Aruna hanya memanfaatkan Arjuna Dewangga. Lelaki yang belum pernah menjalin hubungan kekasih dengan siapapun. Lelaki yang terkenal baik di sekolahnya dan menjadi kesayangan guru karena prestasinya. Sementara Arjuna, lelaki yang anti-pacaran memutuskan menerima Aruna karena jantungnya yang meningkat lebih cepat dari biasanya setiap berdekatan dengan gadis tersebut. *** "Mau minta sesuatu boleh?" Lelaki itu kembali menyuapi dan mengangguk singkat. "Mau apa emangnya?" Tatapan mata Arjuna begitu lekat menatap Aruna. Aruna berdehem dan minum sejenak, sebelum menjawab pertanyaan Arjuna. "Mau ciuman, ayo!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 17
Brak!
Air mata Aruna meluncur bebas. Gadis itu menangis sesenggukan sambil melempar ponselnya hingga berbunyi dengan keras. Tubuhnya langsung terduduk di tepi kasur. Dadanya yang sesak, Aruna pukul. Baru kemarin dirinya senang-senang, mengapa kali ini rasanya sakit sekali.
"Arjuna brengsek!" Makinya dengan keras.
Biasanya Aruna akan abai terhadap ponselnya, namun semenjak memiliki Arjuna---gadis itu sering membuka ponsel. Merasa gabut, dirinya iseng membuka Instagram. Disana lah, dirinya melihat sebuah story milik Sisil. Tampak mereka semua bahagia, keluarga Sisil dan Arjuna. Aruna tidak bisa berpikir positif. Pasti ada sesuatu dibalik makan malam antara dua keluarga bahagia tersebut.
Aruna memang cemburu dan merasa iri melihat hal tersebut. Namun, apa yang bisa dirinya lakukan? Tidak mungkin Aruna menyusul kesana dan menjadi pengacau. Dia hanya akan mempermalukan dirinya sendiri saat berada disana.
Langkah kakinya berjalan keluar kamar. Dirinya segera mengambil es krim dari kulkas dan memakannya. Pandangan matanya kosong menatap layar televisi yang menampilkan acara komedi. Bahkan saat menikmati es krim strawberry kesukaannya, seperti tidak ada rasanya. Matanya masih basah sejak tadi, seolah air matanya enggan berhenti. Acara komedi lucu pun tidak mampu menghibur hatinya.
"Pantesan nggak ngabarin sama sekali, ternyata udah sibuk sama cewek lain ya?" Aruna bergumam dan tersenyum sinis.
Gadis itu sudah seperti orang gila yang berbicara sendirian. "Harusnya gue nggak jatuh cinta sama dia. Lagian, sejak awal gue yang buat kesepakatan sama dia." Pikirannya masih tertuju pada video yang menampilkan wajah-wajah bahagia.
Aruna langsung melempar es krim kotak yang dia nikmati. "Gue benci lo, Jun! Hiks," Air matanya masih terus menetes deras.
Sepanjang malam, Aruna masih sibuk menangis dan kepalanya penuh dengan potongan video yang begitu menggores hatinya. Gadis itu perlahan masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Dia pastikan, Arjuna tidak akan pernah menemukan dirinya dalam keadaan tidak waras seperti ini.
Semalaman tidak bisa tidur, pagi harinya Aruna langsung memasukkan baju- bajunya ke dalam tas. Dengan rasa nekat, dia ingin mendatangi sang paman---adik dari ibunya. Gadis itu pergi menaiki tukang ojek sampai stasiun. Ponselnya tidak sekalipun Aruna bawa, yang dirinya bawa hanya uang dan baju-bajunya.
Mungkin, bagi sebagian orang menganggap Aruna berlebihan. Tapi, Aruna sudah sering menelan kecewa dan sakit karena ditinggalkan.
Dari semua tempat yang ada, mungkin hanya itu tujuan satu-satunya. Berharap keluarga pamannya menerima dirinya yang tidak pernah muncul. Entah sampai jam berapa, Aruna sampai di daerah pedesaan yang begitu asri.
Tok! tok! tok!
"Sebentar!" Teriakan itu menggema, terdengar suara langkah kaki dan pintu dibuka setelahnya.
Wanita itu kaget mendapati sang tamu. "Loh, Runa? Kok nggak ngabarin Tante kalau mau kesini?" Wanita itu menatap mata sembab dan wajah lelah sang ponakan. Aruna menggeleng, lantas memeluk tubuh sang Tante.
"Ayo, masuk dulu."
Setelah masuk dan duduk, Tante Lila yang menjadi istri pamannya pamit ke dapur sejenak. Wanita itu keluar membawa segelas teh hangat dan bolu potong. Aruna dapat merasakan pancaran ketulusan dan sikap hangat wanita di sampingnya.
