Heavenhell Athanasia Caventry pernah percaya bahwa cinta akan menyelamatkan hidupnya. Namun, lima tahun pernikahan hanya memberinya luka: suami yang mengkhianati, ibu yang menusuk dari belakang, dan kehilangan terbesar, bayi yang tak sempat ia peluk. Saat ia memilih mengakhiri segalanya, dunia ikut runtuh bersamanya.
Namun takdir memberinya kejutan. Heavenhell terbangun kembali di masa remajanya, sebelum semua penderitaan dimulai. Dengan ingatan masa depan yang penuh darah dan air mata, ia bertekad tidak lagi menjadi pion dalam permainan orang lain. Ia akan menjauh dari Jazlan, menantang Loreynzza ibu yang seharusnya melindungi, dan membangun kehidupannya sendiri.
Tapi kesempatan kedua ini bukan sekadar tentang mengubah masa lalu. Rahasia demi rahasia yang terkuak justru menggiring Heavenhell pada jalan yang lebih gelap… sebuah kebenaran yang dapat membalikkan segalanya.
Kesempatan kedua, apakah ini jalan menuju kebebasan, atau justru jebakan takdir yang lebih kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eireyynezkim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Stereotip Anak Pertama
Heavenhell menguap dengan keras saat ia akhirnya bangun di jam-jam menuju siang. Matanya melirik kearah jam dinding, oh baru jam 9 pagi. Bisalah ia bangun sarapan dulu baru lanjut nonton TV trus tidur siang lagi. Dengan malas, gadis itu meregangkan kedua tangannya yang terasa agak kaku karena terlalu lama tertidur.
Dengan mata setengah tertutup, Heavenhell menyeret langkahnya menuju kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci muka. Hari ini ia meliburkan ARTnya agar ia bisa me time di apartemennya. Kasihan juga sih ia melihatnya bekerja hampir satu pekan full disini, jadi boleh lah sekali-kali libur.
Tap...
tap..
Langkah kaki Heavenhell menuruni tangga apartemennya. Sebenarnya tidak cocok dikatakan apartemen sih tapi seharusnya penthouse tapi yaudahlah yah. Gadis itu membuka kulkas dan merencanakan apa yang harus ia masak untuk hari ini. Baru saja tangannya ingin mengambil beberapa telur, bel pintu apartemennya berbunyi membuat Heavenhell mengerutkan alisnya. Siapa gerangan yang bertamu sepagi ini? Masa Valdrin lagi sih?
Heavenhell memutuskan menutup kembali kulkas tersebut dan berjalan kearah pintu apartemennya. Matanya melirik kearah interkom dan mendapati Valdrin berdiri didepan pintunya. Sudah ia duga, pasti mau ceramah lagi soal apa-apa saja yang tidak boleh ia lakukan dengan Davin.
Andai saja pria paruh baya itu tahu jika di kehidupan masa lalunya ia sudah melakukan yang lebih gila lagi dan seharusnya tidak dilakukan oleh sembarang orang tanpa ikatan resmi. Namun mungkin itu cara Valdrin menunjukkan kasih sayangnya.
Ceklek...
"Papa, ke-"
Bruk!!
Heavenhell hampir terjengkang ke belakang ketika seseorang tiba-tiba menubruk tubuhnya. Untuk sesaat Heavenhell tertegun namun aroma tubuh ini seperti tidak asing di indera penciumannya. Ia sangat hafal dengan orang ini.
"Nenek?" kata Heavenhell melirik kearah tubuh yang mendekapnya ini. Gadis itu mendongak kearah Valdrin tentang apa yang sedang terjadi namun pria paruh baya itu hanya menganggukkan kepalanya lalu mengusap pelan rambut Heavenhell.
"Nenek, kenapa bisa ada disini?" tanya Heavenhell sambil mengelus pelan punggung sang nenek tercinta yang telah mengasuhnya beberapa tahun belakangan ini.
Gingnita melepaskan pelukannya dan menatap tajam kearah Heavenhell. "Kenapa nggak bilang kalau kamu nggak betah tinggal sama Mama kamu, huh?"
Heavenhell mengigit bibirnya dengan gugup dan menundukkan wajahnya tidak berani menjawab pertanyaan neneknya. Entah apa yang harus ia katakan karena ini sangat tiba-tiba. Valdrin juga tidak memberitahunya lebih dahulu.
"Kita masuk dulu yah, bu. Nggak enak ngobrol di depan pintu kek gini," sela Valdrin yang berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia menyuruh Adhvan untuk masuk terlebih dahulu sambil membawa koper Gingnita lalu disusul oleh mereka.
......................
Heavenhell duduk diatas sofa sambil tetap menundukkan kepalanya saat Gingnita menginspeksi seisi apartemennya. Bahkan wanita tua itu sampai mengecek hingga ke kulkas lalu kekamar mandi seolah ingin mengetahui kelayakan tempat tinggal ini. Berlebihan memang tapi Loreynzza tidak akann bisa lakukan.
"Bagus, semuanya lengkap trus memadai juga," kata Gingnita duduk di sofa depan Heavenhell. Diam-diam Valdrin menghela nafas lega karena ia berhasil memuaskan ekspetasi Ibu mertuanya. Mungkin jika ada kesalahan sedikit ia bisa disikat oleh Gingnita.
"Kamu kerasan tinggal disini? Nggak ngerasa kesepian atau gimana?" cecar Gingnita yang membuat Heavenhell memainkan ujung piyamanya.
