RAHASIA DI BALIK PENGKHIANATANMU

-SEMINGGU KEMUDIAN-

Pagi itu, suasana apartemen Luna begitu Hening. Sejak insiden tamparan di bank, dan pesan misterius yang ia terima, pikirannya tak pernah tenang. Luka lama dan rasa sakit baru bercampur jadi satu.

Luna baru saja menutup laptopnya. Tiba-tiba terdengar bunyi bel berulang kali. Ia menghela napas panjang, mengira itu Noval atau Nuri yang kembali datang untuk memastikan kondisinya. Selain itu, hanya mereka yang mengetahui Luna pindah ke Aparteman yang sama dengan Noval.

Dengan langkah pelan, ia membuka pintu. Namun betapa terkejutnya ia ketika melihat sosok mertuanya berdiri di depan pintu dengan mata sembab, wajah penuh air mata, dan tubuh yang bergetar.

“Ibu…” bisik Luna, nyaris tak percaya.

Di belakang mertuanya, berdiri Noval dan Nuri. Mereka saling berpandang canggung, lalu Noval angkat bicara, “Dia ingi sekali bertemu denganmu Luna. Katanya ada hal penting yang harus disampaikan. Itulah sebabnya kami mengantarnya sampai sini.”

Belum sempat Luna menjawab, Ibu Ares langsung memeluknya erat. Tangisnya pecah seketika, sesegukan hingga bahunya terguncang.

“Luna… maafkan ibu. Maafkan ibu tidak bisa mencegahnya. Ares tidak berniat melakukan ini. Ini semua Ares lakukan karena terpaksa.”

Luna terpaku cukup lama. mencoba mencerna ucapan mertuanya.

“Maksudnya apa, bu?” Luna akhirnya bertanya.

Bukannya menjawab, ibu Ares justru menangis semakin keras. Ia menggenggam kedua tangan Luna, menatapnya dalam-dalam dengan berurai air mata. “Luna, bulan depan Ares akan menikah dengan Celine.”

Kata-kata itu bagai belati yang menusuk jantung Luna. Namun hal ini adalah hal yang juga ia sangka sebelumnya. Dan memang Luna hanya menunggu saat ini tiba.

Air mata yang sejak tadi di tahan akhirnya jatuh juga di pipi Luna. Ia tersenyum getir menunduk. “Kalau Ares melakukan itu dalam tekanan Celine, aku tidak masalah, Bu. Aku sudah terbiasa dalam luka.” Ia mengangkat kepalanya, sorot matanya tegas meski basah air mata. “Tapi kalau dia melakukannya untuk melindungiku, aku tidak akan diam saja. Aku tidak ingin ada orang lain yang dikorbankan demi diriku.”

Luna hanya bisa tersenyum pahit. Ia menatap Noval dan Nuri yang tampak khawatir. Dalam hati ia berjanji, apapun yang terjadi setelah ini, ia tidak akan tinggal diam. Tidak untuk merebut Ares kembali, tapi untuk meghentikan lingkaran sakit yang terlalu menyiksa orang.

***

Hari itu tiba lebih cepat dari yang Luna kira.

Hari pernikahan Ares dan Celine.

Ia tidak hadir. Hanya mendengar dari kabar berita dan unggahan media sosial yang ramai menyorot pernikahan mereka.

Di dalam Apartemennya, Lina terpaku menatap layar ponsel. Senyum Celine di pelaminan, tatapan kosong Ares saat ijab kabul, dan sorak sorai para tamu semuanya menusuk ke dalam dadanya.

Hingga akhirnya kaimat paling ditakuti terlontar dari bibir penghulu dalam video siaran langsung.

“Dengan demikian, sah sebagai suami istri.”

Perasaan aneh bercampur aduk. Hancur, marah, kecewa, tapi juga lega. Lega karena setidaknya ia kini tahu garis batas mereka jelas. Ares kini adalah suami orang.

Sementara itu di ruang pernikahan, Ares berdiri kaku. Celine yang menyadari itu, justru tersenyum penuh kemenangan. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Ares dan berbisik, “Percuma kamu menungu. Dia tidak akan pernah datang, Ares. Dia sudah kalah dan berada di bawah aku sekarang.”

Luna mencoba menjalani hari-hari seperti biasa. ia tetap bekerja, tetap tersenyum pada rekan-rekan kantornya.

