Di kehidupan sebelumnya, Max dan ibunya dihukum pancung karena terjebak sekema jahat yang telah direncanakan oleh Putra Mahkota. Setelah kelahiran kembalinya di masa lalu, Max berencana untuk membalaskan dendam kepada Putra Mahkota sekaligus menjungkirbalikkan Kekaisaran Zenos yang telah membunuhnya.
Dihadapkan dengan probelema serta konflik baru dari kehidupan sebelumnya, mampukah Max mengubah masa depan kelam yang menunggunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wira Yudha Cs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 MENGUJI AIR
"Apa aku terlalu berlebihan?" gumam Max dengan napas terengah. Saat ini, pemuda itu sudah berada jauh dari Desa Willow. Tubuhnya mulai bereaksi karena terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Max pikir, hanya dengan satu pukulan ular itu akan dapat dengan mudah ia taklukkan. Nyatanya, ular itu masih bernyawa setelah menerima pukulan telak yang cukup keras. Max jadi mengeluarkan tenaga ekstra untuk menghabisinya.
Meski demikian, Max cukup puas dengan hasilnya. Setidaknya dia bisa membalas kematian penduduk desa yang tidak bersalah dengan membunuh ular itu. Seperti yang Max katakan sebelumnya, kematian tidak akan cukup untuk membuat ular itu menderita. Maka dari itu, Max mengambil kristal hitam agar sang ular tidak akan pernah bisa lagi untuk berinkarnasi.
Setelah pernapasannya kembali normal, Max mengeluarkan kristal hitam dari cincin penyimpanan. Dia melihat ke sekitar, di mana terdapat banyak tumbuhan obat dan pepohonan. Suasananya sunyi dan sepi. Max tidak menemukan aktivitas manusia di sini. Baru saja Max ingin menghela napas lega, pemuda itu kembali meningkatkan kewaspadaannya. Aura membunuh yang begitu kuat terpancar begitu jelas dari belakang Max. Dia hendak menoleh ke belakang. Namun, suara bariton asing segera menghentikan gerakannya.
"Jangan bergerak atau panah ini akan menembus kepalamu."
Ancaman itu sangat mendominasi dan mampu membuat Max merasa terintimidasi. Max tahu bahwa orang yang berada di belakangnya ini sangatlah berbahaya. Energi sihir yang terpancar dari orang itu bahkan membuat tubuh Max meremang seketika.
"Siapa kau sebenarnya? Mengapa kau mengambil kristal hitam dari ular itu?"
Max masih berdiam diri. Dia berusaha mengatur debaran jantung dan berusaha untuk tetap tenang. Dia harus berhati-hati. Salah kata maupun gerak, Max tidak dapat menjamin kehidupannya dapat bertahan lebih lama. Orang di belakangnya ini dapat dengan mudah membunuhnya.
"Jawab atau aku akan menembak panah ini ke kepalamu." Suara itu kembali dengan nada mengancam. Itu adalah suara pria dewasa yang terdengar tegas dan berwibawa. Max mencoba menerka. Siapa orang itu sebenarnya? Apakah dia salah satu ksatria sihir? Max segera menepis pemikiran itu. Seorang ksatria sihir tidak akan memiliki aura mendominasi seperti itu.
"Aku sudah membantu membunuh ular itu. Apa kau ingin membunuhku dan mendapatkan kehormatan?" Max berkata dengan nada tenang, bahkan terdengar sedikit arogan. Sebelum orang itu berkata, dia kembali melanjutkan, "Kau bisa mengambil kehormatan sebagai pembunuh ular itu. Sebagai gantinya, biarkan aku pergi dan mendapatkan kristal ini."
"Aku tidak butuh kehormatan yang bukan berasal dari pencapaianku. Firasatku mengatakan bahwa kau adalah orang yang berbahaya. Jika kau tidak mengatakan siapa kau sebenarnya, maka aku akan membunuhmu di tempat ini."
Negosiasi gagal. Max pun memejamkan mata sejenak dan bersiap untuk membalikkan badan. Mungkin pertarungan adalah satu-satunya cara untuk membebaskan diri dari ancaman itu.
Saat Max berbalik, dia mendapati sosok pria dewasa dengan zirah emas yang tampak mewah. Tubuhnya bugar dan tampak besar. Tatapannya setajam elang. Busur yang pria itu pegang mengeluarkan cahaya keemasan yang sangat menyilaukan. Anak panah pun sudah siap untuk dilepaskan.
Max hanya menatap sosok itu dengan datar. Jika dia harus bertarung dengan orang ini, mungkin Max akan mengeluarkan semua kemampuan yang ia miliki.
"Apa semua orang Utara tidak menghargai bantuan? Aku hanya membunuh ular itu di saat semua ksatria sihir sudah tak mampu. Namun, kau malah mengejar dan hendak membunuhku," Max kembali berkata dengan nada sarkasme.
Pria yang mengarahkan panah padanya masih menatap tanpa ekspresi.
"Kau mencurigakan dan tampaknya kau bukan penduduk asli wilayah Utara. Apa kau mata-mata yang dikirim oleh Zenos?" tanya pria berzirah dengan tatapan tajam.
Mendengar pertanyaan itu, Max tanpa sadar mendengkus pelan. Meski dia berasal dari sana, tapi dia tidak pernah berpikir untuk bekerja di bawah naungan Kekaisaran Zenos.
