Ketika di bangku SMA, Gaffi Anggasta Wiguna dan Bulan Noora selalu berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang penuh dengan keserasian. Di balik kedekatan yang mengatasnamakan pertemanan, tersembunyi rasa yang tak pernah terungkapkan. Bukan tak memiliki keberanian, melainkan Bulan Tengah mengejar seseorang. Anggasta memilih jalan sunyi, memendam dan mencoba tetap setia mendampingi sampai kebahagiaan itu benar-benar datang menghampiri perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati. Barulah dirinya mundur pelan-pelan sambil mencoba untuk mengikhlaskan seseorang yang tak bisa dia genggam.
Lima tahun berlalu, takdir seakan sengaja mempertemukan mereka kembali. Masihkah cinta itu di hati Anggasta? Atau hanya bayang-bayang yang pernah tinggal dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Mencari Jalan Keluar
Anggasta memang manusia yang sulit ditebak. Jeno, sahabatnya saja tak tahu tentang kesakitan yang lelaki itu pendam sendirian. Di balik sikapnya yang seperti orang biasa, ada sesuatu yang Anggasta jaga sampai Jeno tak bisa menembusnya.
"Apa ini alasan lu minta gua untuk tidak mencari tahu tentang Bulan lagi?" Jeno menatap sendu ke arah sang sahabat yang masih menatap lurus jauh ke depan. Dan hanya anggukan yang menjadi jawaban.
"Dan ini juga alasan lu mau nyoba buka hati untuk Alma?"
Anggasta menoleh ke arah Jeno. Senyum teduhnya membuat hati Jeno perih. Suasana mendadak hening. Kembali mereka berdua menatap hamparan lautan luas.
"Niat gua ke sini itu bukan cuma ingin kumpul bareng Sekai. Tapi, gua tengah mencari jalan keluar dari pergelutan hati yang tidak berkesudahan."
Atensi Jeno kini tertuju pada sang sahabat yang terlihat menikmati semilir angin pantai. Menanti kalimat lanjutan yang akan Anggasta katakan.
"Melanjutkan atau meletakkan perasaan pada Bulan."
Hembusan napas Jeno keluarkan. Ditatapnya dengan lamat wajah Anggasta yang penuh dengan luka.
"Kalau gua boleh egois, letakkan perasaan lu, Gas. Mencintai tak selamanya harus memiliki." Begitu serius jawaban yang Jeno lontarkan.
"Biarkan si Bulan itu menerima karmanya."
Jeno jika sudah kesal kepada seseorang akan mengeluarkan kata jahat. Anggasta malah tertawa. Dan dengan setia Jeno menemani Anggasta sampai mentari terbenam.
"Si Selir masih meeting?" Di tengah perjalanan Jeno membuka keheningan.
"Dia bilang sih abis meeting mau langsung terbang ke Jakarta. Ada acara katanya." Jeno hanya mengangguk.
Tibanya di rumah Sekai, lelaki itu sedang asyik menonton acara olahraga di televisi. Dia menatap ke arah Anggasta yang sepertinya akan masuk ke kamar.
"Adik gua nanyain lu." Langkahnya pun terhenti. "Temuin dulu gih."
"Gua mandi dulu."
Tatapan tak suka Jeno perlihatkan kepada Anggasta. Bagai istri tua yang tak Sudi dimadu lagi.
Tangan sudah menggantung di daun pintu. Baru saja hendak mengetuk, terdengar suara Bulan yang tengah berbicara dengan seseorang via sambungan telepon. Tangannya mulai diturunkan, dan langkahnya mulai mundur ke belakang.
"Kok turun lagi?" Sekai sudah menatap Anggasta karena sudah ada di dapur.
"Udah tidur." Dustanya.
Sekai menghela napas kasar. Dia duduk di kursi ruang makan dengan tangan yang memegang kaleng kopi siap minum.
