NovelToon NovelToon
Wajah Polos Penuh Jiwa Gelap

Wajah Polos Penuh Jiwa Gelap

Status: sedang berlangsung
Genre:Dikelilingi wanita cantik / Perperangan / Identitas Tersembunyi / Action / Mafia / Romansa
Popularitas:908
Nilai: 5
Nama Author: Komang basir

Arga adalah remaja SMA yang selalu terlihat ramah dan polos, bahkan dikenal sebagai kuli pikul yang tekun di pasar tiap harinya. Namun di balik senyumnya yang tulus, Arga menyimpan rahasia kelam yang hanya diketahui sedikit orang. Ia diam-diam menyelidiki siapa dalang pembantaian keluarganya yang tragis, terbakar oleh tekad balas dendam yang membara. Perjalanan mencari kebenaran itu membawanya bertemu dua gadis tangguh bernama Kinan dan Keysha, yang ternyata juga anak-anak mafia dari keluarga besar yang menyamar sebagai murid SMA biasa namun tetap memiliki jiwa petarung yang kuat di sekolah. Bersama ketiganya, kisah penuh intrik, persahabatan, dan konflik berseteru di dunia gelap mafia pun dimulai, menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi jauh di balik wajah polos mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang basir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bahan pelampiasan

“Ingat, Ar—jangan terlalu termakan emosi. Ingat pesan ibumu sebelum beliau meninggal.” Suara Bara menukik lembut di ujung telepon, tegas namun penuh rasa. Ia tahu titik lemah itu; hanya kenangan ibu yang bisa meredam badai di dada Arga.

Tawa yang tadi seperti iblis mendadak teredam. Di kepala Arga, layar ingatan pecah: tetesan darah dari perut, tangan yang melemah, dan bibir ibu yang bergetar menempel di wajahnya. Dia melihat kembali momen itu—ibu memegang pipinya dengan jemari yang dingin, mata setengah tertutup, suara serak yang memaksa keluar kata-kata terakhir.

“Ingat, Ar… jangan sampai kau termakan amarah. Kalau itu terjadi, tak ada yang bisa menenangkanmu.”

Gambaran darah di sela sela jari, napas terakhir yang serak, senyum tipis yang seolah meminta Arga hidup untuk sesuatu selain dendam—semua itu menamparnya lebih keras daripada pukulan mana pun.

Arga terhenti. Dadanya mendesak, paru-parunya mencari napas yang seolah tertahan di kerongkongan. Dahinya berkeringat dingin.

Dalam keheningan yang memukul, rasa sakit berubah menjadi tangisan panjang yang tak bisa dibendung. Ia menjerit—suara panjang yang memecah sunyi, menumpahkan amarah sekaligus kesedihan—lalu menjatuhkan badan ke kasur, telapak tangan menutup wajahnya sampai air mata membasahi jemari.

Di seberang telepon, Bara tidak segera bicara.

Setelah jeda yang terasa seperti waktu berhenti, suaranya kembali, lebih pelan, penuh strategi. “Jangan sia-siakan semua ini untuk ledakan. Ubah itu jadi alat. Kau punya waktu, Ar. Kendalikan rasa itu—ubah jadi rencana. Mulai besok, kau kembali ke sekolah. Jadilah biasa. Dengar, amati, catat. Aku akan kerjakan bagian lain dari luar.”

Arga mengangkat kepala perlahan, mata merah namun mata itu kini lebih dingin bukan hangat. Ia menghapus air mata dengan punggung tangan, menelan ludah, lalu mengangguk di hadapan gelap yang tak menjawab. “Baik,” gumamnya, suaranya serak tapi tegas. “Aku tunggu perintahmu, Paman. Aku akan sabar—seperti yang ibu bilang. Tapi ketika waktunya… aku tidak akan ragu.”

Meski Arga mengucap kata-kata itu—menjanjikan kesabaran, menunggu perintah—ada bagian dalam dadanya yang tak pernah mau tenang. Kenangan itu bukan sekadar bayang: ia hidup, bernapas, dan menggigit seperti racun.

Di kepalanya berputar ulang gambar yang tak ingin ia lihat. Wajah ayahnya — yang dulu selalu tegar — kini terkulai di halaman, mata terpejam tanpa napas, mulut setengah terbuka penuh tanah dan darah. Bau besi dan tanah basah masih menempel di ingatan, bercampur cairan hangat yang tak bisa dibersihkan. Ia bisa merasakan sekali lagi tekstur kasar papan pagar di bawah telapak tangannya, saat ia meraih tubuh ayah yang roboh, tangan yang dingin, kaku, tidak lagi menanggapi panggilannya.

