NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Membeli Kepercayaan yang Rusak

Gema langkah kaki Yi Seon adalah ancaman yang memudar, meninggalkan keheningan yang terasa lebih berat daripada kehadirannya. Hwa-young bersandar di dinding koridor yang dingin, menekan telapak tangannya ke dada untuk menenangkan jantungnya yang berdebar liar. Amarah dan keputusasaan adalah api yang membakar di dalam dirinya. Ia memegang petunjuk, tetapi juga rantai. Yi Seon mengawasinya, Matriarch Kang memasang mata-mata baru, dan Jenderal Kim kini menjadi bayangannya yang tak terhindarkan.

Ia sendirian. Dan sendirian berarti mati.

Kembali di kamarnya, ia menatap kotak kayu usang di sudut ruangan. Aman untuk saat ini, tetapi keamanan itu serapuh kaca. Ia membutuhkan sekutu. Bukan seseorang yang bisa dibeli dengan koin, karena loyalitas seperti itu akan dijual kepada penawar yang lebih tinggi. Ia butuh seseorang yang tidak punya apa-apa lagi untuk kehilangan. Seseorang yang jiwanya telah dicabik-cabik oleh Keluarga Kang dan mendambakan balas dendam seperti ia mendambakan udara.

Sebuah wajah muncul dari kabut ingatan masa lalunya. Mae-ri. Seorang pelayan muda dari dapur yang pernah dicambuk karena menantang seorang pengawas korup. Semangatnya tidak padam, hanya terkubur di bawah lapisan keputusasaan. Kang tidak akan memecatnya,  itu terlalu berbelas kasihan. Sebagai gantinya, Mae-ri dibuang ke bagian laundry di paviliun terjauh, tempat para pemberontak dikirim untuk dipatahkan secara perlahan.

Hwa-young tahu di mana harus menemukan sesama hantu di istana ini.

*

Pagi berikutnya, udara terasa tajam dan bersih. Hwa-young meminta Jenderal Kim menemaninya berjalan-jalan di taman, dengan dalih "menikmati udara segar." Jenderal Kim mengikutinya dalam diam, berjarak tiga langkah di belakang, cukup dekat untuk mengawasi, cukup jauh untuk menjaga formalitas.

Di kejauhan, di dekat area jemuran, Hwa-young melihatnya. Seorang gadis kurus dengan punggung yang sedikit bungkuk karena kerja paksa. Mae-ri. Wajahnya lebih tirus dari yang diingat Hwa-young, tetapi sorot matanya yang menantang masih ada di sana, tersembunyi di balik kelelahan.

Rencananya harus cepat dan tanpa cela.

Saat mereka mendekat, Hwa-young sengaja membiarkan saputangan sutranya terlepas dari jemarinya. Benda itu melayang dan mendarat di tanah yang berdebu, beberapa inci dari kaki Mae-ri.

“Oh, cerobohnya aku,” katanya,  terdengar jernih di udara pagi.

Mae-ri mengangkat kepalanya, matanya yang tajam langsung tertuju pada Hwa-young, lalu ke saputangan itu. Sebuah kerutan tipis muncul di dahinya.

“Biar saya ambilkan, Yang Mulia,” Jenderal Kim melangkah maju.

“Tidak perlu, Jenderal,” Hwa-young menghentikannya dengan senyum tipis. “Aku bisa sendiri.”

Ia berjalan anggun, dan saat membungkuk, ia dengan sengaja menyenggol keranjang cucian di samping Mae-ri. Beberapa helai kain putih tumpah ke tanah.

“Astaga, maafkan aku!” seru Hwa-young, kali ini nadanya terdengar tulus. Ia berjongkok, tangannya bergerak cepat membantu Mae-ri.

Mae-ri terkesiap, buru-buru ikut memunguti kain. “Tidak apa-apa, Yang Mulia. Ini salah saya.”

“Bukan, ini salahku,” bisik Hwa-young. Saat menyerahkan sehelai kain, jemarinya menyentuh tangan Mae-ri yang kasar dan dingin. Dalam sepersekian detik itu, sebuah gulungan perkamen kecil berpindah dari lengan bajunya ke telapak tangan Mae-ri.

Mae-ri tersentak. Matanya melebar panik.

Hwa-young memberinya tatapan penuh arti. “Hati-hati, Mae-ri. Jangan sampai barang berhargamu jatuh lagi.”

Mae-ri menunduk dalam-dalam, menyembunyikan getaran di tangannya. “Terima kasih, Yang Mulia.”

Hwa-young bangkit dan kembali berjalan seolah tidak terjadi apa-apa, meninggalkan Mae-ri yang masih berlutut. Di dalam genggamannya, kertas itu terasa seperti bara api.

*

Tengah malam. Paviliun yang terbengkalai itu berbau debu dan kayu lapuk. Hwa-young menunggu dalam kegelapan, setiap suara membuatnya tegang. Ini adalah pertaruhan gila.

Langkah kaki yang ragu-ragu memecah keheningan. Mae-ri muncul dari bayang-bayang, wajahnya waspada seperti hewan yang terpojok.

“Yang Mulia,” bisiknya.

“Duduklah,” kata Hwa-young. “Kita tidak punya banyak waktu.”

Mae-ri duduk di ujung bangku batu, menjaga jarak. “Mengapa Anda memanggil saya? Saya tidak mengerti.”

