Tentang Kania yang hamil di luar nikah. Tanpa dia tahu, yang menghamilinya adalah seorang CEO muda.
***
Dunia Kania menjadi gelap setelah malam itu. Tak ada lagi Kania yang ceria, tak ada lagi Kania yang murah senyum.
Yang ada hanya Kania yang penuh dengan beban pikiran yang gelisah menanti bulan selanjutnya. Berapa garis yang akan di hasilkan oleh sebuah testpack di bulan depan?
**
Bertahun-tahun Kania berjuang sendiri menghidupi buah hatinya yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Kepandaiannya menarik orang-orang untuk menjadikannya bintang. Hingga akhirnya, lewat jalan itulah Kania di pertemukan dengan ayah kandung anaknya yang ternyata bukanlah orang biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Mencoba untuk tetap tersenyum walau hati terluka. Tak peduli seberapa sakit di hati, yang terpenting adalah berusaha untuk tetap baik-baik saja.
Hanya itu yang bisa Kania lakukan saat ini. Berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja di hadapan Shaka dan juga Tristan yang baru datang sore tadi.
Percakapan antara Rama dan kedua orangtuanya yang tak sengaja dia dengar tadi pagi membuat pikiran Kania terasa penuh.
Kenapa di saat dirinya mulai membuka hati untuk Rama, baru hal ini terungkap?
Andaikan Kania tahu bahwa sejak awal orangtua Rama tidak menyukai dirinya, tentu Kania tidak akan membiarkan hatinya jatuh terlalu dalam pada Rama.
Cinta tak mungkin berhenti secepat saat jatuh hati, bukan?
Sekalipun sakit luar biasa, tapi cinta tidak bisa hilang begitu saja.
Lima tahun lebih terbiasa dekat dengan Rama. Bahkan Rama sudah menjadi bagian terpenting di hidup Kania. Tentu menjadi cintanya selama hampir tiga bulan ini.
Dan Dita. Kania tidak mengerti kenapa Dita menyembunyikan semua ini. Bahkan dia memancing Kania dan Rama untuk mengatakan hubungan mereka pada Dita.
Andai sejak pertama Kania dan Dita bertemu kembali Dita sudah menceritakan semuanya, pasti tidak akan begini yang terjadi.
Kania tidak akan menerima cinta Rama dan hatinya tidak terluka.
"Mbak airnya tumpah!" seru Tristan yang melihat Kania menumpahkan air minum, namun Kania tak menyadarinya.
Niat hati ingin membuatkan minum untuk Tristan malah berujung dengan lantai dapur yang tergenangi air. Kania sampai tidak sadar karena sedang melamun, memikirkan nasib dirinya.
"Astaghfirullah..." Kania langsung mematikan kran dispenser. "Maaf, Tan. Mbak lupa matiin," ucapnya panik.
"Mbak bukan lupa matiin, tapi lagi melamun. Ada masalah?" Tristan mengambil alih kain lap yang di tangan Kania lalu membersihkan air yang ada di lantai.
Dengan cepat Kania menggelengkan kepalanya. "Enggak, kok. Mbak lagi gugup aja mau ketemu bapak dan ibu," ucap Kania berbohong.
Justru dia sempat lupa kalau hari ini akan pulang ke rumah kedua orangtuanya. Rasanya benar-benar takut. Terlebih dia akan membawa Shaka.
Tristan mengulas sebuah senyuman. Mengusap pundak kakaknya dengan lembut. "Bismillah, ya, Mbak. Semoga Bapak udah nggak marah lagi." Meskipun Tristan merasa belum yakin dengan ucapannya sendiri.
Mungkinkah ayahnya sudah menerima Kania? Mengingat terakhir pembahasan tentang Kania masih membuat ayahnya begitu terlihat emosi.
Kania hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Mengaminkan ucapan Tristan dalam hati.
***
Jantung Kania terasa begitu rusuh mengingat sebentar lagi dia akan bertemu dengan kedua orangtuanya, setelah lima tahun lamanya.
Akhirnya Kania sampai pada titik ini. Sebelumnya dia tak pernah berani berharap bisa bertemu lagi dengan Bapak dan Ibunya.