Ibunya, tubuhnya yang dulu hangat, menempel di pangkuannya dengan bibir yang gemetar. Ia ingat napas terakhir itu — satu tarikan yang seret, lalu melemah, bersamaan dengan tangan yang masih menempel di perut yang berlubang. Getaran suara ibu yang mencoba mengingatkannya bergema lagi: “Ar… jangan biarkan amarah menelanmu.” Suara itu kini terdengar seperti gema di gua yang lembap — samar, tapi tak pernah hilang.

Gambar-gambar itu tidak berdiri sendiri. Mereka berdiri berjajar: mayat anak buah ayahnya yang tercerai di halaman, celana yang koyak, kancing yang lepas, noda darah yang mengering seperti bunga-bunga hitam di lantai. Ada tubuh yang setengah tersudut di bawah meja, ada kursi yang terbalik, ada sekering lampu yang meledak menyisakan bau kabel hangus. Semua detail itu menempel, menuntut; setiap suara malam mengusiknya kembali — daun yang digesek angin, ranting yang patah, detak kaki yang menggema seperti langkah penjahat yang tak pernah pergi.

Arga menelan ludah. Tubuhnya gemetar—bukan hanya karena dingin malam, melainkan karena ingatan yang menggorok dari dalam. Ia merasakan kembali rasa logam di mulutnya, rasa asin yang tak pernah bisa dihapus. Air mata mengalir, tapi kali ini tidak semata karena kesedihan: ada sesuatu yang lebih pekat—rasa haus yang menuntut balas, hasrat yang mengubah setiap kenangan jadi bahan bakar.

Di sudut kamar, ponsel yang baru saja ditekan masih hangat di telapak tangannya. Di luar, bulan menggantung tak bersalah, menyoroti genteng-genteng retak, seperti saksi bisu yang tak pernah bertanya. Arga menarik napas panjang, matanya menghitam karena sesuatu yang pernah ia sumpahkan lagi berkobar: bukan hanya untuk membalas — tapi untuk memastikan tak seorang pun lagi bisa mengambil apa yang tersisa darinya.

Ia menutup mata, mencoba membayangkan apa yang Bara katakan: rencana, bukan ledakan; strategi, bukan pembantaian bodoh.

Tetapi di antara napas itu, di antara ingatan yang terus menekan, sebuah keputusan lain mengintip — lebih dingin, lebih kalkulatif. Jika ia harus turun ke lumpur itu lagi, maka kali ini ia tak akan hanya menjadi korban. Ia akan menjadi arsitek dari kehancuran.

Di meja kecil, sebuah bekas cangkir berisi kopi basi menghitam. Arga menatapnya seperti orang yang menatap peta jihadnya sendiri: samar, penuh noda, tetapi penuh petunjuk. Ia membuka mata, dan untuk pertama kalinya sejak malam itu, ada ketenangan yang menempel — bukan ketenangan karena luka reda, melainkan ketenangan seorang yang menimbang alatnya sebelum menyalakan mesin pembalasan.

Dia berbisik sendiri, nada datar seperti yang dipelajarinya dari Bara: “Sabar. Rencana dulu.”

Namun bibirnya bergerak melanjutkan satu janji yang tak bisa ia batalkan: “Ketika waktunya tiba… mereka akan merasakan semuanya.”

Meski dada Arga hancur berkeping-keping setiap kali ingat kembali pembantaian keluarganya, tubuhnya akhirnya luluh juga—bukan karena luka itu reda, melainkan karena kelelahan yang menuntutnya menyerah pada tidur. Ia jatuh ke kasur tipis seperti orang yang dibuai kantuk setelah perang; tubuhnya padam, tapi kepalanya tetap menyala seperti lampu remang yang tak mau padam.

Tidur datang tidak manis. Mimpinya penuh retakan: bau darah yang hangat, suara napas terakhir ibu, tangan ayah yang tak bergerak lagi. Setiap jam, kadang setiap menit, ia terbangun dengan jantung seperti dipalu—dengan mata menatap langit-langit kusam, keringat dingin menempel di pelipis. Lampu samar dari jendela memantulkan bayangan yang terus berubah, seolah rumah itu menyimpan ulang adegan-adegan berdarah untuknya sendiri.

Suara paling sepele bisa jadi pemicu. Sekali ranting patah di luar, ia terjaga, napas mendesak. Sekali seekor anjing menggonggong jauh, ia merasakan mulutnya seperti penuh logam. Dalam kegelapan, ingatannya mengulang adegan—mayat bertebaran di halaman, kain yang berlubang, suara kaca pecah. Semua itu kembali menjadi nyata, tak mau tunduk pada waktu.

Namun antara jeda napas itu, ada sesuatu yang berbeda: bukan lagi ledakan amarah buta, melainkan rencana yang dingin. Dalam kecemasan yang menahan tangis, pikirannya bekerja—mengurut langkah, menimbang kemungkinan, menyusun kembali nyala yang dulu menjarah hatinya menjadi alat. Ia membiarkan kemarahan itu menjadi bahan bakar yang terukur, bukan bara yang membakar semuanya sekaligus.