"Ngejarnya mati-matian, disakitinnya ampun-ampunan."
Anggasta tersenyum mendengarnya. Memilih membawa kopi kalengan itu ke kamar. Di mana Jeno sudah merebahkan tubuh di kasur.
"Cepet banget lu ngobrolnya?" ketus sekali ucapan Jeno.
"Dianya udah tidur." Decihan pun keluar dari mulut Jeno.
"Dari segi sifat, muka, dan materi lu menang telak dari si Haidar."
"Tapi, dia lebih beruntung dari gua," sahut Anggasta dan membuat Jeno tertawa.
Ketukan pintu membuat tawa Jeno terhenti. Mata Anggasta sudah tertuju pada pintu kamar. Jeno meyakini jika itu bukan Sekai. Dan benar, Bulan yang berdiri di sana. Tanpa aba Bulan memeluk tubuh Anggasta.. Tak dihiraukan ada Jeno di sana yang terus mendelik kesal
"Lan--"
"Bolehkan begini dulu, Fi," pintanya dengan nada yang begitu berat.
Jeno hendak membuka suara, tatapan Anggasta membuatnya membungkam kembali mulut yang sudah gatal ingin angkat suara.
Ketika Bulan sudah merasa tenang, Anggasta membawanya ke lantai atas di mana kamar Bulan berada. Tangannya mengusap lembut wajah Bulan yang masih sembab.
"Jangan terlalu berlarut. Life must go on."
Bulan meraih tangan Anggasta yang berada di pipinya. Menggenggamnya dengan begitu erat.
"Jangan tinggalin gua lagi, Fi." Hanya seulas senyum yang Anggasta berikan.
Dengan begitu lembut Anggasta menyuruh Bulan untuk berbaring. Mengusap puncak kepalanya agar perempuan itu masuk ke alam mimpi.
"Tetap di sini, Fi."
Pintu ditutup dengan sangat pelan. Membiarkan Bulan tertidur dengan nyenyak. Senyum kecil terukir di wajah tampannya. Menatap sebentar daun pintu. Lalu, meninggalkannya.
Segera merebahkan tubuh di samping Jeno yang sudah mendengkur. Menatap langit kamar dengan sebuah doa yang dipanjatkan.
"Tuhan, tolong berikan jawaban atas kebimbangan hati ini. Aku hanya ingin merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya."
✨✨✨
Bel yang begitu berisik membuat Anggasta yang sudah terjaga dan berada di dapur untuk mengambil minum berdecak kesal. Pasalnya, tak hanya sekali bel itu ditekan. Dia yang sudah membersihkan tubuh, tapi masih menggunakan celana pendek mulai menuju pintu. Begitu terkejutnya ketika melihat siapa yang ada di depan pintu.
"Lu?" tunjuk seorang lelaki kepada Anggasta.
"Ngapain lu di--" Matanya seketika memerah dan tangannya dengan cepat meraih kaos bagian depan Anggasta.
"Apa lu yang ngajak Bulan pergi?" Amarah sudah tak terkendali. Sedangkan Anggasta hanya tersenyum tipis. Dan bogeman mentah pun menjadi sapaan selamat pagi dari sang tamu.
Tubuh Anggasta mundur beberapa langkah. Menempelkan ibu jarinya ke sudut bibir bawah. Dan darah segar menempel di telapak ibu jarinya.
"Ada apa ini?" Seorang wanita yang baru masuk sudah merangkul lengan lelaki yang menghajar Anggasta agar tak melanjutkan aksinya. Mata wanita itupun melebar ketika melihat lelaki yang masih dia ingat.
"Kamu?" Kembali Anggasta melengkungkan senyum serta menunduk sopan.
"Pasti dia dalang dari--"
"Jaga bacot lu!!" Jeno sudah berteriak sangat keras karena tak terima Anggasta ditunjuk-tunjuk oleh seorang pecundang. Padahal, dia baru membuka mata karena mendengar keributan.
