“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Mobil mewah berwarna hitam milik keluarga Dirgantara perlahan berhenti tepat di depan rumah bergaya Eropa klasik milik keluarga Aulia. Meski tidak semegah rumah keluarga Dirgantara, rumah itu berdiri dengan anggun, berhiaskan pilar-pilar putih dan taman kecil yang tertata rapi di depannya. Lampu-lampu taman yang menyala temaram memantulkan cahaya hangat di antara sisa-sisa hujan yang menetes pelan dari daun.
Elvino turun dari mobil lebih dulu, disusul oleh Mama Lidia yang tampak begitu bersemangat. Ia melirik jam tangannya lalu memperbaiki letak syalnya sebelum melangkah ke depan pintu bersama suaminya, Lukman Dirgantara, yang seperti biasa berwajah tenang dan berwibawa.
Pintu rumah terbuka, memperlihatkan sosok Pak Haris dan Bu Rika. orang tua Aulia. yang menyambut dengan senyum lebar dan penuh keramahan.
"Selamat malam, Kak Lidia, Bang Lukman. Silakan masuk," sapa Bu Rika ramah, lalu menoleh pada Elvino.
“Elvino, makin dewasa saja sekarang. Silakan masuk, Nak.”
“Terima kasih, Tante,” balas Elvino singkat dan sopan.
Mereka duduk di ruang tamu yang luas dan hangat, dipenuhi aroma kayu manis dan teh melati. Sofa empuk berwarna krem, tirai panjang dengan corak lembut, dan lukisan-lukisan klasik memberi kesan elegan namun tetap bersahaja.
Tak lama, Aulia datang membawa nampan berisi teh dan kue-kue kecil. Ia mengenakan gamis berwarna peach dengan kerudung senada. Sederhana, namun justru itulah yang membuatnya tampak anggun dan lembut. Senyumnya malu-malu, dan langkahnya terjaga sopan. Saat matanya bertemu dengan Elvino, ia buru-buru menunduk, wajahnya memerah.
“Silakan diminum, Kak Vin,” ucap Aulia pelan, nyaris seperti bisikan.
Elvino hanya mengangguk. Tatapannya jatuh pada wajah Aulia, tapi tidak ada gejolak dalam dadanya. Tidak ada degup jantung yang melaju lebih cepat, tidak ada desir yang menggugah rasa. Semua terasa datar.
Sementara itu, Mama Lidia mulai membuka pembicaraan dengan antusias yang meledak-ledak.
“Jadi begini, Rika, Haris. Kita sebenarnya sudah lama membicarakan ini ya. Dan aku pikir, kenapa harus menunggu lama-lama? Aulia juga sudah siap, kan?”
Bu Rika tersenyum sambil menatap putrinya yang duduk di sampingnya. Aulia mengangguk kecil, masih menunduk, namun senyum malu-malu di wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia tidak menolak sedikit pun.
“Kami sepakat, pernikahan bisa dilangsungkan tiga bulan lagi,” ucap Pak Haris mantap.
Tiga bulan?
Elvino nyaris tersedak teh di cangkirnya. Ia memalingkan wajah, menyembunyikan ekspresi yang mulai retak. Tiga bulan bukan waktu yang cukup untuk menerima sebuah kenyataan yang bahkan belum bisa ia pahami.
Namun ia tetap diam. Hanya tangan kirinya yang mengepal pelan di atas pahanya. Rahangnya mengeras. Ia menatap kosong ke arah lantai, seakan mencari jawaban dari kerikil-kerikil kecil yang tertinggal di karpet mahal itu.
Mama Lidia menyambut kabar itu dengan wajah sumringah.
“Alhamdulillah! Akhirnya semuanya berjalan sesuai rencana.”
Sementara senyum merekah di setiap wajah yang hadir, hanya Elvino yang tetap membisu. Ia merasa seperti sedang berada dalam sebuah panggung sandiwara. diminta tersenyum saat hatinya kosong.
