NovelToon NovelToon
Jodohku Teman Mama

Jodohku Teman Mama

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.

Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 10

Hari itu tubuh Raisa rasanya seperti bukan miliknya. Sejak pagi ia merasa pusing, tenggorokan perih, dan badannya menggigil. Tapi ia tetap memaksakan diri ke kampus.

Kalau aku nggak muncul, gosip tambah liar, pikirnya.

Namun di tengah kelas, pandangan Raisa mulai berkunang-kunang. Suara dosen terdengar jauh, seperti bergema.

“Raisa, kamu nggak apa-apa?” Dina berbisik, tapi Raisa hanya menggeleng.

Beberapa menit kemudian, semuanya gelap.

 

Saat membuka mata, Raisa sudah berada di dalam mobil. Kepalanya bersandar di bahu seseorang. Aroma parfum yang familiar menenangkan.

“Om…?” suaranya serak.

“Tenang. Kita di jalan pulang,” suara Ardan terdengar berat tapi lembut.

Raisa mengerjap. “Aku… pingsan?”

“Iya. Untung Dina langsung telepon Om.”

 

Sesampainya di apartemen, Ardan dengan mudah mengangkat Raisa ke dalam gendongan.

“Om! Turunin! Aku bisa jalan sendiri!” protes Raisa, tapi suaranya lemah.

“Kalau kamu bisa, kamu nggak pingsan di kelas,” jawab Ardan datar, membawanya ke kamar.

 

Ia membaringkan Raisa di ranjang, menutupi tubuhnya dengan selimut. “Tidur dulu. Aku ambilkan obat.”

“Jangan repot…”

Ardan menatapnya tajam. “Diam. Nggak ada diskusi.”

 

Beberapa menit kemudian, Ardan kembali dengan obat dan segelas air.

“Minum ini dulu.”

Raisa menurut, lalu kembali berbaring.

Ardan duduk di kursi di samping ranjang, menatapnya. “Kamu demam. Besok nggak usah ke kampus.”

“Tapi—”

“Kalau kamu ngotot, aku bawa kamu ke rumah sakit sekalian.”

Raisa mendesah. “Om galak banget.”

Ardan mengangkat alis. “Kalau galak bikin kamu sembuh, biar sekalian.”

 

Tak lama kemudian, Ardan keluar lagi. Raisa mendengar suara panci dari dapur. Ia mengernyit. Om itu… ngapain?

Setengah jam kemudian, Ardan kembali membawa mangkuk bubur. Aromanya gurih.

“Om… masak?” Raisa menatapnya tak percaya.

“Bubur asin. Biar perut kamu enakan.”

Raisa mengambil sendok, mencicipi sedikit. Wajahnya berubah.

“Gimana?” tanya Ardan.

“…Asin banget, Om.”

Ardan terdiam sebentar, lalu menghela napas. “Ya ampun. Namanya juga bubur asin. Nggak usah diprotes.”

Raisa tertawa kecil meski tenggorokannya sakit. “Tapi… enak kok. Aku suka.”

Ardan tersenyum samar. “Kalau nggak suka, bilang aja. Biar aku coba lagi sampai pas.”

 

Raisa memandang Ardan lama. “Om… kenapa sih repot banget ngurusin aku?”

Ardan menatapnya balik. “Karena kamu butuh dijagain.”

“Om nggak capek?”

“Capek itu kalau nggak ada artinya. Kamu… artinya cukup besar buat Om.”

 

Raisa membeku. Kata-kata itu sederhana, tapi menghantam dadanya.

Ia buru-buru menunduk, menyendok bubur lagi untuk menutupi wajah yang memerah. “Om… jangan ngomong gitu.”

“Kenapa?”

“Karena… bikin aku bingung.”

 

Ardan menatapnya lama. “Kalau kamu bingung, biar waktu yang jawab. Jangan buru-buru.”

 

Malam itu, Raisa tidak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamarnya sambil memikirkan kata-kata Ardan.

