NovelToon NovelToon
First Love

First Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Bulbin

Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.

Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24. Ikan koi

"Mila?"

Rahmat seakan tak percaya akan penglihatannya sendiri. Tangis bahagia mengalahkan luka yang dirasa. Sementara orang-orang di sekitar, turut membantu Rahmat untuk bangkit. Namun pria itu tak kuasa dan semakin melemah.

"Panggil ambulans," ucap beberapa orang yang berkerumun di sana. Namun Mila melarangnya dan meminta orang-orang untuk membantu Rahmat masuk ke mobilnya.

"Biar motormu diurus suamiku, Mas. Kita ke rumah sakit sekarang. Lukamu harus cepat diobati."

Mila bercakap-cakap sejenak dengan seorang pria di luar mobilnya, lalu kembali masuk dan melaju pergi.

Tak butuh waktu lama, mobil sampai di pelataran rumah sakit. Beberapa tenaga medis segera mendekat dengan brankar yang siap membawa pasien. Mila berlarian mengikuti dengan wajah khawatir, sembari terus menatap Rahmat yang berbaring dengan wajah pucat.

Sementara di rumahnya, Nayna dan Siti terlihat cemas. Mereka berulang kali menatap gerbang, lalu beralih pada jam dinding yang berdetak monoton, membuat suasana semakin tegang.

"Bu, kok sampai sekarang Ayah belum pulang? Apa ke mana dulu mungkin?"

Nayna duduk, lalu bangkit, berjalan mondar-mandir dan kembali duduk. Keringat terlihat di pelipisnya. Tangan dan tubuh bergetar seirama dengan degub jantung yang tak beraturan.

"Nggak mungkin. Ayahmu selalu bilang Ibu kalau mau pergi. Tadi pamitnya mau jemput kamu, tapi sampai sekarang belum juga pulang. Ke mana tu orang. Bikin khawatir. Padahal udah diingetin berulang kali, kalau pergi bawa hape, biar gampang dihubungi. Kok ya tetep aja bandel." Siti mendengus kesal, hatinya bergejolak. Rasa khawatir tentu menjadi faktor utama dari setiap kata yang terucap, meskipun terkesan 'menyalahkan'.

Saat itulah, ponsel Nayna berdering. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal.

"Siapa, Nay?" Siti ikut menatap layar berkedip di atas meja.

Nayna menggeleng. Dia ragu untuk mengangkat panggilan itu. Namun sang ibu berkata lain.

"Angkat aja, siapa tahu itu Ayah."

Tangan Nayna terjulur, meraih benda pipih itu dan menyentuh tombol hijau, terdengar suara wanita di seberang sana.

"Halo, Nayna? Ini Tante Mila. Sekarang Tante ada di rumah sakit Medika. Ayahmu kecelakaan, Nak. Kamu sama Ibumu ke sini ya, Tante tunggu."

Nayna terdiam, sesuatu terjadi pada ayahnya.

Dia berusaha tetap tenang saat menyampaikan pada sang ibu. "Bu, ini tadi Tante Mila. Dia bilang kita suruh ke Rumah sakit sekarang."

"Siapa yang sakit? Rumah sakit mana? Tantemu kan ada di luar kota, Nak." Siti menatap anaknya dengan dahi berkerut setelah mendengar nama adik iparnya disebut.

Nayna diam sesaat, menarik napas dalam, lalu berkata lirih hampir tak terdengar "Ayah kecelakaan, Bu."

Meski dirasa pelan, namun Siti lemas saat mendengarnya. Dia terduduk dengan kedua telapak tangan menutup wajahnya.

Nayna mendekat, merangkul ibunya, mencoba menenangkan wanita itu, sekalipun hatinya tak baik-baik saja.

Setelah dirasa tenang, keduanya bersiap ke rumah sakit. Nayna memesan taxi online, dan meluncur ke tempat di mana sang ayah terbaring lara.

