NovelToon NovelToon
49 Days

49 Days

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / Angst / Penyeberangan Dunia Lain / Hantu
Popularitas:17.3k
Nilai: 5
Nama Author: nowitsrain

Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.

Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.

Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Under The Rain

"Kau terlihat tidak senang atas kedatangan Paw. Apa dia mengganggumu?"

Dean melompat turun dari jendela, berdiri di sisi meja Suri, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

"Di sini pengap," katanya, "aku akan berjalan-jalan di sekitar. Sepulang sekolah nanti, kita bertemu di gerbang."

Jangankan menyanggah, bibir Suri saja baru akan bergerak ketika Dean sudah lebih dulu ngeloyor begitu saja. Ayunan langkahnya tampak santai seperti biasa, namun dalam sekejap mata sosoknya sudah berpindah jauh dari pandangan, berkeliaran di koridor. Akhirnya Suri tidak bisa berbuat apa pun selain membiarkan pertanyaannya terkubur.

"Dasar hantu aneh," cibirnya.

Kegiatan belajar mengajar masih berlangsung di depan. Mau tak mau, Suri kembali memusatkan perhatian pada guru Sosiologi yang sedang menerangkan. Seorang perempuan berambut hitam lurus sebahu, mengenakan kemeja berwarna cokelat tua dan celana bahan senada. Suaranya nyaring, memenuhi seisi kelas yang hening.

Suri menggoreskan pena ke atas buku catatan. Beberapa kalimat tertuang lancar, setidaknya sampai Dean sekali lagi mencuri perhatian. Sosoknya sudah pergi entah ke mana, namun Suri tidak bisa mengenyahkan kegusarannya begitu saja. Dengan pena tergenggam erat di tangan, Suri menoleh ke arah pintu kelas yang tertutup rapat.

Ke mana dia pergi? batinnya.

Di saat yang sama, tatapannya bertemu dengan teman sekelasnya. Seorang murid perempuan yang duduk di sisi kelas yang berseberangan dengan Suri. Tatapan gadis itu tampak aneh, membuat Suri tidak betah berlama-lama berkontak mata. Suri pun menarik pandangannya, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang perlahan merayapi benaknya.

Apa, sih? Memangnya ada yang salah denganku?

...🍃🍃🍃🍃🍃...

Bel tanda selesai pelajaran berbunyi tiga kali. Suri gegas membereskan buku-buku, memasukkan sebagian ke dalam tas, dan sebagian lagi disimpan di laci meja. Itu bukan sesuatu yang baru. Hampir semua teman sekelasnya melakukan hal yang sama. Buku-buku yang terlalu berat dan tebal, akan ditinggalkan di laci agar tidak menyusahkan.

Sebagian besar dari buku-buku itu juga biasanya diperlukan hampir setiap hari, sehingga dengan meninggalkannya di kelas, akan sedikit mengurangi risiko ketinggalan--yang kemudian membuat mereka mendapat hukuman. Minusnya, kadang suka anak dari kelas lain yang meminjam tanpa permisi. Sebagian besar dikembalikan dalam keadaan yang baik, sebagian lagi terdapat lecek di beberapa halaman, sedangkan sebagian kecil yang lain berakhir hilang.

Suri belum pernah mengalami kehilangan. Tapi kalau sampai terjadi, dia bersumpah akan mencari sampai ke seluruh sudut sekolah. Tidak ada dalam sejarah hidupnya, membiarkan apa yang menjadi miliknya direnggut begitu saja oleh orang lain, apalagi dengan cara yang tidak adil.

Selesai berbenah, Suri bergegas meninggalkan mejanya. Lagi-lagi, saat kakinya hampir mencapai pintu, tatapannya bertubrukan dengan teman sekelasnya yang tadi siang. Sorot mata gadis itu masih sama anehnya, sehingga Suri tidak punya alasan untuk berlama-lama memandang.

Tadinya Suri ingin mengonfrontasi secara langsung, menanyakan apakah sekiranya Suri memiliki salah atau teman sekelasnya itu tidak suka padanya. Tapi mengingat waktunya mepet, di mana Dean pasti sudah menunggu, maka Suri mengurungkan niat. Dia abaikan tatapan teman sekelasnya itu, dan buru-buru melanjutkan langkahnya keluar kelas.

Disusurinya koridor yang masih sepi. Sebagian besar murid masih betah berlama-lama di kelas. Di luar, cuaca tampak mendung. Biasanya, para murid memang lebih suka menunggu sampai hujan sekalian turun. Supaya bisa menyiapkan payung sejak awal, alih-alih kerepotan di tengah jalan.

Langkah Suri terayun lebar dan terburu. Pandangannya berpendar ke beberapa arah, mencari keberadaan Dean. Sampai tiba dirinya di aula, tampak dalam pandangannya sosok Dean sudah berdiri di depan gerbang. Pria itu berdiri menghadap ke arah jalanan, memunggungi Suri. Satu tangannya tergantung bebas di samping tubuh, yang satunya memegang payung hitam besar yang kemarin mereka gunakan saat jalan-jalan sore.

Suri menarik napas dalam-dalam, membetulkan tali ransel di pundaknya, kemudian meneruskan langkah menghampiri Dean.

Ketika lima langkah lagi sampai, sang hantu sudah lebih dulu berbalik. Tidak seperti kali terakhir di kelas, wajah Dean sudah lebih semringah. Pria itu bahkan tersenyum lembut pada Suri. Matanya tampak bercaya, meski binarnya tidak terlalu terang.

"Sudah menunggu lama?" tanya Suri basa-basi.