Kenapa sih aku nggak bisa biasa aja?

Setiap perhatian Ardan… setiap kata-katanya… selalu membuat Raisa merasa hangat. Dilihat. Dipahami.

Apa ini… cinta? pikirnya.

Ia menutup wajah dengan selimut, jantungnya berdebar. “Om itu… kenapa harus sebaik ini sih?”

 

Di ruang tamu, Ardan duduk di sofa sambil membaca dokumen. Tapi sesekali ia menoleh ke arah pintu kamar Raisa, memastikan gadis itu tidur.

Dia menghela napas. “Raisa… jangan bikin Om lupa kalau kamu masih muda,” gumamnya pelan.

 

Malam itu mereka sama-sama terjaga, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Raisa di kamarnya, memikirkan perasaannya.

Ardan di ruang tamu, memikirkan batas yang tak boleh ia langgar.

Tapi satu hal yang mereka sama-sama tahu: keberadaan satu sama lain membuat luka yang mereka bawa terasa lebih ringan.

*

Hujan deras masih turun ketika Raisa membuka ponselnya. Notifikasi meledak.

Instagram, Twitter, bahkan grup WhatsApp kelas—semua membicarakan satu hal: Foto dirinya dengan Ardan di depan rumah sakit.

Raisa memandang layar dengan gemetar. Ada caption yang bikin dadanya sesak:

“Lagi-lagi si mahasiswi cantik bareng Om Ardan. Kali ini di rumah sakit. Drama apa lagi ini?”

Komentar lebih kejam:

“Setting-an biar dikasihani.”

“Beneran jadi simpenan, nih. Jijik.”

“Om Ardan kayak nggak punya harga diri, deh.”

Raisa menutup ponsel, melemparnya ke kasur. Nafasnya terengah.

 

Suara pintu terbuka. Ardan baru pulang dari rapat. Hari ini ia mengenakan setelan jas hitam yang pas di tubuh, dasinya longgar, tapi auranya tetap mendominasi ruangan.

Raisa berusaha menutupi wajah yang sembab. “Om pulang.”

Ardan menatapnya sebentar, langsung tahu ada yang salah. “Siapa yang bikin kamu nangis?”

“Nggak…”

“Raisa.” Suaranya berat, dingin. “Jawab.”

Raisa menggigit bibir. “Media… upload foto kita di rumah sakit. Komentar orang… parah.”

Ardan menghela napas, menaruh tas kerja. “Kasih lihat.”

Raisa menyerahkan ponsel.

Ardan membaca cepat. Wajahnya berubah. Bukan marah berapi-api, tapi tenang—dan itu justru lebih menakutkan.

 

“Siapa admin akun ini?” tanyanya.

“Mana aku tahu, Om? Itu akun gosip.”

Ardan menekan beberapa tombol di ponselnya, lalu menelepon seseorang. “Andre. Aku butuh semua informasi tentang akun @InsideCampusNews. Paling lambat dua jam. Termasuk IP, admin, dan afiliasi.”

Raisa menatapnya. “Om… ngapain?”

Ardan menoleh. “Mematikan sumber masalah.”

 

Beberapa jam kemudian, Raisa mendengar Ardan berbicara di ruang kerja melalui speakerphone.

“Pastikan semua postingan dihapus. Semua portal yang re-upload juga. Kirimkan somasi. Kalau perlu, gunakan pasal pencemaran nama baik. Saya nggak peduli siapa di belakangnya. Nama saya dan nama Raisa bersih malam ini juga.”

 

Raisa berdiri di pintu, ternganga. Ini Om Ardan yang sama?

Biasanya Ardan tenang, sederhana, dan hangat. Tapi sekarang—ia seperti orang lain. Suaranya dingin, tajam, setiap kata terdengar seperti perintah yang tak bisa dibantah.

 

Setelah menutup telepon, Ardan mendongak. “Kamu nguping?”

Raisa tersipu. “Enggak… cuma… Om itu… serem banget.”