"Om, kita mau kemana, sih?" tanya Shaka ingin tahu.
Tristan tersenyum. "Kita ke rumah kakek dan nenek ya, Shaka. Shaka belum pernah bertemu dengan kakek dan nenek, kan?"
"Kakek dan nenek yang mana, Om?"
"Bunda belum cerita, ya?" Tristan melirik Kania yang juga sedang menatapnya. Mata Tristan menyiratkan sebuah tanya, apakah Shaka belum di kenalkan dengan kakek dan neneknya meskipun hanya lewat foto?
Seolah paham dengan tatapan Tristan, Kania menggeleng pelan. Selama ini memang Kania belum memperlihatkan foto mereka kepada Shaka. Kania belum tahu jawaban apa yang akan dia berikan kalau Shaka banyak bertanya.
"Ada juga kakek Wiryo dan nenek Siti. Sama Oma Hanum dan Opa Bram."
"Siapa itu?"
"Tetangga kami di tempat tinggal yang lama, Tan. Kalau Bu Hanum dan Pak Bram, dia orangtua Devan. Tahulah artinya apa," sahut Kania dengan cepat.
Tristan yang sudah tahu perihal Devan dan orangtuanya pun mengangguk paham. "Oh, kalau begitu sekarang kita ketemunya kakek Karno dan nenek Wening, ya."
"Oke, Om."
Perjalanan kembali terasa hening. Mobil yang di kendarai oleh Tristan melaju dengan kecepatan sedang menuju kampung halaman mereka.
Jantung Kania semakin berdebar kencang saat mobil mulai memasuki daerahnya. Waktu sudah Maghrib dan Tristan menghentikan mobilnya di sebuah masjid di desanya.
Untung saja Kania sedang datang bulan dan Shaka sedang tertidur. Jadi Kania tak harus turun dari mobil. Dan sudah pasti para warga akan mengenali dirinya. Kania belum siap jika di tanya ini itu.
Setelah Tristan kembali masuk ke dalam mobil, Tristan langsung menggenggam tangan Kania. Meyakinkan Kania bahwa semua akan baik-baik saja.
"Mbak Kania siap?" Kania menganggukkan kepalanya. Dan Tristan pun kembali menjalankan mobilnya.
Setelah lima menit, mobil Tristan yang dia beli dengan hasil kerja kerasnya itu mulai memasuki halaman rumah. Kania segera membangunkan Shaka yang masih tertidur lelap.
Anak itu mengerjapkan matanya pelan. Dan manut saja saat Tristan membawanya ke dalam gendongan. Dia tak banyak bertanya. Bahkan tak sadar jika dulu dia pernah datang ke rumah itu bersama Rama dan Kania.
Sebelum masuk ke dalam rumah, Tristan kembali meyakinkan Kania. Tristan menggenggam tangan Kania yang terasa dingin dan berkeringat karena gugupnya.
Setelah memastikan Kania siap, Tristan segera membuka pintu dan mengucapkan salam.
Awalnya, Karno menjawab salam Tristan dengan sumringah. Senyuman lebar terukir di bibir Karno. Namun senyuman itu meredup setelah tahu siapa yang berdiri di belakang Tristan.
"Mau apa kamu datang ke sini?" ucap Karno yang sekuat hatinya menahan emosi.
Tak menjawab, Kania langsung berjalan ke arah Karno lalu berlutut di hadapan Karno. Bahkan Kania mencium kaki bapaknya itu dengan Isak tangis yang terdengar pilu. "Maafkan Kania, Pak. Maafkan Kania sudah mengecewakan Bapak dan ibu. Maaf Kania sudah membuat malu bapak dan ibu." Hanya kata maaf yang dapat Kania ucapkan.
Karno masih diam tak merespon apapun. Hatinya masih tertutupi amarah. Kania tahu bapaknya belum bisa memaafkan kesalahan Kania yang sudah mencoreng nama baik keluarga.
Wening yang baru saja menyelesaikan shalatnya pun segera keluar mendengar nama Kania dan tangisannya.