Namun yang paling membuatnya semakin kacau, Ares tidak berhenti menghubunginya. pesan demi pesan masuk ke ponselnya, ajakan bertemu, permintaan maaf, kalimat-kalimat putus asa.

Aku butuh bicara denganmu.

Luna, sekali saja temui aku.

Aku tidak bisa melewati semua ini sendirian.

Luna selalu menolak. Ia tahu, jika ia bertemu dengan Ares, justru ia lah yang memiliki citra buruk, karena bertemu dengan mantan suami yang kini menjadi milik orang lain.

Namun Ares tidak menyerah. Suatu sore, saat Luna pulang dari kantor, ia melihat mobil milik Ares berhenti di belakangnya.

Luna mendesah panjang, berusaha menahan amarah. Ia mempercepat langkah menuju apartemennya, tapi mobil Ares terus mengikutinya hingga akhirnya berhenti tepat disampingnya. Jendela kaca turun, memperlihatkan wajah Ares.

“Luna, tolong. Aku hanya butuh lima menit bicara denganmu.”

Luna langsung menghentikan langkahnya. Ia menoleh tatapannya tajam menusuk. “Hentikan Ares! Kamu sudah menikah. Kamu sudah ada istri sekarang. Jangan pernah ganggu aku lagi!”

Belum sempat Ares membalas kata-kata Luna, suara decitan ban terdengar keras di belakang mereka. Sebuah mobil mewah berhenti mendadak, pintunya di buka kasar, dan Celine keluar dengan langkah cepat. Wajahnya peuh amarah.

“ARESSS!” teriaknya. “Apa yang kamu lakukan disini? Bukankah aku sudah melaranmu bertemu dengan perempuan payah ini lagi?”

Luna menegang. Kata-kata itu menusuk dadanya, tapi kali ini ia tidak akan terlihat lemah lagi di hadapan Celine. Ia berdiri tegak, menatap balik dengan tatapan dingin.

Ares tampak gelagapan, ia turun dari mobilnya dan berusaha menghalagi Celine untuk menyakiti Luna. “Celine, aku mohon dengarkan aku dulu.”

“Diam!” bentak Celine. Ia lalu menoleh ke arah Luna dengan tatapan penuh kebencian. “Kamu pikir kamu bisa mengambil Ares kembali. Kamu sudah kehilangan dia sekarang. Kamu bukan siapa-siapa diamata Ares.”

Luna menghela napas panjang, lalu melangkah mendekat dengan tenang. “Tenang saja, Celine. Aku bukan seperti kamu. aku tidak pernah merebut suami orang. Justru suami kamu yang mengikutiku, memaksaku untuk bertemu.”

Wajah Celline memerah, tangannya terangkat hendak menampar Luna. Namun dengan cepat, Luna menangkap pergelangan tangannya sebelum telapak tangan Celine mendarat di pipinya.

“Jangan berani menyentuhku. Aku najis!” kata Luna dengan suara rendah tapi penuh wibawa. Ia mendorong tangan Celine kasar hingga tubuh wanita itu terhuyung.

“KAU!” Celine hampir berteriak histeris.

Tapi Luna tidak mundur. Ia melangkah maju, berdiri tepat di hadapan Celine tanpa memperdulikan Ares yang ada di dekatnya.

“Dengarkan baik-baik, Celine. Kalau aku tahu apa yang membuat semua tekanan ini terjadi, aku akan menghadapinya. Sekalipun orang itu adalah kamu. aku tidak pernah takut pada siapapun, terlebih kamu. Kamu boleh mengancam, menekan, atau mencoba menghancurkan hidupku berkali-kali, tapi aku  tidak akan membuat diriku jatuh serendah dirimu. Kamu hanya perempuan rendah yang butuh menghancurkan rumah tangga orang untuk merasa berharga.”

Kata-kata itu membuat Celine terdiam sesaat. Matanya membelalak,rahangnya mengeras, bibirnya bergetar menahan amarah.

Luna tidak menunggu jawaban. Ia berbalik melangkah mantap ke arah apartemennya.

Suasana di jalan itu hening sesaat, hanya suara bisik-bisik orang-orang yang baru saja menyaksikan konfrontasi dramatis itu.

Luna masuk ke dalam gedung apartemennya tanpa menoleh lagi. ia tahu, pertempuran baru saja dimulai.