Ardan menghela napas, melepas jasnya. “Raisa. Kamu tahu kenapa gosip gampang liar?”

“Kenapa?”

“Karena kamu diam. Karena aku diam. Dan mereka pikir mereka bisa injak kita sesuka hati.”

Raisa menggigit bibir. “Jadi… Om mau lawan?”

Ardan menatapnya tajam. “Ini bukan mau atau nggak mau. Ini harus. Aku nggak akan biarkan kamu dirobek-robek sama orang yang bahkan nggak tahu apa-apa.”

 

Kalimat itu membuat Raisa terdiam. Di satu sisi ia lega, di sisi lain… jantungnya berdebar.

 

Sore itu, berita berubah drastis.

Akun-akun gosip yang semula menyerangnya menghapus semua postingan tentang Raisa dan Ardan. Beberapa bahkan mengunggah permintaan maaf.

Di Twitter, trending baru muncul: #RespectArdan.

Salah satu media menulis:

“Pengusaha sukses Ardan mengancam akan menempuh jalur hukum bagi siapa pun yang menyebarkan fitnah tentang dirinya dan seorang mahasiswi yang disebut-sebut dekat dengannya.”

 

Raisa membaca semua itu dengan tak percaya. “Om… ini semua Om yang bikin?”

Ardan duduk di sofa, membuka kancing kemejanya, terlihat lelah. “Itu hak kita. Bukan jasa.”

Raisa menatapnya lama. “Om itu… siapa sih sebenernya? Kok kayak bisa ngatur semuanya?”

Ardan tersenyum tipis. “Aku cuma orang yang nggak suka diatur orang lain.”

 

Raisa duduk di sebelahnya. “Om… terima kasih.”

Ardan menoleh. “Kamu nggak perlu terima kasih. Kamu nggak salah, Rai. Kamu cuma korban orang-orang yang mau hiburan murah.”

Raisa menunduk. “Tapi… kalau aku nggak deket sama Om, semua ini nggak akan terjadi.”

Ardan menghela napas. “Kalau kamu deket sama orang lain pun, mereka tetap akan ngomong. Dunia memang kejam, Raisa. Tapi Om nggak akan biarkan mereka menang.”

 

Raisa memandang Ardan lama. Kenapa ya… setiap Om ngomong kayak gini, rasanya kayak dunia jadi nggak semenakutkan itu?

“Om.”

“Hmm?”

“Kalau… aku nggak punya siapa-siapa selain Om… Om marah nggak?”

Ardan menatapnya dalam. “Kalau itu benar… aku akan pastikan kamu nggak butuh siapa-siapa lagi.”

 

Raisa terdiam. Dadanya sesak. Kata-kata Ardan sederhana, tapi entah kenapa terasa terlalu dalam.

 

Malam itu, Raisa berbaring di kasur sambil menatap langit-langit.

Om Ardan itu… siapa di hidupku?

Ia menutup wajah dengan bantal, wajahnya panas. “Ya Tuhan… aku beneran jatuh hati sama dia, ya?”

 

Di ruang kerjanya, Ardan menatap foto tua di mejanya: foto dirinya bersama adiknya.

Ia bergumam pelan, “Kalau kamu di sini, kamu pasti bilang aku bodoh… karena biarin perasaan ini tumbuh.”

 

Di tengah semua badai gosip, satu hal jadi jelas: hubungan Raisa dan Ardan sudah bukan sekadar “perlindungan” lagi.

Ada sesuatu yang lebih.

Dan mereka berdua tahu—cepat atau lambat, itu harus diakui.

1
Nurminah
manusia terkadang menilai sesuatu berdasarkan sudut pandang mereka tanpa tabayun dulu sehina itu menikah beda usia tapi laki-laki yg memiliki sugarbaby dianggap wajar zina dinormalisasi pernikahan dianggap aib
Aliya Awina
siapa yg gak sok baru datang langsung lamaran,,,
Julia and'Marian: 🤭🤭🤭,,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!