Sesampainya di rumah sakit, Nayna kembali menghubungi Mila dan berjalan cepat ke arah IGD. Di sana, Mila berhambur memeluk Siti, sedangkan Nayna menatap pintu kaca di hadapannya.

"Nak, sabar ya. Kita do'akan Ayahmu baik-baik saja," bisik Mila seraya memeluk gadis yang hampir sama tinggi dengannya.

Tak lama kemudian, pintu terbuka. Seorang pria dengan jas putih dan stetoskop menggantung di lehernya, mendekat ke arah mereka, lalu menjelaskan kondisi pasien.

"Alhamdulillah, terima kasih, dok."

Mereka mengangguk lalu masuk ke ruangan dengan beberapa ranjang pasien yang disekat oleh tirai panjang.

Nayna terpaku menatap sosok yang tergolek lemah di atas ranjang. Selang infus menjuntai dari lengannya.

Rahmat terpejam, diam, dengan dada naik turun dan nafas teratur. Siti mendekat, menyentuh wajah suaminya yang tertidur tenang. Wanita itu memeluk tubuh Rahmat dengan isak tangis yang tak lagi mampu ditahan. Dari bibirnya, keluar berbagai kalimat agar sang suami membuka mata.

Sementara Nayna turut memberi sentuhan di lengan sang ayah. Terasa ada yang menjalar di tubuhnya, kala menatap wajah teduh dengan beberapa luka gores di sana.

Yah, bangun. Ayah harus kuat.

*

Di lain tempat, Aksara tengah terpaku menatap layar laptopnya. Kalimat yang sudah diketik, dia hapus kembali.

Akh! Kenapa jadi gini? Gue harus cerita ke siapa?

Padma semakin menjaga jarak, apa gue ada salah omong ke dia?

Laki-laki itu tercenung dengan memori yang memutar kejadian beberapa waktu lalu, di mana dia berniat untuk bertemu teman maya, namun berakhir dengan traktiran makan dari Melda dan bapaknya. Sejak saat itu, Padma sulit dihubungi. Pesan tak pernah berbalas, komen di postingannya juga tak ada tanggapan.

**

Kamu kemana, Padma?

Kalau aku ada salah, aku minta maaf. Tapi tolong, kamu jangan diam seperti ini. Aku butuh teman untuk mengobrol. Tak tahu lagi, siapa yang dapat kupercaya, siapa yang dapat mendengar tanpa menghakimi sepertimu.

Padma, tolong. Jangan menghindar.

Nayna menghela napas, matanya beralih dari layar ponsel ke arah ranjang pasien. Di mana ayah tersenyum manis saat dengan lembut, ibu memberi suapan demi suapan nasi ke mulutnya.

"Terima kasih, Bu. Kamu memang istri terbaik. Yang sabar melayani suamimu ini," ucap Rahmat saat dia selesai menelan suapan terakhir.

"Terbaik? Emang ada yang lain? Awas aja ya, berani macem-macem," bisik Siti sebagai balasan, membuat suaminya melongo tak percaya akan kata-kata itu.

"Bu, aku lagi sakit lho, mbok yo sing tenang, sing lembut, romantis gitu." Rahmat menerima gelas dari Siti dan meminum isinya hingga tersisa sedikit saja.

"Ya lagian sampean dulu yang mulai. Terbaik kan berarti ada yang lain, yang sama-sama baik, jadi ... "

"Ayah, Ibu. Debatnya di rumah aja. Ini rumah sakit. Kasihan yang lain jadi keganggu," bisik Nayna, namun Siti masih menjawab meski dengan suara pelan.

"Tapi kan di ruangan ini, pasiennya cuma ayahmu aja, Nay." Rahmat juga bersiap membela diri. Nayna cepat menyentuh lengan ibunya. Seketika, pasangan suami istri itu diam, mengunci mulut.

Di ambang pintu, Mila menahan tawa melihat rumah tangga kakaknya. Dia mendekat saat ketegangan itu mulai mencair.