"Tidak," sahut Dean, seraya menekan tombol pada gagang payung, membuatnya terbuka.

Mulanya Suri heran, sebab hujan belum turun. Namun, keheranan Suri seketika lenyap saat tetes pertama jatuh persis setelah Dean menarik tubuhnya mendekat. Tetes-tetes lain jatuh seperti berondongan peluru. Terus-menerus tanpa henti.

"Kita naik apa ke rumah sakit?" tanya Suri, seraya melirik bahu kanannya. Tangan Dean bersemayam di sana. Memegang cukup erat.

"Jalan kaki."

Kepala Suri praktis mendongak. "Kau gila, ya? Jaraknya hampir delapan kilo."

Dean tersenyum tipis. "Tidak akan terasa."

"Untukmu," balas Suri sengit, "kau hantu, wajar bila jarak segitu tidak akan terasa melelahkan. Tapi bagiku, yang seorang manusia biasa dengan kaki-kaki mungil, tidakkah kau pikir itu akan sangat menyiksa?"

Bahu Suri terasa kosong selama beberapa saat ketika Dean menjauhkan tangannya dari sana, tetapi kehangatan lain langsung terasa di tangan Suri, kala Dean menyatukan jemari mereka.

"Apa yang kau lakukan?" sengitnya.

Dean hanya menatap lurus ke depan. Dari samping, Suri masih bisa melihat lengkung di bibirnya yang kentara.

"Sedang menyalurkan kekuatanku supaya kau tidak merasa lelah," kata Dean.

"Omong kosong." Suri mencibir dengan sepenuh hati. Kendati demikian, gandengan Dean tidak dilepaskan.

Mereka melangkah beriringan menyusuri jalanan yang lengang. Struktur jalanan yang tidak rata menciptakan genangan di beberapa titik. Karena itu, tidak sekali dua kali Suri menggerutu setiap harus menghindari genangan tersebut. Kalau langkahnya meleset sedikit, Suri akan mengomel lebih keras, sementara Dean hanya tertawa kecil tanpa berkomentar lebih lanjut.

"Soal Paw," Suri mengerem ucapannya secara refleks, bibirnya terlipat ke dalam, matanya menyorot Dean ragu-ragu.

"Maksudku," lanjutnya hati-hati, "kalau kau memang merasa terganggu atas keberadaan Paw, kita mungkin bisa menemukan solusi lain."

Dean tidak langsung memberikan reaksi. Bibirnya melengkung sedikit, rapat terkunci. Sorot matanya meresap jauh menyelami mata Suri. Bagai berkelana mencari pemahaman agar obrolan mereka tidak berakhir dengan ketegangan sia-sia.

"Kita bisa titipkan Paw ke shelter. Jika mencari dengan benar, aku yakin ada shelter yang bagus dan bertanggung jawab."

"Tidak perlu," jawab Dean. Suri rasakan tangannya ditarik mendekat, genggaman dengan tangan Dean terasa semakin erat. "Aku tidak ada masalah dengan Paw. Lagi pula, bukankah kau sangat menyukainya? Aku tidak mau melihatmu bersedih kalau harus berpisah dengannya."

"Tidak masalah. Aku masih bisa berkunjung ke shelter sesekali."

Dean menggeleng, "Tidak perlu, Suri. Kau bisa biarkan Paw tetap di rumahmu. Aku baik-baik saja."

"Sungguh?" Dean mengangguk, dan tersenyum.

Masih tersisa sedikit ragu di hati Suri, tetapi sore itu dia memutuskan untuk mengakhiri obrolan tentang Paw di sana. Langkah mereka kembali terjalin. Di bawah guyuran hujan dan alunan simfoni alam, keduanya bergandengan tangan, mulut saling bertukar suara dan sesekali terjadi perdebatan.

Sore itu hanya satu dari sekian banyak sore, di mana gerbang pembatas antara hidup dan mati semakin terpampang jelas. Tinggal menunggu waktu untuk memutuskan, ke arah mana gerbang itu akan terbuka; kehidupan fana atau kematian yang kekal.

Bersambung....

1
Marta Rahayu
GK hati hati suri,,, jatuh kan,,,
Marta Rahayu
anak nie bsa liat hantu jha y pasti,,,
Marta Rahayu
ap suri,,,
Marta Rahayu
kluarga dean bneran baik GK nie,,,
Marta Rahayu
mgkin mereka tkut krna kamu bsa liat hantu suri,,,
Marta Rahayu
curcol suri,,,
Marta Rahayu
suri sumbu pendek x,,, marah trs,,,
Marta Rahayu
iy jga y,,, clare GK bsa d lempar bantal tp dean bsa d pegang,,,
Marta Rahayu
menyadari ap suri,,, menyadari klu dean GK perlu sembunyi y,,,
Marta Rahayu
pantas dean syang skali dg kekasih na,,, ad rsa iba jga pasti na,,,
Marta Rahayu
kkk suri centil,,,
Marta Rahayu
dean hantu knpa hrus kau ajak semunyi suri,,,
Marta Rahayu
waduh ad yg dtang,,,
Marta Rahayu
dean harus sabar klu mau suri bantu sampe ahir,,, jgn desak trs dean
Marta Rahayu
knpa bsa tersentrum y,,,
Marta Rahayu
knpa suri,,,
Marta Rahayu
mgkin sedang memperhatikan dari jauh,,,
Marta Rahayu
ada sja omongan mu suri,,,
Marta Rahayu
dean kan bsa masuk dluan nembus pintu,,, tp malah nungguin suri kkk
Marta Rahayu
suri mmg galak y,,, lucu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!