Waktu berlalu perlahan. Jam di dinding berdetak seperti hitungan mundur yang tak jelas tujuannya; bunyi detikannya kadang menenangkan, kadang mengejek. Di satu jeda pagi yang menipis, ia bangun—mata merah, napas rata—dengan janji baru terukir di tenggorokan: sabar, rencana, lalu tindakan.

Dan di balik tekad itu, bayangan darah tetap menempel, menunggu saatnya diubah jadi sesuatu yang tak lagi hanya mengikis, tapi menghancurkan dengan presisi.

Di ambang subuh, ketika kota masih setengah tertidur, Arga duduk di tepi kasur. Di luar, genteng sepi memantulkan sinar pucat bulan yang hampir padam. Ia menatap ke kegelapan, merasakan bagaimana masa lalu telah meresap jadi peta langkahnya. Musim balas dendam belum dimulai—tapi alatnya sudah dirakit, dan napasnya kini lebih dingin daripada sekadar luka.

“Iya, aku harus tetap jaga sifat ini biar tak mencurigakan,” gumam Arga, matanya dingin namun bibirnya memaksakan senyum tipis.

Ia meraih seragam sekolahnya, mengenakannya perlahan seakan sedang memasang topeng baru. Satu per satu kancing dirapikan, dasi ditarik rapi, lalu ia menatap cermin. Wajah polos dengan senyum manis—sosok yang harus dipercaya semua orang.

Namun di balik senyum itu, ada bara dendam yang ia tekan sekuat tenaga. Tangannya sempat menyentuh pisau kecil di saku dalam, sekadar mengingatkan siapa dirinya sebenarnya.

Sebelum melangkah pergi, ia menyentuh foto lama ayah dan ibunya di bawah kasur. Napasnya berat, matanya meredup, lalu kembali tegas. “Sabar,” bisiknya pelan.

Pagi pun datang. Dengan langkah mantap, Arga keluar dari rumah tua itu, menyandang kembali peran anak sekolah yang ramah—sementara di balik topeng polosnya, rencana gelap perlahan disusun.

Namun di tengah perjalanan menuju sekolah, langkah Arga mendadak terhenti. Genangan air dari jalan yang dilibas motor mengenai tubuhnya, membasahi celana dan sepatunya.

“Hahahaha! Rasain, dasar cupu!” teriak si pengendara, anak bangor yang kerap mencari gara-gara dengannya. Enam temannya ikut tertawa puas, seolah kejadian itu hiburan pagi mereka.

Arga menunduk pelan. Air menetes dari ujung seragamnya, bahunya tampak rileks, tapi jemari tangannya mengepal kencang hingga uratnya menonjol. Senyum tipis merayap di sudut bibirnya, bukan senyum ramah, melainkan senyum dingin yang mengintai bahaya.

“Kebetulan… sekarang saatnya aku melampiaskan semuanya,” batin Arga, sorot matanya berkilat tajam di balik wajah polos yang selalu ia kenakan.

Dengan tatapan penuh tajam, Arga mengangkat wajahnya tegak menatap anak bangor yang masih duduk di atas motornya. Sorot matanya dingin, menusuk, membuat suasana di sekitar mendadak berat.

“Apa lihat-lihat? Mau melawan, hah?” ucap anak bangor itu dengan nada menantang, mencoba menutupi kegugupannya.

Arga melangkah perlahan mendekat, tiap hentakan sepatunya menimbulkan ketegangan. Napasnya teratur, tapi aura amarah yang ia pendam mulai terasa menekan.

“Kalau tadi cuma bercanda, kamu salah orang,” ucap Arga datar, suaranya rendah namun membuat keenam temannya yang tertawa tadi terdiam seketika.

Anak bangor itu menegakkan tubuhnya, mencoba menjaga gengsi di depan teman-temannya. “Jangan sok keras di sini, lo cuma satu, kita tujuh!”

Arga tersenyum miring, lalu menoleh sekilas ke arah kerumunan. “Tujuh lawan satu? Bagus… lebih cepat selesai urusannya.”

1
Corina M Susahlibuh
lanjut dong cerita nya Thor
nunggu banget nih lanjutannya
tukang karang: terimakasih atas penantian nya dan juga komen nya, bab apdet setiap hari kak di jam 12 siang🙏🙏
total 1 replies
Aixaming
Bener-bener rekomendasi banget buat penggemar genre ini.
tukang karang: makasi kak, maaf aku baru pemula🙏🙏
total 1 replies
Celia Luis Huamani
Wah, seru banget nih ceritanya, THOR! Lanjutkan semangatmu!
tukang karang: siap, bantu suport ya🙏🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!