NovelToon NovelToon
Menyetarakan Diri Dengan Para Dewa

Menyetarakan Diri Dengan Para Dewa

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Epik Petualangan
Popularitas:763
Nilai: 5
Nama Author: Space Celestial

Menara yang Misterius yang sudah berdiri dan berfungsi sejak sangat lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Space Celestial, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25

Tak satu pun dari para Regular menggerakkan tubuh mereka dengan segera.

Mereka hanya berdiri mematung, mengatur napas, mencoba menyeimbangkan tubuh yang masih gemetar. Nafas mereka berat, dada naik turun seperti mesin rusak, dan kulit mereka mengilap oleh keringat yang belum sempat menguap. Udara terasa panas meskipun langit di atas tertutup awan kelabu. Tekanan dari kata-kata Aurora lebih menusuk dibanding panas atau kelelahan itu sendiri.

Aurora tidak mengulangi perintahnya. Dia tidak perlu.

Satu per satu, para Regular mulai berjalan ke arah tongkat-tongkat hitam yang berjajar di tengah lapangan. Langkah mereka lambat, seperti mayat hidup, namun mata mereka menyala dengan semacam kegigihan yang gelap, campuran antara tekad dan ketakutan. Mereka tahu, dalam pelatihan ini, menyerah bukan hanya berarti gagal... tapi mungkin juga dilupakan.

Sofia melangkah maju, pelan tapi mantap. Ia memilih salah satu tongkat logam yang terlihat sedikit lebih tua, dengan bekas-bekas goresan yang menunjukkan telah digunakan berkali-kali. Ia menyentuh gagangnya, merasakan dingin logam yang kontras dengan panas tubuhnya sendiri. Beratnya terasa lumayan bahkan sebelum batu dimasukkan ke dalam keranjang.

Di sebelahnya, Shawn Kruger juga bergerak tanpa banyak bicara. Dia memilih batang yang serupa, lalu memeriksa sambungan tali dan logam yang mengikat keranjang di kanan dan kiri. Ia tidak terburu-buru. Matanya menilai setiap bagian. Keheningan antara mereka berdua seperti pengakuan diam-diam: tidak perlu kata-kata untuk saling memahami bahwa latihan ini bukan sekadar uji fisik... ini adalah ujian jiwa.

Shawn sudah pernah melakukan ini di kehidupan sebelumnya dan menderita berlatih sebulan di dalam kelas warrior, sekarang dia tidak komplain dan menjalankan latihan kelas Warrior.

“Jangan pilih batu sembarangan,” suara Aurora terdengar dari belakang mereka. “Batu terlalu kecil tak akan memberimu hasil. Batu terlalu besar akan membuatmu tumbang lebih cepat. Tahu batasmu. Tahu tubuhmu.”

Satu pelajaran penting dalam setiap kalimatnya. Tanpa perlu berteriak.

Para Regular mulai membungkuk, mengambil batu dari tumpukan. Mereka mengangkat, menimbang di tangan mereka, lalu meletakkannya perlahan ke dalam keranjang. Ada yang dengan percaya diri langsung memilih batu besar. Ada pula yang lebih berhati-hati, memilih dua batu sedang dan mengatur keseimbangan dari sisi kanan dan kiri.

Sofia tidak terburu-buru. Ia memilih dua batu abu-abu tua, masing-masing sebesar kepala anak kecil. Beratnya pas, cukup membuat pundaknya terbebani, tapi tidak menghancurkan ritme napasnya. Ia tahu bahwa ini bukan sprint. Ini maraton.

Langkah-langkah berat kemudian berderak menuju bukit buatan di ujung lapangan. Bukit itu tidak tinggi, mungkin hanya setinggi lima lantai bangunan. Tapi jalurnya sempit, berbatu, dan mendaki tajam. Langkah kaki yang tidak hati-hati bisa mengakibatkan jatuh—dan jatuh sambil menggendong dua keranjang batu bisa berarti cedera serius.

Aurora tidak berjalan bersama mereka. Ia berdiri di titik awal, mengamati dari jauh, mencatat dalam alat tipis yang digenggamnya. Dari belakang helmnya, mungkin matanya menilai, mengukur, dan mengingat setiap gerakan para peserta. Seolah tak ada satu detail pun yang luput dari pengamatannya.

Sofia menaiki langkah pertamanya.

Batu di pundaknya berayun sedikit, memberi tekanan ke arah kiri. Ia menyesuaikan postur tubuhnya, mengencangkan otot punggung dan perut. Napasnya diatur perlahan, tarik dalam, tahan, hembus perlahan. Ia tahu ritme akan menyelamatkannya dari kehancuran dini.

Langkah demi langkah, dia mulai naik.

Bebatuan kecil tergelincir di bawah sol sepatunya. Beberapa kerikil tajam menembus tipis alasnya, memberikan rasa sakit di telapak kaki, tapi Sofia mengabaikannya. Fokusnya hanya pada satu hal: menjaga keseimbangan dan menyelesaikan satu putaran. Satu putaran dulu.

Di belakangnya, suara langkah dan desahan napas menyusul. Beberapa Regular menggeram pelan, ada pula yang mulai mengutuk dalam gumaman. Tapi tidak ada yang berani berhenti. Tidak di depan Aurora.