Tatapannya kembali terarah ke Aulia. Gadis itu masih tersipu. Tangannya meremas ujung kerudung nya. Ia jelas bahagia, dan itu membuat Elvino semakin merasa bersalah.
Bukan karena ia membenci Aulia. Tapi karena hatinya berada di tempat lain.
...
Sesampainya di rumah,
Pintu rumah keluarga Dirgantara tertutup perlahan setelah mereka masuk. Mama Lidia langsung menanggalkan syalnya, dan tanpa banyak basa-basi, ia menghadap Elvino yang baru saja hendak menaiki tangga.
"Vin, bisa Mama bicara sebentar?" tanyanya, suaranya datar tapi tajam.
Elvino menghentikan langkahnya, menoleh singkat.
“Ada apa?”
“Kamu kenapa tadi diam saja? Bahkan waktu Aulia menyajikan teh, kamu hampir nggak lihat dia.”
Elvino menatap ibunya, matanya dingin.
“Apa aku harus bersorak bahagia, Ma?”
Mama Lidia menghela napas keras. “Vin, jangan mulai lagi. Kamu sudah dewasa. Ini bukan tentang kamu saja. Ini tentang keluarga kita, nama baik, dan masa depanmu juga.”
“Aku tahu,” jawab Elvino pelan namun terdengar tajam.
“Tapi bukan berarti aku harus menipu diriku sendiri.”
Mama Lidia menghampirinya. “Mama nggak minta kamu jatuh cinta sekarang. Tapi setidaknya hargai Aulia. Dia gadis baik. Dan dia suka sama kamu.”
“Tapi aku tidak,” potong Elvino.
Suasana mendadak hening.
Lukman Dirgantara, yang sedari tadi duduk di ruang keluarga, angkat bicara dengan tenang, “Vin, dalam hidup ini kadang yang terbaik bukan yang kamu inginkan. Tapi yang kamu butuhkan.”
Elvino tak menjawab. Ia memutar badan, melangkah naik tanpa kata. Suaranya tertinggal di anak tangga ketiga, lirih namun cukup untuk membuat Mama Lidia dan Ayahnya terdiam.
“Aku hanya ingin bahagia dengan pilihanku sendiri, bukan pilihan kalian.”
...
Malam pun larut.
Di dalam kamarnya yang gelap, Elvino duduk di dekat jendela, menatap hujan yang kembali turun pelan. Di tangannya, kartu nama yang sama seperti yang tadi ia berikan ke Nayla.
Ia mengingat lagi senyum gadis itu. Bukan senyum karena cinta. Tapi senyum karena harapan. Karena percaya bahwa ada seseorang yang, untuk pertama kalinya, memperlakukan dia sebagai manusia.
Bukan Aulia yang terlintas dalam pikirannya. Tapi Nayla.
Gadis yang tidak pernah memohon kasih sayang, tapi justru membuat hatinya bergetar.
“Kenapa harus dia?” bisiknya pada malam.
Dan untuk pertama kalinya, Elvino sadar… bahwa hatinya telah memilih, bahkan sebelum ia sempat menyadari.
...
Pagi itu, di rumah megah keluarga Dirgantara.
Cahaya matahari menembus lembut dari balik tirai putih tipis, menerangi ruang makan luas dengan meja panjang dari kayu jati mengilap. Di atasnya, aneka sarapan mewah tersaji rapi. roti panggang, telur orak-arik, buah segar, dan teh hangat dalam teko porselen.
Namun, suasana yang seharusnya hangat itu justru terasa dingin.
Lukman Dirgantara duduk di ujung meja dengan koran pagi di tangannya. Sesekali ia menyeruput teh tanpa banyak bicara. Di sisi kirinya, sang istri, Lidya, duduk anggun dengan pakaian rapi dan riasan ringan, matanya sesekali melirik ke dua anak lelakinya di seberang meja.
