Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 32 : Aku sudah menyadarinya sejak pagi
Lian Hua duduk di tepi ranjang, jemarinya yang dingin menempel di pergelangan tangan Wei Ming. Denyut nadinya terasa lebih teratur, tidak selemah beberapa menit lalu. Ada sedikit perbaikan, cukup untuk membuatnya mengangguk tipis.
Namun Wei Ming justru menatapnya penuh kesal. Bibirnya beberapa kali mengerucut, lalu ia bergumam pelan, “Orang mustahil bisa berubah begitu saja tanpa alasan… tapi ada juga orang yang berubah drastis hanya karena berbeda orang.”
Lian Hua terdiam, raut wajahnya menegang sejenak sebelum kembali tenang. Ia tidak membantah, hanya menunduk sedikit lalu menjawab lirih, “Mungkin aku memang bukan orang yang kau lihat selama ini.”
Wei Ming terkekeh pendek. Tawanya terdengar sinis, namun di balik itu tersimpan sesuatu yang sulit ditebak. “Aku sudah menyadarinya sejak pagi… sejak pertama kali kau masuk ke sini,” ucapnya.
Lian Hua mengangkat kepalanya perlahan, lalu tanpa melanjutkan perbincangan, ia meraih botol obat di meja. Suaranya kembali datar. “Sudah waktunya minum ramuan lagi.”
Wei Ming mendengus keras, wajahnya penuh penolakan. “Aku sudah bersumpah tidak akan pernah sakit lagi, apalagi sampai dipaksa menelan ramuan itu.”
Senyum tipis muncul di bibir Lian Hua, entah mengejek atau menenangkan. “Baiklah, aku akan mengingat sumpahmu.”
Tapi tangan halusnya tetap menuangkan cairan hitam pekat ke sendok. Tanpa memberi pilihan, ia menyodorkannya ke depan wajah Wei Ming.
Pria itu terdiam, wajahnya mendadak masam. “Kau benar-benar kejam,” desisnya, nyaris seperti rengekan. “Aku sudah menolak, tapi kau tetap memaksaku.”
Lian Hua hanya menatapnya dengan sabar, tanpa bergeming sedikit pun.
…
Sementara itu, di sisi lain kediaman, Yi Chen berdiri tegak di depan Ya Ting. Suara wanita itu terdengar pelan saat menunduk. “Qian Bo tidak berbohong, Yang Mulia. Luka bengkak Wei Jie sudah membaik. Rasa sakitnya pun tak lagi mengganggu tidurnya.”
Alis Yi Chen berkerut dalam. Tatapannya menajam, menoleh ke arah lain sejenak sebelum bertanya, “Ramuan tabib istana begitu manjur? Setelah sekian lama tidak ada hasil, sekarang tiba-tiba berhasil?”
Ya Ting terdiam. Lidahnya kelu, bibirnya terbuka namun tak ada suara yang keluar.
Melihat kebisuan itu, Yi Chen menyipitkan mata, kedua tangannya terlipat di belakang punggung. Aura tekanannya begitu berat, membuat udara terasa menyesakkan. “Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan. Benarkah itu hasil pengobatan tabib istana?”
Ya Ting menelan ludah, lalu mengangguk ragu. Gerakan itu justru semakin menyalakan kecurigaan Yi Chen. Tatapannya tajam menusuk, membuat bahu wanita itu bergetar.
“Apa yang kau sembunyikan dariku, bibi Ya Ting?” suaranya dingin, setiap kata bagai belati.
Dengan suara bergetar, Ya Ting akhirnya menjawab, “Sebenarnya… yang mengobati Wei Jie bukan tabib istana.” Ia terdiam sejenak, lalu mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan, “…melainkan Permaisuri Lian Hua.”
Ya Ting gemetar. Setelah kata-kata itu meluncur dari bibirnya, ia langsung menjatuhkan diri berlutut. Suaranya bergetar menahan air mata.
"Hamba mohon ampun, Yang Mulia… Hamba tidak bermaksud menyembunyikannya. Semua ini karena Permaisuri Lian Hua yang berpesan agar tidak seorang pun mengetahui… maka hamba hanya menurutinya."
Yi Chen menatapnya tanpa suara. Sorot matanya dingin, tak terbaca, namun cukup membuat udara terasa berat. Keheningan itu seakan menekan dada Ya Ting hingga hampir sulit bernapas.
Beberapa saat kemudian, Yi Chen akhirnya membuka suara, tenang namun tajam. “Bangunlah, bibi. Aku tidak akan menghukummu.”
Ya Ting tertegun, menoleh pelan ke arahnya. Yi Chen melanjutkan, “Aku datang bukan untuk mencari siapa yang bersalah, hanya untuk mencari tahu. Kembali ke pekerjaanmu.”
Dengan cepat, Ya Ting mengangguk, lalu berdiri dengan gugup. Ia menunduk dalam-dalam sebelum melangkah pergi. Namun sebelum benar-benar meninggalkan halaman itu, matanya sekilas melirik ke arah ruangan tempat Lian Hua dikurung, seolah ada sesuatu yang masih menghantui benaknya.
Setelah kepergiannya, Yi Chen berdiri sendirian. Angin malam menyapu jubahnya, membuat bayangan tubuhnya semakin panjang di atas lantai batu. Tatapan matanya berubah tajam, pupil keemasan itu berkilat seperti bara api.
"Bagaimana mungkin… gadis itu… bisa melakukannya?" gumamnya lirih, tapi penuh tekanan.
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