Shawn sudah satu langkah di depan. Ia tidak menoleh. Bahunya tegak. Kakinya mantap.

Ia seperti bayangan di depan Sofia. Menjadi patokan diam-diam.

Langit mulai berubah warna, sedikit lebih gelap. Angin mulai bertiup ringan, mengangkat debu halus dari tanah dan bukit. Aroma keringat, tanah, dan logam bercampur menjadi satu, seperti aroma khas medan latihan para prajurit kuno.

Langkah pertama sampai ke puncak terasa seperti menaklukkan gunung. Tapi mereka tahu... ini baru permulaan.

Dari puncak, jalan menurun jauh lebih berbahaya. Berat batu yang menggantung di keranjang akan menarik tubuh ke depan. Lutut harus ditekuk, tubuh dimiringkan sedikit ke belakang untuk menahan dorongan gravitasi. Beberapa Regular tergelincir, tidak sampai jatuh, tapi cukup untuk membuat lutut mereka terbentur atau keranjang menghantam pinggang.

Sofia menuruni jalur itu dengan hati-hati. Langkahnya mantap, napasnya mulai pendek. Tapi pikirannya tetap jernih.

Satu putaran selesai.

Tanpa menunggu lama, ia memutar arah dan mulai naik lagi.

Putaran demi putaran, tubuh mulai merespons. Otot mulai membakar. Bahu seperti diiris perlahan. Keringat tak lagi hanya menetes, dia mengucur seperti hujan kecil dari pelipis ke dagu, dari punggung ke celana. Tapi Sofia tidak berhenti. Tidak memperlambat.

Shawn di depan sudah menyelesaikan tiga putaran.

June Heart, Rachel Allen, dan beberapa Regular lain mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan di putaran kedua. Napas mereka memburu. Langkah jadi goyah. Keranjang mulai miring ke satu sisi.

Aurora tetap diam. Hanya sesekali mencatat. Wajahnya seperti patung batu yang menghakimi.

Waktu seakan melambat.

Detik berubah menjadi menit. Menit menjadi siksaan. Tapi latihan belum berakhir.

Putaran keempat. Kelima.

Sofia mulai merasa pundaknya panas. Setiap langkah seperti menusuk bagian dalam sendi. Tapi kakinya tetap bergerak. Bukan karena ia lebih kuat dari yang lain. Tapi karena ia tahu apa yang menanti di ujung semua ini: Menara yang terus naik, rahasia di tiap lantai, kekuatan para dewa asing, dan masa depan yang tidak pasti.

Di bawah semua beban itu... ia harus tetap naik.

Aurora akhirnya mengangkat tangan. “Putaran keenam.”

Suara itu menggema.

Beberapa Regular langsung tersungkur, menurunkan tongkat mereka, terengah, bahkan ada yang muntah. Tapi tak satu pun berani menangis. Tak satu pun mengeluh keras.

Mayoritas Regular penghuni menara masih bisa melakukannya karena dari mereka kecil latihan fisik seperti ini sudah biasa sejak TK.

Aurora menoleh perlahan ke arah langit yang mulai menguning.

“Yang masih bisa berjalan... lanjutkan sampai batas kalian.”

Dan Sofia?

Ia menarik napas dalam.

Lalu mulai naik lagi.

Dengan batu di pundaknya.

Dan kehendak di hatinya.

Sofia tidak membutuhkan Skill satupun untuk membantunya dalam latihan kelas Warrior, dia membutuhkan

[Stamina meningkat sebesar 1.]

[Strength meningkat sebesar 1.]

[Stamina meningkat sebesar 1.]

[Strength meningkat sebesar 1.]

[Stamina meningkat sebesar 1.]

[Strength meningkat sebesar 1.]

Sofia puas dengan pesan dari sistem dan dia terus berlatih dan mereka yang kelelahan juga melihat sistem memberi imbalan stats ke mereka.

Sofia tidak menghentikan langkahnya. Tidak sekarang. Meskipun setiap serat otot di tubuhnya berteriak minta istirahat, meskipun kakinya terasa berat seperti ditarik ke dalam lumpur kental, dia terus berjalan, naik dan turun bukit buatan itu dengan batu di kedua keranjang yang menggantung dari bahunya.

Langkahnya kini lebih lambat, tapi tidak goyah. Dia telah menemukan ritme, titik keseimbangan di antara rasa sakit dan ketekunan, antara fisik yang lelah dan tekad yang tak tergoyahkan. Di tiap putaran, dia tak hanya menahan beban batu, tapi juga menahan beban kenangan: kehancuran dunia yang pernah ia lihat, teriakan korban, darah di dinding-dinding menara, dan kegelapan yang turun dari langit seperti kutukan tanpa nama.

Ia tahu, kekuatan yang dibutuhkan untuk menghadapi apa yang akan datang... tidak bisa hanya diperoleh dari strategi atau sihir saja.

Kekuatan itu harus tumbuh dari daging, tulang, dan jiwa.

Dan ia ingin mencapainya, tak peduli seberapa berat jalannya.

1
Ayari Khana
Terpana😍
Android 17
Sangat kreatif
【Full】Fairy Tail
Jlebbbbb!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!