"Minum dulu, nduk." Gadis itu mengangguk, menyeruput segelas teh hangat. "Nanti malam nginep disini ya?"
Wanita pengertian itu menatap Aruna sambil tersenyum. Belum sempat Aruna meminta ijin menginap, wanita itu sudah memintanya.
"lya, Runa ijin nginep disini dua hari boleh, Tante?"
"Ya ampun sayang, mau kamu disini selamanya juga ndak apa-apa." Lila menjawab dengan logat jawanya, sudah terbiasa dengan logat tersebut.
"Tante serius? Bukannya tante nggak bolehin aku ikut paman, dulu?" Akhirnya, apa yang selama ini mengganggu pikirannya---Aruna keluarkan.
"Siapa yang bilang? Bukannya kamu yang Ndak mau ikut Tante? Katanya disini sekolahnya kurang bagus, nggak ada mall. Sinyal disini juga susah nduk,"
"Runa nggak pernah bilang gitu!" Bantahnya dengan kaget. "Malah suka tinggal di tempat kaya gini, nyaman."
"Papa kamu yang bilang sama Tante. Tapi, Tante juga tahu kalau papamu pasti nggak mau jauh-jauh dari kamu," Aruna terdiam di tempat. Dirinya di tampar kebohongan apalagi kali ini? namun, pancaran mata sang Tante tidak menunjukkan kebohongan.
"Nggak mungkin! Aku aja tinggal di apartemen sendirian," Bantahnya dengan begitu cepat.
"Loh, jadi kamu Ndak tinggal sama keluarga baru papamu?"
Aruna langsung menggeleng.
"Tante pikir kamu sudah hidup bahagia sama mereka, makanya Tante sama Om kamu ya sudah ndak mau ganggu. Ternyata selama ini, Tante dibohongi toh." Sahutnya kecewa.
Tubuhnya yang berkeringat dan lelah, semakin merasa tidak berdaya. Banyak fakta-fakta yang baru dirinya ketahui setelah lama memutuskan untuk menjauh dari keluarga mamanya. Aruna langsung menyandarkan tubuhnya pada sofa.
"Ayo, Tante antar ke kamar dulu. Nanti kamu bisa bersih-bersih Runa. Habis bersih-bersih keluar ya? Kamu pasti belum makan."
Aruna menurut pada Lila. Wanita itu membawanya masuk ke dalam sebuah kamar yang terlihat sederhana. Aruna lekas membersihkan diri dan mengganti baju. Setelah makan, dirinya ingin mendengar semua cerita dari Lila.
Aruna keluar kamar dan memanggil sang Tante, wanita itu berada di dapur. Langkah kakinya mendekat dan duduk di ruang makan yang terlihat sederhana. Namun, suasana ini yang Aruna inginkan dan rindukan.
Lila begitu telaten mengambilkan nasi untuknya. Wanita itu begitu lembut dan penuh kasih, mirip dengan mendiang mamanya. Mata Aruna berkaca-kaca, membayangkan seandainya saja sang mama masih ada.
"Loh, kok sedih nduk? Runa dulu suka makan soto kan?"
Bahkan Lila masih ingat dengan jelas kesukaan Aruna. Mengapa tidak sejak dulu saja, Aruna kabur kesini. Gadis itu makan dengan pelan. Lila duduk di depannya menikmati salad buah.
"Habis ini mau jalan-jalan, nduk?"
"Mau Tante! Disini tenang ya,"
Lila tertawa ringan. "Soalnya sepi,"
Perasaan Aruna lega sekali, mengetahui masih ada sosok yang begitu peduli dan perhatian terhadap dirinya. Mulai sekarang, Aruna ingin selalu mendapatkan kabar dari Tante Lila dan Om Anggara.
Atau Aruna ikut saja ya?
Dulu, saat mamanya meninggal---dia belum melihat Lila dan Anggara memiliki anak. Setelah bertahun-tahun berlalu, Aruna merasa canggung jika ingin bertanya dan merasa tidak enak. Namun, sejak tadi dirinya tidak melihat foto anak kecil. Hanya ada foto pernikahan Lila dan Anggara. Bahkan ada foto Aruna saat kecil, masih tersimpan rapi di dinding.
"Om Angga pulang kerja jam berapa Tante?"
"Jam empat biasanya, kenapa? Kangen ya?" Ledek Lila.
Aruna mengangguk dengan semangat. Menghabiskan makanan dengan sesekali bercanda bersama Lila. Rasanya, Aruna ingin menetap dan tinggal disini selamanya. Memang, setelah lulus SMA--- Aruna ingin melanjutkan kuliah di dekat sini. Keinginan Aruna hanya mengambil kuliah jurusan Tata Boga.
