Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
"Lain kali jika akan pergi katakan dulu padaku."
"Baiklah, maaf."
Rian langsung menarik tanganku yang saat ini digenggam oleh Mada. Membuatku dan Mada menoleh pada Rian yang begitu lancang. Buru-buru aku menarik tanganku yang jelas digenggam oleh Rian dengan erat.
Setelah lepas aku berdiri di sisi Mada. Menatap pada Rian, pria yang kini membuat aku menyesal sudah mengenalnya. Aku kira dia akan berubah karena sebentar lagi akan menikah. Tidak aku sangka dia begitu serakah dan picik.
"Kau bertanya apa aku sudah menikah? Menikah dengan siapa? Lihat ini, aku sudah menikah dengan pria yang lebih baik darimu. Mada Wijaya, dia adalah suamiku saat ini."
Rian menatapku tidak percaya.
"Biar asistenku yang mengurus si penyewa. Kita pulang."
"Baik."
Beberapa kali aku mendengar Rian memanggilku tapi Mada terus menarik diriku dan tidak membiarkan aku menoleh meski hanya sebentar. Setidaknya dengan statusku saat ini Rian tidak akan mengejar ku lagi.
Mobil yang dikendarai Mada melaju dengan cepat. Kami saling diam karena tidak tahu harus membahas apa. Hujan di luar juga semakin deras. Seperti sengaja agar aku tidak bisa bernafas bebas dan tertekan karena sikap Mada yang begitu dingin kali ini.
Ponsel Mada beberapa kali berdering. Tanpa nama, namun terlihat Mada tersenyum sedikit. Dia menepikan mobilnya dan meraih ponsel itu.
"Halo. Ada apa? Aku sedang menyetir."
"Maaf, aku tidak tahu."
Suara wanita. Hubungan ini memang tidak didasari oleh cinta, tapi kenapa mendengar Mada begitu tenang menghadapi wanita lain membuat aku terluka. Sampai aku kembali berpikir jika aku hanya pion dalam permainan Mada.
"Baiklah. Besok kita bertemu, aku masih ada hal lain."
"Terima kasih Mada. Sampai bertemu besok."
Mada mematikan telfonnya. Menoleh pada diriku yang memilih pura-pura menatap keluar jendela. Padahal aku tidak bisa melihat apapun karena hujan dan hari mulai gelap.
Mada memang tampan, jelas jika dikitari oleh wanita-wanita cantik. Mungkin ada satu atau dua yang hanya menyukai uangnya, namun pasti ada yang menginginkan cinta yang tulus darinya. Sementara aku? Aku tidak tahu apa harus mencintai uangnya atau mengharapkan cinta yang tulus darinya.
Pernikahan kami yang hampir satu minggu ini juga monoton. Kami seperti orang yang berpacaran dalam satu rumah. Hanya ada sentuhan fisik saat Mada melakukannya. Untuk hal yang lebih intim, tentu saja belum ada.
Mobil kembali berjalan. Aura Mada kembali diam dan dingin seperti saat keluar dari rumah kecilku tadi. Padahal sesaat lalu dia begitu hangat menerima telfon dari wanita lain.
Sampai di apartemen juga kami masih saling diam. Kami mengurus diri masing-masing karena memang basah oleh hujan. Bedanya Mada langsung pergi ke ruang kerjanya dan aku memutuskan untuk masak makan malam. Bahkan aku membuatkan kopi yang biasa di minum oleh Mada.
Tanpa alasan aku melakukan semuanya. Seperti wanita yang tengah memburu cinta suaminya yang mulai bosan. Seharusnya aku tidak begini, tapi kenapa sikap dingin Mada tidak aku inginkan.
Tok. Tok. Tok.
Suara Mada memintaku masuk terdengar. Dengan nampan berisi secangkir kopi aku masuk. Tanpa mengatakan apapun aku meletakkan kopi itu di sisi meja kerja Mada. Aku terdiam sesaat sampai akhirnya aku berbalik untuk pergi.
Mada berhasil menarik tanganku. Membuatku limbung dan berakhir dalam pangkuannya. Mata kami bertemu, malu, membuat aku memilih menunduk. Mau berdiri juga tidak bisa karena Mada perlahan memeluk diriku.