“Aku tahu apa yang Keluarga Kang lakukan padamu,” kata Hwa-young langsung, tanpa basa-basi.

Wajah Mae-ri mengeras. “Itu bukan urusan Anda.”

“Itu menjadi urusanku saat mereka melakukan hal yang sama padaku,” balas Hwa-young,  rendah dan tajam. “Aku melihat mereka menghancurkan ibuku. Aku hidup setiap hari di bawah cengkeraman mereka.”

Mae-ri tertawa, suara sinis yang kering. “Anda Putri Mahkota. Anda tidak tahu apa artinya dihancurkan. Sangkar Anda terbuat dari emas.”

“Tapi tetap saja sebuah sangkar,” potong Hwa-young. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, membiarkan cahaya bulan yang tipis menyinari matanya. “Mereka membunuh ibuku, Mae-ri. Atas kebohongan yang mereka ciptakan. Mereka mengambil segalanya dariku. Apa menurutmu aku bebas?”

Keheningan menggantung. Mae-ri menatapnya, benar-benar menatapnya untuk pertama kali. Ia melihat kerapuhan di balik topeng porselen itu. Kerapuhan yang sama yang ia rasakan setiap pagi saat melihat bekas luka cambuk di punggungnya.

“Apa yang Anda inginkan dari saya?” tanya Mae-ri, nada sinisnya sedikit luntur.

“Aku ingin kau menjadi sekutuku,” jawab Hwa-young. “Bukan pelayan. Sekutu. Aku tidak menawarkan koin, aku menawarkan keadilan. Kesempatan untuk membuat Keluarga Kang membayar setiap tetes darah dan air mata yang telah mereka peras dari kita. Sebagai gantinya, aku hanya meminta loyalitas mutlakmu.”

Tawaran itu menggantung di udara dingin, gila sekaligus menggiurkan.

“Mengapa aku harus memercayai Anda?” bisik Mae-ri. “Anda bisa saja membuangku setelah selesai.”

“Karena aku tidak punya pilihan lain,” jawab Hwa-young,  bergetar karena emosi yang jujur. “Dan kau juga tidak. Kita berdua adalah hantu di istana ini, Mae-ri. Tapi bersama-sama, kita bisa menghantui mereka yang telah mengubur kita hidup-hidup.”

Mae-ri menatap Hwa-young lama, mencari kebohongan di matanya. Ia hanya menemukan pantulan dari penderitaannya sendiri.

“Aku ... tidak punya apa-apa lagi untuk hilang,” bisik Mae-ri akhirnya,  serak. Ia mengangkat dagunya, api yang lama padam kembali menyala di matanya. “Aku akan melayanimu, Yang Mulia. Sampai napas terakhirku.”

Sebuah senyum tulus pertama Hwa-young dalam waktu yang terasa seperti selamanya merekah di bibirnya. “Selamat datang di sisiku, Mae-ri.”

“Tugas pertamamu,” lanjut Hwa-young, nadanya kembali serius. “Aku menemukan petunjuk dari ibuku. Sebuah peta yang digambar di atas benang sutra. Garis pantai dan tiga pelabuhan.”

Dengan cepat, Hwa-young menggambar sketsa kasar di atas tanah berdebu dengan sebatang ranting.

Mae-ri membungkuk, matanya menyipit. “Lekukan ini ... seperti teluk barat. Dan pelabuhan ini ... Daesan, Jinju, dan ... Hwasan.” Ia berhenti, menunjuk titik ketiga. “Pelabuhan Hwasan kecil, tidak signifikan. Tapi…”

“Tapi apa?” desak Hwa-young.

“Di sana ada sebuah toko ramuan tua, ‘Bunga Teratai Malam’. Mereka menjual obat-obatan, tetapi semua orang tahu mereka juga menangani transaksi rahasia. Mereka punya dermaga pribadi di belakang.”

Jantung Hwa-young melonjak. Bunga Teratai Malam. Itu dia!

“Di petunjuk itu juga ada angka,” kata Hwa-young,  bersemangat. “17/03…”

“Tujuh belas Maret,” potong Mae-ri, matanya melebar. “Itu hari pasar tahunan di Hwasan. Pasar gelap terbesar di pesisir, di luar jangkauan pengawas istana. Hari di mana barang-barang paling langka dan ilegal diperdagangkan.”

Semuanya terhubung. Sebuah toko ramuan yang curang, sebuah pelabuhan kecil, dan sebuah pasar gelap. Ibunya telah meninggalkan jejak yang sempurna.

“Mae-ri,” kata Hwa-young, menggenggam lengannya. “Tugas pertamamu dimulai sekarang. Kau harus pergi ke sana. Cari tahu semua yang kau bisa tentang toko itu, tentang pemiliknya. Cari tahu apakah ada, ”

Sebuah suara memecah keheningan malam, sedingin es dan setajam pedang.

“Diskusi yang menarik, Yang Mulia.”

Hwa-young dan Mae-ri membeku. Dari bayang-bayang di pintu masuk paviliun yang runtuh, sesosok tubuh tinggi melangkah ke dalam cahaya bulan.

Itu adalah Jenderal Kim. Wajahnya tanpa ekspresi, tetapi matanya menatap lurus ke sketsa yang mereka gambar di tanah.

“Sepertinya,” katanya pelan, “Anda akan membutuhkan pengawalan untuk perjalanan Anda ke Hwasan.”

1
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!