Elang, si bungsu, duduk santai dengan satu tangan menopang dagu, menyendok sarapan malas-malasan. Sementara di sampingnya, Elvino duduk tegap namun kaku, menyantap makanannya dalam diam, tatapannya kosong menatap piring.
Tak satu pun dari mereka membuka percakapan.
Yang terdengar hanyalah denting sendok dan garpu yang beradu pelan. Seolah masing-masing terjebak dalam pikirannya sendiri, menolak menyentuh satu sama lain dengan kata.
Hingga akhirnya, suara Lidya memecah keheningan.
"Ada apa dengan kalian berdua?"
Kedua anaknya menoleh sekilas, tidak langsung menjawab. Lidya melipat tangannya di atas meja, tatapannya tajam namun lembut, pandangan khas seorang ibu yang tahu ada sesuatu yang disembunyikan anak-anaknya.
"Kenapa kalian tidak saling bicara akhir-akhir ini? Ada masalah?" lanjutnya.
Elang yang pertama merespons, dengan gaya cuek seperti biasa.
"Kenapa memangnya, Ma?"
"Mama lihat kalian seperti musuhan. Elang, kamu biasanya bawel kalau di rumah. Sekarang diam saja. Elvino juga. kamu seperti bukan kamu. Ada apa sebenarnya?"
Elvino mendadak bangkit dari kursinya. Suaranya datar, bahkan nyaris dingin.
"Tidak ada apa-apa."
Ia mengambil jasnya dari sandaran kursi, lalu melangkah menjauh dari meja makan tanpa memandang siapa pun.
"Aku berangkat dulu."
Tanpa menunggu tanggapan, ia berjalan menuju garasi di samping rumah, meninggalkan sisa sarapannya yang belum disentuh sepenuhnya.
Lidya hanya bisa memandangi punggung anak sulungnya yang semakin menjauh, sorot matanya menyimpan kekhawatiran yang tidak ia ucapkan. Ia menghela napas pelan, lalu menoleh pada Elang yang masih sibuk memainkan potongan apel di piringnya.
"Elang," panggilnya dengan suara lebih pelan namun tegas,
"Mama serius tanya. Kalian berdua ada masalah?"
Elang menoleh sekilas, lalu mengangkat bahu.
"Tidak ada, Ma."
Singkat. Datar. Seolah tak ingin ditanya lebih jauh. Namun Lidya tahu, anaknya sedang menutup sesuatu.
"Sudah ya, aku juga berangkat. ntar keburu telat," ucap Elang sembari berdiri dan merapikan seragam nya, berusaha terdengar santai, meski Lidya bisa melihat gerak tubuhnya sedikit gelisah.
...
Di parkiran samping rumah.
Dua mobil mewah. sedan hitam dan coupe silver. terparkir sejajar. Mesin mobil Elvino sudah menyala. Saat Elang tiba, mata mereka bertemu sejenak.
Tatapan itu dingin. Tajam. Tak satu pun bicara. Tapi sorot mata mereka berkata lebih dari cukup.
Elang menyipitkan mata, sementara Elvino hanya menaikkan alis tipis, seperti menyampaikan bahwa ia tidak tertarik memulai pertengkaran. Meski begitu, ketegangan di antara mereka menggantung di udara, mengisi celah sempit antara mobil dengan atmosfer tak bersahabat.
Tanpa sepatah kata, Elvino masuk ke dalam mobilnya dan menginjak pedal gas, meninggalkan garasi lebih dulu. Tak lama setelahnya, Elang mengikuti, membawa mobilnya ke arah berlawanan.
Dua saudara. Dua arah. Dua hati yang menyimpan bara.
Dan di ruang makan yang mulai sepi, Lidya masih duduk sendiri, menatap piring yang belum habis ia sentuh.
"Kenapa rasanya seperti ada jurang di antara mereka?" gumamnya pelan.
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