Meira, gadis muda dari keluarga berantakan, hanya punya satu pelarian dalam hidupnya yaitu Kevin, vokalis tampan berdarah Italia yang digilai jutaan penggemar. Hidup Meira berantakan, kamarnya penuh foto Kevin, pikirannya hanya dipenuhi fantasi.
Ketika Kevin memutuskan me:ninggalkan panggung demi masa depan di Inggris, obsesi Meira berubah menjadi kegilaan. Rasa cinta yang fana menjelma menjadi rencana kelam. Kevin harus tetap miliknya, dengan cara apa pun.
Tapi obsesi selalu menuntut harga yang mahal.
Dan harga itu bisa jadi adalah... nyawa.
Ig: deemar38
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OT 25
Kerumunan wartawan langsung gaduh ketika Kenji tiba dengan langkah cepat dari arah mobil. Suaranya lantang, menusuk ke tengah kerumunan kamera.
“Semua ini gara-gara Kevin! Dia yang bikin SilverDawn retak!”
Kevin yang tadinya berusaha menjawab pertanyaan wartawan dengan tenang, sontak tersulut. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap Kenji. Ia maju satu langkah, berdiri tegak di depan para wartawan.
“Stop it, Kenji!” suaranya meninggi, kalau grup ini pecah, it’s not only my fault. Jadi jangan semua salah ditaruh di aku!!”
Wartawan makin riuh, mikrofon-mikrofon diarahkan ke wajah Kevin yang kinoi memerah menahan emosi.
“Aku udah kasih semua yang aku punya buat SilverDawn. Aku nyanyi, aku kerja keras, aku tahan semua tekanan. And you bilang aku yang ngancurin?!” Kevin menunjuk ke arah Kenji, suaranya bergetar. “Kalau kamu ngerasa lebih baik, kenapa fans nggak pernah pilih lo?!”
Teriakan itu membuat suasana semakin panas. Blitz kamera menyilaukan mata, teriakan wartawan makin riuh. Anton buru-buru maju, merentangkan tangan di antara mereka.
“Cukup! Please, jangan di sini! Ada wartawan!”
Kenji masih melawan, wajahnya merah padam. “Lo pikir SilverDawn cuma bisa jalan karena lo?!”
Kevin langsung membalas, nadanya tajam bagai pisau. “At least aku nggak fake di depan orang!”
Kalimat itu bagai bom. Wartawan bersorak puas, kamera menyorot detik demi detik pertengkaran terbuka itu.
Anton hampir putus asa, satpam ikut turun tangan menahan Kenji agar tidak makin mendekat. Kevin masih berdiri di depan pintu rumahnya, napasnya terengah-engah, kedua tangannya mengepal. Matanya berkaca-kaca campuran antara marah, sakit hati, dan lelah.
Suasana kacau. Wartawan tahu mereka baru saja mendapat headline besar untuk hari ini.
Kerumunan wartawan makin menggila, sorotan kamera tak henti-hentinya menelanjangi wajah Kevin dan Kenji yang memanas di depan mereka. Anton berkali-kali berusaha menenangkan, tapi suara-suara teriakan, pertanyaan, dan kilatan blitz membuat suasana tidak terkendali.
Kevin menghela napas panjang, dadanya naik turun. Tatapannya menancap pada Kenji beberapa detik, lalu perlahan bergeser ke arah para wartawan. Wajahnya terlihat letih, matanya sedikit berkaca.
“Enough...!” katanya tegas.I’m... I’m not gonna fight in public. If you guys wanna write whatever, go ahead. But I’m not gonna be a spectacle any longer.” (Aku... aku nggak akan ribut di depan publik. Kalau kalian mau tulis apa pun, silakan. Tapi aku nggak akan jadi bahan tontonan lebih jauh)
Wartawan makin ricuh, mikrofon berebut mendekat.
“Kevin, apa artinya ini?!”
“Jadi benar Anda keluar dari SilverDawn?!”
“Bagaimana soal kontrak-kontrak tur?!”
Kevin mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat berhenti. Senyum tipis muncul, getir tapi berusaha kuat.
“I’m tired... Aku udah jawab apa yang bisa aku jawab. Sisanya... tunggu aja pernyataan resmi.”
Tanpa menunggu lebih lama, Kevin berbalik. Anton langsung mengikutinya, melindungi dari dorongan kamera yang hampir menempel di wajah. Satpam membuka jalan, menahan kerumunan agar Kevin bisa masuk kembali ke rumah.
