Afnaya Danuarta mengalami suatu musibah kecelakaan hebat, hingga membuat salah satu pada kakinya harus mendapati sakit yang cukup serius. Disaat hari pernikahannya tinggal beberapa waktu lagi, dan calon suaminya membatalkan pernikahannya. Mau tidak mau, sang adik dari calon suami Afnaya harus menggantikan sang kakak.
Zayen Arganta, adalah lelaki yang akan menggantikan sang kakak yang bernama Seynan. Karena ketidak sempurnaan calon istrinya akibat kecelakaan, membuat Seyn untuk membatalkan pernikahannya.
Seynan dan juga sang ayahnya pun mengancam Zayen dan akan memenjarakannya jika tidak mau memenuhi permintaannya, yang tidak lain harus menikah dengan calon istrinya.
Akankah Zayen mau menerima permintaan sang Ayah dan kakaknya?
penasaran? ikutin kelanjutan ceritanya yuk...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan siang bersama
Setelah Zayen cuci tangan, kemudian menyiapkan nasi dan juga piring maupun sendok dan air minum.
Zayen segera membuka bungkusannya, tiba tiba dirinya teringat akan keberadaan ibu mertua di rumahnya. Berkali kali Zayen mencari cara untuk tidak menyinggung perasaan ibu mertuanya tentang dua bungkus pecel yang berbeda.
'Bagaimana ini, jika aku makan satu bungkus apa tidak tersinggung. Jika aku pura pura kenyang sepertinya tidak mungkin, sedangkan aku membeli dua bungkus. Aaah, rumit sekali cara membaginya. Bagaimana kalau aku jadikan satu, terus aku aduk dan aku pindahkan ke piring besar ini.' Gumamnya, lalu segera membukanya dan mencampurnya menjadi satu. Kemudian Zayen segera mengaduknya, agar rasa pedasnya merata.
Setelah merasa sudah siap saji, Zayen menuangkan air putih dalam gelas masing masing. Kemudian dirinya langsung duduk sambil menunggu Afna dan ibu mertuanya.
Tidak berselang lama, dengan pelan Afna melangkahkan kakinya dengan alat bantu tongkat penyangga.
Setelah sampai didekat kursi, Zayen segera menarik kursinya dan membantu sang istri untuk duduk. Nyonya Nessa yang melihat sikap menantunya pun teringat akan kesabaran sang suaminya yang begitu perhatian saat dirinya tengah hamil anak kembar.
"Maaf, Ma. Jika makan siangnya Zayen sangat jauh berbeda dengan makan siangnya mama dan Afna."
"Jangan terlu merendah, tidak baik. Mama dulu juga pernah susah seperti kamu, dulu perjalanan hidup mama tidak jauh beda dengan kamu. Tetapi mama tetap bersyukur, karena masih diberi kenikmatan yang tidak bisa dinilai."
"Iya, mamaku adalah pekerja keras. Mamaku dulu jualan kueh, menjajakan dagangannya kemana arah kakinya melangkah."
"Mama kamu bisa dijadikan contoh untuk kamu, bisa dijadikan guru berharga yang patut untuk dicontoh."
"Iya, tapi sayangnya aku tidak sepandai mama yang bisa melakukan pekerjaan apapun."
"Apa kamu bisa memasak?" tanya Zayen sambil mengambilkan nasi untuk sang istri.
"Biar aku yang mengambil sendiri, dan biarkan aku yang mengambilkannya untuk kamu."
"Tidak apa apa, biarkan aku melayani istriku. Kamu belum menjawab pertanyaanku, jawablah dengan jujur."
Sedangkan sang ibu hanya bisa menjadi pendengar setia, antara anak dan menantu.
"Aku tidak bisa memasak, bahkan yang aku tahu hanya garam dan gula. Soal bumbu dapur hanya bawang merah dan bawang putih. Itu saja sih menurutku, karena aku tidak pernah terjun di Restoran. Yang aku tahu hanya memesan dan menghabiskan."
"Maafkan mama, nak Zayen. Mama sangat susah untuk mengajari Afna tentang dunia perdapuran. Mungkin jika belajar dengan kamu akan cepat bisa, terkadang seorang anak itu sangat unik. Orang tuanya tidak dapat menjadi guru yang sukses untuk anak anaknya, tetapi bukan berarti untuk anak anak orang lain. Terkadang, anak anaknya akan berhasil dari ilmu orang lain yang di diberikan untuk anak anaknya." Ucap sang ibu mertua menjelaskan yang lumayan cukup panjang, sedangkan Zayen hanya mengangguk.
Baru saja mendapat satu suapan, tiba tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar rumah. Zayen pun segera membukanya, sedangkan Afna dan ibunya melanjutkan makannya.
Ceklek, Zayen membuka pintunya. Dan dilihatnya seorang laki laki paruh baya yang sudah berdiri tegak didepannya masih terlihat tampan. Ditambah lagi dengan penampilannya yang licin dan wangi. Berbeda dengan Zayen, yang terlihat seperti orang biasa biasa saja.
