemani Salma sampai dia mendapat pengasuh untuk Cakra dan Candra." Tia memberi kode pada adik iparnya dengan kerlingan matanya, "Aku bisa pulang cepat kalau kamu butuh aku. Jakarta dan Jogja ga begitu jauh, Mas. Lagipula aku belum siap ditinggal Cakra dan Candra, rumah nanti pasti jadi sepi sekali kalau kamu keluar kota." Tia berusaha merayu dan menggelayut manja di lengan suaminya. Sebagai sesama wanita, ia sangat paham dengan apa yang dirasakan adik iparnya itu.
Bimo menarik nafas panjang berusaha berpikir dengan tenang.
"Baiklah, tapi dengan satu syarat. Aku ikut mengantarkanmu sampai di Jakarta dan menentukan di mana kamu tinggal nanti," ucap Bimo tegas.
"Terima kasih, Abang." Salma memeluk erat kakaknya.
"Yeeiiii, Cakraaa ... Candraaa kita lihat monaaass." Tia langsung menghambur dan memeluk kedua keponakan kembarnya.
...❤️🤍...
Mampir ke karya temanku yaa