"Apa aku terlihat seperti seorang mata-mata? Pernahkah kau melihat mata-mata yang tidak menyembunyikan wajahnya?" Max menjawabnya dengan pertanyaan, lalu segera menambahkan, "Kau benar, aku memang bukan penduduk asli wilayah ini. Aku tiba di Utara beberapa hari yang lalu. Hanya itu."
Pria berzirah yang tak lain dan tak bukan adalah Arthur Froger, penguasa wilayah Utara, segera dapat menyimpulkan beberapa hal di kepalanya. Ketika dia mendengar pemuda itu mengatakan 'baru tiba di Utara beberapa hari yang lalu', dia tidak bisa tidak memikirkan sosok penyelamat yang telah menyelamatkan putra bungsunya.
Meski demikian, Arthur masih tetap waspada. Jelas, pemuda di depannya ini bukanlah pemuda biasa yang sederhana. Keterampilan bela diri tanpa energi sihir yang Arthur saksikan ketika pemuda itu membantai ular tanah benar-benar sangat kuat dan sangat mengerikan. Dari mana pemuda itu mempelajari seni bela diri seperti itu? pikir Arthur gamang.
"Seni bela diri itu, dari mana kau mempelajarinya? Itu bukan seni bela diri biasa."
"Tidak ada kewajiban bagiku untuk menjawab pertanyaan itu," balas Max masih dengan sikap tenang.
Berbeda dengan Arthur, pria itu langsung melepaskan anak panahnya untuk menguji air. Dia ingin melihat lebih jauh, sejauh mana kemampuan pemuda itu. Benar saja, ketika panah sudah melesat di udara, pemuda itu bahkan tidak bergerak sedikit pun. Lalu, sebelum panah mencapai wajah, pemuda itu dengan santai menggerakkan kepalanya ke sebelah kiri.
Anak panah pun segera tertancap ke batang pohon besar yang berada di belakang pemuda itu. Tidak hanya menancap, anak panah kecil itu bahkan membuat pohon besar mengeluarkan ledakan yang teramat dahsyat. Api langsung berkobar membakar habis batang pohon. Asap mengepul di udara.
Baik Max maupun Arthur seperti memiliki pemahaman masing-masing. Maka dari itu, setelah asap perlahan menghilang, keduanya segera melesat secara bersamaan. Pertarungan tanpa senjata segera terjadi. Arthur dengan pasif menyerang dengan tangan dan kaki, sementara Max memfokuskan penglihatannya untuk melihat arah serangan. Dengan kejelian mata, pemuda itu bahkan dapat dengan mudah menghindari serangan.
Tanpa sadar, Arthur tersenyum kecil di sudut bibirnya. Baru kali ini dia menemukan lawan yang bisa menangkis dan menghindari pukulannya dalam waktu yang cukup lama. Maka dari itu, Arthur menambahkan banyak tenaga pada tiap serangan yang ia lancarkan.
Max yang mendapatkan serangan bertubi-tubi sedikit kewalahan. Max tahu lawannya menahan diri dan tidak serius dalam pertarungan ini. Max bahkan curiga pihak lain melawannya hanya untuk menguji. Meski demikian, Max menanggapinya dengan segenap hati. Dia tidak bisa lengah atau orang itu akan mengambil kesempatan untuk memukulinya sampai mati.
"Perasaan ini... sama seperti perasaan bersemangat ketika aku latih tanding melawan William," gumam Arthur di dalam hati.
Saking bersemangatnya, dia bahkan tanpa sadar menambahkan energi sihir pada tinjunya dan memukul pemuda itu dengan sekuat tenaga.
Segera tubuh Max terhempas kuat ke batang pohon besar dan jatuh ke permukaan tanah. Sembari menahan rasa sakit, dia memuntahkan seteguk darah. Max merasa beberapa tulang rusuknya kemungkinan banyak yang patah.
Sementara Arthur, pria itu terkejut dengan ulahnya sendiri. Dia bahkan nyaris mengejar pemuda itu untuk menolongnya. Namun, dia berhenti di separuh jalan. Arthur masih mempertahankan sikap dingin seorang pemimpin.
Dalam hati, sebenarnya Arthur sedikit merasa bersalah. Bagaimana jika pemuda itu benar-benar orang yang telah menyelamatkan putranya? Segera pertanyaan itu terjawab ketika Arthur tidak sengaja melihat sapu tangan putih familiar yang terkeluar dari saku celana pemuda itu. Tidak salah lagi, itu adalah sapu tangan milik Bannesa. Maka... maka pemuda itu pastilah orang yang telah menyelamatkan putranya.
Arthur mengabaikan tempramen dingin dan mendominasi yang dimiliki sebagai penguasa wilayah ini. Bagaimana mungkin dia hampir membunuh penyelamat putranya? Pria setengah baya itu segera melangkah cepat mendekati Max yang masih terengah-engah menahan rasa sakit.
Max tidak tahu tindakan Arthur, sebab kesadarannya perlahan mulai menghilang. Dia benar-benar tidak dapat menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Pemuda itu bahkan nyaris sudah berpasrah diri jika dia memang harus mati di sini.
"Ibu, Ansel, maafkan aku," lirih pemuda itu di dalam hati.
Segera, kedua mata cerah itu pun perlahan menutup dengan rapat.
---