sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenangan Musim Dingin
Musim dingin di Inggris selalu datang dengan cara yang sunyi.
Tidak seperti hujan tropis yang berisik dan tergesa, musim dingin menyelimuti kota pelan-pelan. Salju turun tanpa suara, menempel di trotoar, di jendela asrama, di jaket orang-orang yang berjalan tergesa menuju halte bus.
Bintang masih mengingat hari itu dengan jelas.
Hari pertama salju turun cukup tebal sejak ia pindah ke London untuk kuliah.
Ia berdiri kaku di depan gedung fakultas, mengenakan mantel panjang yang terlalu tipis untuk suhu minus. Tangannya merah, hidungnya dingin, dan ia menyesal tidak mendengarkan saran untuk membeli jaket musim dingin yang lebih layak.
“Kamu beku,” suara itu muncul dari samping.
Bintang menoleh. Satya berdiri di sana, membawa dua cangkir kopi panas, uapnya mengepul tipis di udara dingin. Rambutnya sedikit basah oleh salju yang belum mencair.
“Ini,” Satya menyodorkan satu cangkir. “Minum dulu.”
Bintang menerimanya dengan kedua tangan, napasnya sedikit lega saat kehangatan menyentuh telapak tangannya.
“Makasih,” katanya lirih.
Mereka duduk di bangku kayu di depan kampus, mengamati salju yang terus turun. Kota terasa berbeda—lebih lambat, lebih hening.
“Aku nggak nyangka dinginnya begini,” gumam Bintang. “Di foto kelihatannya cantik.”
Satya tertawa kecil. “Foto selalu bohong. Tapi lama-lama kamu bakal suka.”
Bintang tersenyum tipis. Saat itu ia masih sering merasa sendiri. Jauh dari keluarga. Jauh dari rumah Oma. Jauh dari segala sesuatu yang terasa aman.
Satya bukan teman dekat sejak awal. Mereka bertemu di kelas yang sama, duduk bersebelahan karena kebetulan nama mereka berurutan. Awalnya hanya obrolan ringan tentang tugas, dosen, dan betapa sulitnya memahami aksen Inggris tertentu.
Tapi di negeri asing, kebetulan kecil sering berubah menjadi pegangan.
Hari-hari Bintang di Inggris dipenuhi ritme yang padat. Kuliah, perpustakaan, kerja paruh waktu di kafe kecil dekat kampus. Satya sering muncul di sela-sela itu. Kadang membantu Bintang memahami materi. Kadang sekadar duduk menemani saat Bintang kelelahan.
Tidak ada percakapan besar. Tidak ada perasaan yang dinamai.
Hanya kebersamaan yang praktis—dan itu cukup.
Suatu sore, saat salju turun lebih deras dari biasanya, Bintang terjebak di perpustakaan karena bus terakhir dibatalkan. Ia berdiri bingung di depan pintu kaca, mantel menipis, sepatu sudah basah.
Satya muncul dengan payung besar dan senyum santai.
“Kayaknya kita harus jalan kaki,” katanya.
Mereka berjalan menyusuri jalan yang tertutup salju. Lampu jalan memantul di permukaan putih, menciptakan cahaya kekuningan yang lembut.
“Kamu nggak kangen rumah?” tanya Satya tiba-tiba.
Bintang terdiam sejenak.
“Kangen,” jawabnya jujur. “Tapi aku juga takut pulang. Takut kalau aku nggak berubah apa-apa.”
Satya mengangguk. “Aku ngerti.”
Ia tidak bertanya lebih jauh. Tidak memaksa. Dan Bintang menghargai itu.
Malam-malam musim dingin sering dihabiskan di dapur kecil asrama. Bintang memasak mi instan dengan tambahan telur dan sayur seadanya. Satya membawa sambal dari Indonesia, menyelipkannya seperti barang berharga.
Mereka duduk di lantai, berbagi cerita ringan. Tentang dosen galak. Tentang tugas yang menumpuk. Tentang masa depan yang masih kabur.
Bintang sering bercerita tentang Oma. Tentang rumah besar yang terasa sepi. Tentang harapan yang sering dibungkus dalam tuntutan.
Satya mendengarkan. Selalu.
Namun ada satu nama yang jarang Bintang sebut saat itu.
Bio.
Bukan karena tidak penting—justru sebaliknya. Bio adalah sesuatu yang terlalu personal, terlalu dalam, untuk dibicarakan sembarangan. Ia menyimpannya rapat, seperti sesuatu yang ingin ia lindungi bahkan dari jarak ribuan kilometer.
Suatu malam, saat salju turun sangat tebal hingga dunia terasa berhenti, mereka berdiri di luar asrama, menatap langit putih.
“Kamu bakal pulang ke Indonesia setelah lulus?” tanya Satya.
“Iya,” jawab Bintang tanpa ragu. “Aku punya alasan kuat buat pulang.”
Satya menoleh, menatap wajah Bintang. Ia tidak bertanya apa alasannya. Hanya tersenyum kecil.
“Bagus,” katanya. “Berarti kamu tahu ke mana kamu pulang.”
Di situlah batas itu selalu ada.
Satya adalah teman di musim dingin. Teman di negeri asing. Seseorang yang membantu Bintang bertahan, bukan seseorang yang ingin memilikinya.
Kenangan-kenangan itu kini muncul kembali di benak Bintang, bertahun-tahun kemudian, saat ia duduk di kamarnya di rumah Oma. Hujan turun di luar, bukan salju, tapi rasa dingin yang sama merayap pelan.
Ia tidak menyadari bahwa kenangan ini—yang baginya netral dan hangat—telah menjadi sesuatu yang berbeda di mata orang lain.
Di mata Bio, kenangan itu adalah bagian hidup Bintang yang tidak pernah ia sentuh.
Di mata Oma, kenangan itu adalah celah.
Bintang menghela napas, menutup mata.
Musim dingin telah lama berlalu. Tapi jejaknya, seperti salju yang mengeras, masih tertinggal—diam, dingin, dan menunggu untuk dicairkan oleh kejujuran yang belum terucap.
...****************...