Kenji masih berdiri di depan mobil, matanya menyalakan amarah, tapi kini kalah oleh sorakan wartawan yang lebih fokus mengejar Kevin.
Kevin melangkah masuk ke rumahnya. Begitu pintu tertutup rapat, ia bersandar pada dinding, menundukkan kepala. Tangannya gemetar, kepalan tadi akhirnya melemah. Napasnya panjang, terlepas berat.
Dari luar masih terdengar teriakan wartawan dan kilatan kamera yang sesekali menembus kaca jendela. Namun Kevin tak peduli lagi.
Dengan suara berbisik, ia berkata pada dirinya sendiri, “I can’t do this anymore...”
Anton menatapnya dengan wajah serius namun penuh cemas. “Kev... kita harus siapin pernyataan resmi sebelum ini makin gila.”
Kevin tidak menjawab. Matanya menutup, seolah mencoba menahan semua letupan emosi yang masih menggelora di dadanya.
Pintu pagar kembali tertutup rapat, meredam riuh rendah suara wartawan yang masih menunggu di luar pagar. Kevin berjalan masuk ke ruang tamu dengan wajah letih, sementara Anton mengekor dengan langkah cepat.
Kevin menjatuhkan diri ke sofa, kepalanya bersandar ke belakang. Ia menghela napas panjang, jari-jarinya menekan pelipisnya. “How do you expect me to do this, Anton? Gimana aku bisa nyanyi, pura-pura semangat di atas panggung... kalau di belakang panggung kami bahkan nggak bisa saling tatap muka? We’re broken. Totally broken.”
Anton berdiri di depannya, menyilangkan tangan. “Aku tahu, Kev. Tapi kamu harus paham, kontrak udah ditandatangani. Sponsor, EO, bahkan tiket fans udah ludes terjual. Kita nggak bisa tiba-tiba bilang, ‘Sorry, SilverDawn bubar karena ribut internal.’ Itu bunuh diri.”
Kevin menegakkan tubuhnya, tatapannya tajam. “Then what? Suruh aku akur sama Kenji? That’s impossible. He doesn’t want me in this band. He wants to be the frontman again. Kalau itu maunya dia, fine... I’ll step back. Biarlah SilverDawn jalan berempat, tanpa aku.”
Anton langsung membanting telapak tangannya ke meja, suaranya meninggi. “No, Kevin! Kamu nggak ngerti ya?! SilverDawn itu kamu! Dari awal yang dicari sponsor itu wajah kamu, suara kamu. Aku udah bilang berkali-kali. Orang beli tiket bukan buat lihat mereka berempat. Fans datang buat lihat kamu!”
Kevin terdiam, tapi matanya berkaca. Ada luka tersendiri mendengar kata-kata itu. “So I’m just... a product? A machine that makes money for everyone?” suaranya lirih tapi getir.
Anton menarik kursi dan duduk di hadapan Kevin. Kali ini nada suaranya melembut. “Denger, Kev... aku tahu kamu ngerasa diperas. Ngerasa dipaksa jadi sesuatu yang nggak kamu rencanain dari awal. Tapi jangan salah paham. Orang cinta sama band ini karena kamu. Bahkan kalau kamu keluar dan nyanyi solo pun, percaya sama aku, mereka akan tetap ngantri buat beli tiket kamu. SilverDawn bisa aja ganti formasi, tapi tanpa kamu, nama itu cuma tempelan kosong.”
Kevin menatap Anton lama. Napasnya terasa berat, . “Aku nggak tahu, Ton... I’m tired. Aku nggak mau hidup kayak gini terus. Semua orang lihat aku di atas panggung, perfect... tapi nggak ada yang tahu betapa kosongnya aku di balik semua itu.”
Anton mengusap wajahnya, jelas ia juga lelah. “Aku ngerti, Kev. Tapi sekarang fokus dulu sama yang di depan mata. Jalani kontrak yang udah ada. Soal keputusan keluar atau solo, nanti kita bahas lagi. Jangan biarkan emosi Kenji atau siapa pun bikin kamu hancurin semua yang udah kamu bangun.”
Kevin hanya mengangguk pelan. Ia menunduk, jari-jarinya meremas, berusaha menahan guncangan batin yang tak juga reda.