"Papa, sudah pulang?" sapa Zayen kemudian mencium punggung tangan milik ayah mertuanya.
"Iya, dimana mama dan istrimu?" tanyanya yang masih berdiri diambang pintu.
"Afna dan Mama sedang makan siang, pa. Mari masuk, dan makan siang bersama kami." Jawabnya, kemudian mengajak sang ayah mertua untuk makan siang.
Tuan Tirta segera masuk dan menuju ke ruang makan, dilihatnya sang istri dan putrinya yang sedang menikmati makanan yang sangat sederhana dimata tuan Tirta. Ditambah lagi istrinya yang juga ikut makan bersama walau hanya dengan pecel dan gorengan.
"Papa," ucap sang anak istri serempak.
"Diam, lanjutkan makan siangnya. Papa juga sudah sangat lapar, mana piring dan nasinya."
"Biar mama yang mengambil, nak Zayen. Kamu lanjutkan makannya, biar mama yang melayani papa. Dan kamu Afna, habiskan makanan kamu itu. Jangan sampai tidak habis, tidak baik membuang makanan."
"Iya, Ma." Jawab Zayen dan Afna serempak.
Dengan lahap, tuan Tirta menikmatinya. Bahkan menambah porsi makannya, entah kenapa tuan Tirta merasa ketagihan saat menikmati makan siangnya. Zayen yang melihatnya pun penuh rasa heran, tentunya.
"Papa kelaparan?" tanya sang istri sedikit meledek.
"Iya, papa kelaparan. Tadi pagi mama tidak menyiapkan sarapan untuk papa, kata mama sudah tidak sabar ingin bertemu Afna. Dan ketika sampai di kantor, hanya ada rapat. Itupun tidak ada makan siangnya, alhasil papa kelaparan."
"Astaga!!!" plak!! nyonya Nessa menepuk keningnya karena lupa, akibat kesalahannya membuat sang suami kelaparan.
"Maaf, sayang. Lain kali aku akan lebih teliti lagi." Ucapnya lagi dan merasa malu dihadapan menantunya.
"Sudah lupakan, sekarang kamu cuci piringnya. Aku ingin berbicara dengan Zayen menantuku."
"Terus Afna suruh ngapain, pa?" tanya Afna yang merasa bingung harus berbuat apa.
"Kamu cukup duduk santai sambil menonton televisi." Jawab Zayen ikut menimpali.
"Baiklah, karena tidak ada pekerjaan lainnya. Afna memilih untuk menonton televisi sambil menunggu kalian semua, dan tidak ada lagi yang akan dikerjakan oleh kalian." Jawabnya, kemudian Afna menyambar remotnya dan mulai mencari chanel yang menurutnya bermutu. Seperti acara memasak atau membuat kueh.
Sedangkan Zayen hanya nurut, dirinya mengajak ayah mertua untuk duduk di ruang tamu.
"Mari kita duduk diruang tamu, pa. Sepertinya lebih nyaman dan tidak ada yang mengganggu." Ajaknya kemudian segera bangkit dari tempat duduknya.
"Baik, ayo." Keduanya segera menuju ke ruang tamu.
"Silahkan duduk, pa." Tuan Tirta segera duduk dan diikuti sang menantu.
"Ada perlu apa, Pa? sampai sampai papa ingin berbicara empat mata dengan Zayen." Tanyanya penasaran, dirinya sedikit khawatir jika ayah mertuanya tidak terima jika putrinya diperlakukan kurang baik dari segi menafkahi putri kesayangannya.
"Papa ingin mengajakmu untuk ikut terjun ke perusahan papa, karena papa yakin dengan kemampuan kamu. Dan kamu tahu sendiri dengan kakaknya Afna, sekarang Kazza sudah tidak ada dirumah. Kazza sedang menyelesaikan pendidikannya di Amerika, dan sekalian mengelola perusahaannya yang berada di Amerika bersama saudaranya." Jawab ayah mertua sambil menjelaskan.
"Sepertinya Zayen tidak bisa, karena Zayen ada pekerjaan yang sepertinya tidak bisa ditinggalkan. Zayen ada tanggung jawab yang sangat besar dengan rekan kerja Zayen, Pa. Meski tidak seberapa gajinya, tetapi Zayen merasa nyaman dalam bekerja. Zayen akan menimbangnya kembali, pa. Maafkan, Zayen."
"Kalau boleh tahu, pekerjaan kamu sebenarnya apa? maaf, jika papa telah lancang mempertanyakan pekerjaan kamu."
"Tidak ada larangan untuk papa bertanya, pekerjaan Zayen hanya mengantar barang dagangan." Ucapnya beralasan, dirinya takut akan mendapat penyelidikan dari ayah mertuanya. Apalagi yang dihadapinya keluarga Danuarta, yang tentu saja lebih ketat penyelidikannya.
semoga tidak ada pembullyan lagi di berbagai sekolah yg berefek tidak baik