Ingatannya tiba-tiba terlempar pada sang kekasih, lelaki itu sedang apa? Aruna kesal karena saat dirinya jauh, Arjuna masih bisa menguasai pikirannya. Matanya berkaca-kaca, mengingat Arjuna yang membuatnya kecewa. Seharusnya, sejak awal Aruna tidak perlu menggunakan hati. Dia hanya perlu bersenang-senang saja, bukan jatuh cinta. Sayangnya Aruna susah untuk tidak jatuh cinta.
Terbiasa tidak diinginkan dan dibuang, ketika bersama Arjuna membuatnya merasa berharga. Lelaki itu bisa menjadi apapun yang Aruna mau dan suka.
"Runa, kamu ada masalah?" Lila duduk di sampingnya. "Kamu sampai jauh-jauh kesini, karena ada sesuatu kan? Mau cerita sama Tante?"
Aruna menoleh dan mengangguk. Gadis itu merentangkan tangan, ingin dipeluk.
"Kenapa papa lebih sayang sama Sisil di banding Runa, Tante?" Suara isakan mulai terdengar menyayat hati. "Runa jahat Tante, rebut cowok yang Sisil suka. Tapi, kemarin mereka makan malam keluarga."
Lila masih diam menyimak. Pelukan keduanya sudah terlepas. Wanita itu menggenggam jemari Aruna, untuk menguatkan.
"Mereka kaya mau dijodohin atau lamaran, disana wajah papa bahkan bahagia banget. Padahal, Arjuna kan pacar Runa." Air matanya terus mengalir deras. "Emang semuanya harus Sisil ambil ya? Bahkan, Arjuna yang biasanya apa-apa bilang sama aku, tiba-tiba nggak kasih kabar."
"Sayang, dengarkan Tante ya?" Aruna mengangguk. "Kamu nggak jahat, selama Arjuna bukan milik Sisil. Kamu juga berhak bahagia sayang. Kalau kamu kesini, gimana kamu bisa minta penjelasan sama Arjuna?"
Lila menatap wajah Aruna yang tampak bimbang. "Sebelum kamu kehilangan, lebih baik pertahankan apa yang sekarang kamu punya kan?" Senyuman sang Tante seolah mengingatkan Aruna pada mamanya.
"Dengarkan Tante, kalau pacar kamu baik, perhatian dan sayang sama kamu--- jagain dia Runa. Kalau benar sayang, dia juga bakal jaga diri buat kamu. Lagian, Arjuna cuma satu. Belum tentu, setelah kamu lepasin dia---ada yang lebih baik dari dia." Ucapan Lila membuat Aruna mengingat semua kebaikan lelaki tersebut. "Kalian cuma perlu komunikasi, jangan sampai salah paham buat hubungan kalian renggang. Jangan buat orang ketiga bisa ambil celah, sayang."
Arjuna cuma satu.
"Tante benar!" Aruna berhambur memeluk erat Lila. "Makasih Tante, Runa sayang banget sama Tante."
"Sama-sama, Tante juga sayang sama Runa. Kalau tahu kamu di perlakukan nggak baik, sudah sejak lama Tante ambil kamu dari papa kamu."
Aruna tersenyum haru. Namanya juga takdir, tidak ada yang tahu. Mungkin, jika sejak dulu dirinya hidup bersama Lila dan Angga---Aruna tidak akan bertemu Arjuna. Dia tidak pernah menyesali apa yang sudah terjadi, karena ada hikmah di baliknya.
"Runa mau pinjam ponsel tante boleh? Ponsel Runa ketinggalan di apartemen."
Lila mengangguk dan beranjak mengambil ponselnya. "Boleh dong, mau hubungin pacar kamu kan?"
Aruna tersipu. "lya, Runa mau suruh Arjuna kesini nggak apa-apa kan Tante? Lagian lagi libur sekolah."
"Boleh, paling di ospek sama om kamu. Berani macarin anak di bawah umur!" Lila mencubit pipi tembam Aruna dengan gemas.
Aruna memang tidak bisa jauh-jauh dari Arjuna. Gadis itu segera beranjak ke kamar untuk mencari catatan nomor telfon Arjuna. Sengaja, siapa tahu nanti dirinya berubah pikiran ingin menghubungi lelaki itu. Ternyata memang terjadi, untung saja Aruna menyimpannya.
Jemarinya mengetik sebaris nomor dan melakukan panggilan. Aruna berdecak, menyadari sinyal yang susah. Gadis itu berlari keluar kamar untuk mencari sinyal. Beginilah, resiko tinggal di tempat pedesaan yang minim sinyal. Sungguh, Aruna rindu pada Arjuna---meskipun dia juga kesal.