Alangkah bahagianya hatinya kini saat melihat anak perempuannya yang sudah lima tahun tidak ada kabarnya kini sedang ada di hadapannya.
"Kania."
Kania mendongak mendengar namanya di panggil oleh wanita yang telah melahirkannya. Kania segera berlari ke arah Wening. Hal yang sama pun dia lakukan, berlutut hadapan Wening lalu mencium kedua kaki Wening.
"Ibu, maafkan Kania. Kania sudah mengecewakan bapak dan ibu."
Berbeda dengan respon Karno, Wening langsung meraih pundak Kania dan memapahnya untuk berdiri. Wening meneteskan air matanya. Rasanya masih seperti mimpi melihat anak yang begitu dia rindukan kini ada di hadapannya.
Berulangkali Wening menciumi wajah Kania. Wening juga memeluk Kania dengan erat. "Apa kabar kamu, Nak? Ibu rindu," ucap Wening dengan berbisik. Mungkin hanya Kania yang mendengarnya.
"Jauh lebih baik saat bertemu bapak dan ibu," jawab Kania yang membuat Wening semakin menangis. "Kania juga kangen sama bapak dan ibu. Kania minta maaf ya, Bu, sudah mengecewakan bapak dan ibu."
"Sudah. Ibu sudah memaafkan kamu, Nak. Yang terpenting kamu bertaubat, meminta ampunan pada Allah."
Kania mengangguk pasti. "Iya, Bu. Pasti."
"Dia anak kamu?" tanya Wening setelah pelukan mereka terlepas. Kania mengangguk lalu mengambil Shaka dari gendongan Tristan.
"Namanya Shaka, Bu. Shaka, ini nenek, bundanya bunda. Dan itu kakek, ayahnya bunda." Kania memperkenalkan kedua orangtuanya pada Shaka. "Salim dulu sama mereka, Nak."
"Tampan dan pintar sekali cucu nenek." Wening menerima uluran tangan Shaka. Wening juga menciumi wajah cucu yang baru pertama kali dia lihat. Bahkan di usianya yang sudah lima tahun.
Shaka juga menyalami Karno. Karno tidak menolak, namun juga tidak melakukan hal yang sama dengan yang Wening lakukan pada Shaka.
"Nenek dan kakek ini kan, yang buat bunda nangis dulu itu."
Ucapan Shaka sontak membuat semua mata tertuju pada Shaka. Kania baru ingat, dulu saat baru datang dari Surabaya, dia, Rama, dan Shaka sempat datang ke sini namun hanya berhenti di depan sana.
Setelah menatap Shaka, semua langsung menatap Kania dengan penuh tanya. Membuat Kania salah tingkah.
"Ehm, dulu sempat datang. Tapi Kania belum berani turun dari mobil," jawab Kania yang menundukkan kepalanya. "Shaka, Sayang. Nenek dan kakek nggak pernah buat bunda nangis, kok. Mereka baik. Bunda aja yang cengeng. Kalah ya, sama Shaka. Shaka kan, udah nggak cengeng, ya." Kania mencoba untuk mencairkan suasana meskipun masih merasa takut dengan ayahnya yang sama sekali tidak memperdulikan dirinya dan Shaka.
Kania tidak masalah jika ayahnya belum bisa memaafkan Kania. Tapi, setidaknya dia bisa bersikap yang baik pada Shaka. Semua juga demi nama baiknya di depan cucunya sendiri.
"Ya sudah, masuk yuk. Tadi ibu sudah masak banyak. Tristan bilang mau pulang dan bawa orang spesial. Ibu kira pacarnya Tristan. Tapi ternyata anak ibu sendiri."
Kania mengangguk lalu menggandeng tangan Shaka untuk mengikuti ibunya ke ruang makan.
Namun langkah mereka terhenti saat Karno berucap dengan tegas. "Tidak ada yang mengijinkan mereka untuk masuk."
🌼🌼🌼
di dunia nyata aja banyak tuh samaan nama..
gak ush peduliin nyinyiran orang thor, anggap aja tuh orang bnr" ngehayati cerita kamu