"Enggak kok Nek, aku nggak ngerasa kesepian disini karena Papah mastiin aku nyaman," balas Heavenhell pelan.
"Papah?" tanya Gingnita melirik tidak percaya kearah Valdrin dan Heavenhell.
Hatinya tiba-tiba menghangat karena akhirnya cucunya ini bisa memanggil Valdrin dengan sebutan "Papah". Dulunya Heavenhell selalu malu untuk mengatakan panggilan tersebut. Karena sedari kecil Loreynzza hanya mengajarkan cara menyebut" Mama", tidak pernah sekali pun Loreynzza mengajarkan cara menyebut "Papah".
Sehingga di dunia Heavenhell kecil hanya ada sang Mama tanpa ada Papah dan itu membuatnya miris. Ia pernah berinisiatif untuk mengajarkan cara menyebut "Papah" pada Heavenhell namun ia urungkan karena menghargai perasaan Loreynzza yang mungkin masih tersakiti dari gagalnya pernikahan pertamanya.
Namun sekarang nampaknya Heavenhell telah berdamai dengan itu semua. Dan itu membuat Gingnita bangga dengannya. Gadis kecil yang dulunya selalu duduk didepan rumahnya menunggu sang Mama datang untuk menjemputnya namun tidak pernah datang. Masa kecil yang harusnya penuh kegembiraan dan canda tawa bersama teman sebaya tidak pernah dirasakan oleh Heavenhell.
Disaat semua teman sebayanya bermain bersama, ia hanya bisa menatap mereka dibalik jendela dikarenakan stigma jika Heavenhell telah dibuang oleh sang ibu kandung menyebar di sekitaran tetangga membuat gadis kecil itu selalu diberondongi pertanyaan-pertanyaan dari tetangga sekitar mengenai alasan ia tidak tinggal dengan ibunya lagi. Dan lama-kelamaan Heavenhell dilabeli 'anak nakal' karena membuat keluarga baru ibunya tidak nyaman dan memilih meninggalkannya di rumah neneknya. Hal yang sangat tidak pantas untuk diterima oleh seorang gadis kecil berusia 7 tahun yang selama ini hanya memiliki Mama di hidupnya.
"Wahh, cucu nenek udah benar-benar gede yah sekarang. Udah pinter dan tambah cantik. Almarhum kakek pasti bangga sama kamu seperti yang nenek rasakan sekarang," ujar Gingnita dengan senyum lembutnya sembari mengelus tangan Heavenhell.
Ia berusaha mati-matian menahan air matanya yang ingin jatuh. Ah, rasanya jika hari ini ia harus menyusul sang suami maka Gingnita akan pergi dengan tenang. Cucunya ini sudah tidak sendirian lagi, ada Valdrin yang pastinya akan menjaganya dengan segenap hati ditambah ada Adhvan juga yang akan melakukan hal yang sama.
"Ave, Nenek minta maaf yah karena nggak bisa mendidik Mamah kamu menjadi orang yang tegas dalam memilih. Dari kecil ia selalu mengalah untuk adik-adiknya dan lebih mementingkan mereka dibanding dirinya sendiri. Sehingga ia tumbuh menjadi people pleaser, mengorbankan kebahagiannnya sendiri demi kebahagiaan orang lain. Ini salah Nenek dan kakek yang tidak becus dalam mendidik anak sehingga kamu yang jadi korbannya," jelas Gingnita terisak pelan.
Setiap kali dirinya menatap Heavenhell maka semua bentuk kelalaiannya sebagai orangtua terpampang dengan nyata. Loreynzza yang merupakan putri pertamanya harus menjadi kakak diusianya yang baru menginjak 2 tahun, semua kasih sayang yang semestinya masih miliknya seutuhnya harus dibagi dengan kehadiran sang adik.
Teringat jelas di benaknya bagaimana ia dan suaminya yang terus merongrong Loreynzza agar menyayangi adik-adiknya dan melindungi mereka. Beban yang seharusnya Gingnita dan sang suami emban malah mereka limpahkan kepada sang putri sulung. Dan sekarang inilah hasilnya.
"Nenek jangan ngomong gitu, semuanya udah terjadi jadi nggak ada yang perlu disesali lagi. Aku nggak suka Nenek sering nyalahin diri sendiri. Ave jadi sedih," balas Heavenhell memeluk Gingnita erat. Ia sama sekali tidak menyalahkan Kakek dan Neneknya atas apa yang terjadi, sama sekali tidak.
Valdrin yang melihat adegan itu menjadi terenyuh. Inilah mengapa ia tidak terlalu menekan Loreynzza atas apa yang dilakukannya selama ini karena bagaimanapun istrinya itu juga berlaku demikian karena doktrin yang diterimanya sejak kecil.
Yang dimana sebagai anak sulung ia dituntut untuk ikut mengambil peran sebagai orang tua kepada adik-adiknya. Itulah mengapa ia tidak pernah menuntut Heavenhell untuk memenuhi stereotip anak pertama yang harus bertanggungjawab untuk adiknya atau apalah. Biarlah itu menjadi bebannya sebagai orangtua. Ia tidak ingin Heavenhell tumbuh menjadi people pleaser seperti Loreynzza.
dmn papa kandungnya Heavenhell...
knp sikap ibu kanduny Heavenhell mlh lebih syng Aretha ad rahasia apkh...