"Oh, Tante Mila. Baru datang?"

Nayna mempersilakan perempuan itu untuk duduk di kursi, sementara dia beringsut ke arah lain.

"Tadi sempet lihat debat sebentar." Dia terkekeh melihat kedua kakaknya tersipu malu.

"Hari ini, Mas Rahmat udah boleh pulang. Kita siap-siap ya, sebentar lagi dokter ke sini," terang Mila seraya meraih botol minum.

"Ya udah, Yah. Ibu keluar dulu mau urus administrasinya. Nay, ayo ikut Ibu. Tunjukin jalannya, Ibu takut nyasar di gedung yang gede gini."

Siti dan Nayna bangkit, membuat Mila cepat-cepat mengusap bibirnya dan berkata lembut.

"Nggak usah, Mbak. Semua udah beres. Kita tinggal pulang aja."

"Kamu yang bayar?" Siti menatap adik iparnya dengan mata berkaca. Mila mengangguk, detik berikutnya Siti memeluk erat wanita dengan sorot mata teduh dan senyum menawan di hadapannya.

"Makasih, Mila. Makasih. Maafkan kami yang terus merepotkanmu." Siti terisak, begitupun Rahmat yang diam-diam mengusap air mata.

"Nggak ada yang direpotin, Mbak. Udah kewajiban saudara untuk saling membantu. Aku pribadi, punya banyak hutang budi pada kalian. Tanpa kalian dulu, aku nggak mungkin lanjut sekolah sampai sarjana. Bahkan masih banyak kebaikan kalian yang tak mungkin bisa terbayarkan."

Nayna yang sejak tadi diam, kini turut memeluk Mila. Rasa hangat mengalir dalam darah, air mata tak lagi mampu terbendung di kedua matanya. Ketiga wanita dalam ruangan itu saling berpelukan, menumpahkan segenap perasaan yang muncul di dalam sana.

"Udah dong pelukannya, nggak kasihan apa, ada pasien yang cuma jadi penonton gini."

Mendadak, ketiganya menoleh dan tertawa melihat ekspresi pria di ranjang yang mengerucutkan bibir dengan lubang hidung yang kembang kempis.

"Yah, mirip ikan koi, ih!"

Celetukan Nayna semakin membuat mereka tertawa.

***

1
Dewi Ink
musuh bgt 😅😅
Dewi Ink
🤣🤣🤣
Alyanceyoumee
lah, jangan jadi matre Bu Siti. Pak wistu nyebelin.
Alyanceyoumee
ga suka!
Alyanceyoumee
bagus nay..
Alyanceyoumee
waduh, na... tiba-tiba saja ketemu sama camer.
Pandandut
nah ini baru gentle nih
Pandandut
jadi inget dulu jerit jerit pas jurit malam wkwkwk
Kutipan Halu
untuk ajaa ayahnya segera datang kalau nggk udah kena modus dua cowok itu2 tuh 😂
Iqueena
Hahah, anteng dulu ya Bu 🤣
Iqueena
Ya Allah, ada aja ujian mereka
Iqueena
Ayo diingat lagi Na
Iqueena
Sebentar sebentar, jadi bukan ortu kandung Nayna?
TokoFebri
yang kayak gini itu bacanya sedikit nyesek. Sandy cengengesan tapi sebenarnyaa hatinya raapuh.
TokoFebri: salam ke Sandy ya Thor. semangat. hihihi
total 2 replies
Yoona
siapa yang natap nanya dari jauh itu, penasaran 🤔🤔
Septi Utami
aku kok muak ya sama Melda!!!
Bulanbintang: Aku juga,😥
total 1 replies
Miu Nuha.
mau pinjem PR kok /Hey//Hey/
Miu Nuha.
pinisirin juga nih aku 🤔
Miu Nuha.
gara2 ketemu mantan
Miu Nuha.
jangan nakutin tooo /Sweat//Sweat/
Bulanbintang: Demi keselamatan sang anak,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!