Apa ini? Perasaan apa ini? Aku merasakan gelenyar aneh dalam diriku? Apa aku harus diam? Apa aku harus berontak? Sampai aku di posisi pasrah dan mengikuti semua permainan Mada.
*.*.*.*
Aku terbangun lebih dulu. Mada masih terlelap dengan nyenyak karena mungkin lelah karena semalam. Aku senang dia menyentuhku, tapi saat mengingat pernikahan ini bisa berakhir kapan saja membuat aku takut.
Aku menepis semua rasa itu. Puas menatap wajah suamiku, aku turun ke bawah untuk membuat sarapan sederhana. Namun sebelum itu aku memutuskan untuk menikmati pagi dengan secangkir coklat hangat. Aku membuka ponselku, ada banyak chat dan panggilan tidak terjawab. Hampir semuanya dari Rian.
[ Aku tidak tahu apa kamu menikah dengannya karena cinta atau tidak. Namun, aku ingin kau pergi jauh darinya ]
[ Dia bukan pria biasa Heera. Dia bisa membunuhmu sewaktu-waktu. ]
[ Dia pria paling kejam diantara yang terkejam Heera. ]
[ Kau mungkin mengira aku bohong, tapi aku mengatakan ini karena tidak ingin terjadi apa-apa denganmu. ]
[ Jika kamu benar-benar membenciku, aku menerimanya namun berpisah lah dengannya. ]
[ Cari tahu tentang dia secara diam-diam. Jika kau tidak percaya denganku. ]
Semua pesan itu aku baca satu persatu. Intinya sama, Rian memintaku menjauh dari Mada. Aku memang belum jauh mengenal Mada, tapi aku juga tidak bisa langsung percaya pada Rian. Mungkin aku bisa melakukan apa yang Rian mau, mencari tahu tentang Mada.
"Kamu di sini?"
Aku menoleh dan mendapati Mada yang tengah berdiri di ambang pintu.
"Iya. Menikmati hari yang cerah ini. Maaf, aku belum membuat sarapan."
"Tidak apa. Pagi ini kita makan di luar."
"Tumben. Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa.Bersiaplah."
"Baik."
Setelah menikah, mungkin ini pertama kalinya aku dan Mada keluar untuk makan bersama. Selama ini Mada dan aku hanya makan di rumah. Lalu kami melakukan aktivitas kami masing-masing. Sesekali Mada mengirim pesan, aku membalasnya. Hanya seperti itu kehidupan rumah tangga kami.
Sampai di sebuah tempat makan Mada menghentikan laju mobilnya. Dia memintaku turun saat itu. Baru saja kami turun, seorang wanita mendekat dan langsung memeluk Mada dengan erat. Elvi, sepagi ini aku sudah melihat hal yang memuakkan semacam ini.
Aku sengaja tidak melakukan apapun dan hanya menatapnya. Mada memilih mendorong jauh Elvi dan menarik tanganku ke sisinya.
"Mada. Kamu serius dengan semua ini?"
"Ya."
"Aku akan bilang pada Papa Aji."
"Terserah padamu. Aku tidak peduli."
Mada membawaku masuk. Di sebuah meja lantai dua dekat dengan kaca. Kami duduk di sana, Mada memesan beberapa menu. Lalu kami menikmatinya bersama.
"Aku akan datang ke rumah Hilmar. Sebagai anak angkat Pak Arga."
Mada hampir tersedak saat aku mengatakannya.
"Aku tahu kamu mencoba melindungi ku. Hanya saja, aku juga perlu waktu untuk menyusun rencanaku sendiri."
"Kamu yakin?"
"Ya."
"Sebenarnya apa yang ingin kamu cari?" Mada meminum sedikit dan duduk bersandar pada kursi.
"Selama ini aku tidak pernah tahu seperti apa orang tuaku dan keluargaku. Sampai kamu datang dan mengatakan semuanya. Mada, bukannya aku tidak percaya. Aku hanya ingin memastikan apa benar semua yang kau katakan padaku."
"Jika aku berbohong?"
Aku tidak tahu jawaban seperti apa yang harus aku berikan. Hatiku sudah tertawan oleh Mada tanpa pria itu tahu. Lalu bagaimana jika dia hanya memperalat diriku dan berbohong akan semua ini. Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa.
"Lakukan apapun yang kau mau. Jika lelah, kembalilah padaku."