Anggasta sudah menarik tangan Jeno. Menyuruhnya untuk tidak terbawa emosi. Sekai yang baru keluar dari kamar sudah menatap tajam ke arah dua orang yang tiba-tiba datang tanpa memberi kabar.
"Kenapa ini?" Wajah Sekai sudah berubah.
"Mas, ngapain dia ada di sini? Dia itu yang--"
"Dia teman gua." Tiga kata yang membuat mulut lelaki itu terbungkam. Dan wanita yang bersamanya pun terdiam.
"Kalau mau ketemu Bulan enggak usah buat keributan."
Baru saja Sekai memutar tubuh, perempuan yang dua orang itu cari sudah menatap mereka.
"Bulan!"
Siapa yang menyapa, tapi manik mata indah perempuan itu tertuju pada Anggasta yang sudah tersenyum. Atensi Anggasta beralih tatkala ada panggilan masuk. Memilih keluar diikuti oleh Jeno dari belakang. Ada kesedihan ketika punggung Anggasta mulai tak terlihat lagi.
Langkah Anggasta terhenti ketika melihat Bulan tersenyum ke arah lelaki yang sudah menggenggam tangannya dan menatapnya dalam. Lelaki yang amat Bulan cintai. Siapa lagi jika bukan Haidar.
"Walaupun hubungan kita berakhir. Kamu akan tetap menjadi adiknya Mas sama seperti Hera."
Senyum sangat tipis terukir ketika Bulan mengangguk dan berpelukan dengan Haidar. Memilih melanjutkan langkah dah membereskan barang bawaan. Semesta seakan tak ingin Anggasta melihat lebih banyak lagi adegan yang akan menyakitinya.
Kedatangan Jeno dan Anggasta dengan membawa tas ransel di pundak membuat Sekai dan Bulan terkejut.
"Mau ke mana?" Kalimat itu lolos begitu saja dari bibir Bulan.
"Gua harus balik, Lan. Retail WAG butuh gua."
"R-retail WAG?" Pengulangan dari wanita yang bersama Haidar mampu didengar Jeno.
"Iya, Ibu. Retail WAG itu milik keluarga teman saya ini yang tak lain adalah cucu dari pemilik Wiguna Grup. Dan dia juga direktur muda di Wiguna Grup pusat." Ibunda Bulan tercengang mendengar penjelasan Jeno.
"Betapa meruginya mereka yang telah menolak Gaffi Anggasta Wiguna. Cover boleh sederhana, tapi isi dompet dollar Amerika dan Singapura."
JLEB!
...**** BERSAMBUNG ****...
Hayu atuh tinggalin komennya ...
dari dulu selalu nahan buat ngehujat si bulan tapi sekarang jujur muak liat wanita oon yg mau aja diperbudak cinta sampe jadi nggak tau malu dan buta hadeh wanita jenisan bulan emang cocok ama laki-laki jenis Haidar sama2 rela jatuhin harga diri demi cinta kemaren sempet agak seneng liat karakternya pas lepasin Haidar sekarang jujur ilfil sudah dan nggak layak buat gagas terlalu berharga keluarga singa cuman dapet menantu sekelas si bulan
kalau cewe udah terluka
pilihan opa ngga ada yang meleset...
good job alma👍 gausah jadi manusia gaenakan nanti mereka yg seenak jidat kaya mamak nya si haidar
lagian tuh ya.... para karyawan gak punya otak kali ya , dimana dia bekerja bisa-bisanya merendahkan dan menggosip pimpinannya , pada udah bosan kerja kali ya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lnjut trus Thor
semangat
psfshal diri ny sen d iri pun menyimpsn luka yg tsk bisa di gambar kan.
sya dukung gagas sma Alma..
saya pantau terus author nya
jiwa melindungi gagas mencuat 🤭
btw oppa cucu nya abis di siram sama Mak nya Haidar TUHH masa diem2 aje