Terlahir dengan sendok emas, layaknya putri raja, kehidupan mewah nan megah serta di hormati menjadikanku tumbuh dalam ketamakan. Nyatanya, roda kehidupan benar-benar berputar dan menggulingkan keluargaku yang semula konglomerat menjadi melarat.
Kedua orang tuaku meninggal, aku terbiasa hidup dalam kemewahan mulai terlilit hutang rentenir. Dalam keputusasaan, aku mencoba mengakhiri hidup. Toh hidup sudah tak bisa memberiku kemewahan lagi.
[Anda telah terpilih oleh Sistem Transmigrasi: Ini bukan hanya misi, dalam setiap langkah, Anda akan menemukan kesempatan untuk menebus dosamu serta meraih imbalan]
Aku bertransmigrasi ke dalam Novel terjemahan "Rahasia yang Terlupakan." Milik Mola-mola, tokoh ini akan mati di penggal suaminya sendiri. Aku tidak akan membiarkan alur cerita murahan ini berlanjut, aku harus mengubah alur ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Orang Ketiga
"Lady, mohon maafkan saya, saya tak bisa mengelak dari perintah Grand Duke," Hana tampak seperti kelinci ketakutan, suaranya bergetar menahan tangis. "Mohon maafkan saya, Lady."
Aku mendekatinya, menyentuh lengannya dengan lembut sehingga ia menoleh ke arahku. Matanya berkaca-kaca, merasa bersalah. "Itu memang sudah tugasmu, Hana. Kau melakukan apa yang memang seharusnya kau kerjakan." Sebuah senyum tipis, mungkin lebih ke seringai jahil, mengembang di pipiku.
"Lady.... " Ia terdiam sejenak, memilih kata-katanya. "Tidak marah?"
Aku menepuk pundaknya pelan, berekspresi menyebalkan seperti biasanya. Lengkap dengan dagu terangkat. "Justru aku yang memarahi Bos Caspian itu, kenapa dia sampai membuat Hanaku yang sudah tua ini ketakutan." Aku terkikik, berusaha mencairkan suasana dengan sedikit candaan. "Aku tak mengelak karena itulah kenyataannya. Sudahlah, Hana, aku ingin beristirahat. Selamat malam."
Hana tersenyum tipis, namun sorot matanya masih merasa bersalah. Ia membungkuk hormat, lalu keluar dan menutup pintu pelan. "Selamat malam, Lady."
Aku menjatuhkan diri ke kasur. Dari leher sampai pelipisku rasanya sangat kaku dan berat. Langit-langit diatas sana seolah memiliki pola puzzle yang membingungkan. Setiap garis dan retakkan seolah memiliki misteri yang harus di pecahkan.
Pertama kalinya dalam hidupku, aku memohon kepada seseorang, atas hidupku sendiri. Perasaan yang aku terima saat itu, entah mengapa tidak asing. Bahkan pertama kalinya, aku menangisi hidupku seperti pecundang idiot yang kehilangan arah. Di hari kematian orang tuaku saja, aku hanya menangis selama tiga hari, lalu aku bertekad untuk memulai kehidupan yang lebih baik lagi.
Tetapi hari ini Caspian memberikan perasaan baru, seperti kombinasi pukulan di perut dan pelukan yang hangat. Bukan hanya rasa sakit karena di tuduh, tetapi perasaan dimana semuanya campur aduk antara kepercayaan yang baru terbangun dan perasaan bersalah yang tidak aku mengerti.
Aku mengingat detail ceritanya dengan jelas, aku membawa novel itu selama tiga hari, membacanya setiap malam hingga mataku lelah. Dalam kisahnya, Winola yang asli tidak berdaya karena bukti-bukti yang di berikan oleh Marquis. Membuat Caspian sangat marah dan mengadilinya di hadapan ratusan rakyatnya. Kejadian itu terjadi setelah Raja Caden di gulingkan oleh Caspian yang sakit hati karena Winola yang di tuduh melakukan persengkongkolan dengan penyihir.
Bukankah sekarang semua alurnya bercampur dan jadi tak karu-karuan? Semua waktunya tak berjalan sesuai dengan alur novel dan berjalan sangat cepat. Tetapi, tak banyak perubahan yang terjadi setelah aku menghindari hal-hal yang buruk. Ini seperti bug di game yang terus berulang-ulang meskipun aku sudah mencoba cheat.
Aku mengingat saat menulis kisahku dalam bahasa rusia. "Apa Caspian mengira itu mantra jahat?" Gigi ku bergemeletuk kesal. "Sialan, Bos bodoh itu tak pernah mempercayai orang asing, kan! Dia memang patut dihajar!"
Perasaanku berubah-ubah. Aku sangat marah dan kesal sampai emosiku menjadi turun dan menangis di hadapan Caspian idiot itu. Dimana aku harus menaruh wajahku ini? Sialan!
Terlalu lelah memikirkan semua itu, pada akhirnya aku tertidur sampai siang hari.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Suara Meri mengetuk pintu dan memanggil namaku berulang kali membuatku mau tak mau bangun dari kasur dan membuka pintu.
"Ada apa Mer—" Ucapanku mengambang di udara, tak sampai di tenggorokan. Aku melihat sosok cantik berpakaian kasual dan memakai topi bonet yang fashionable, tersenyum lebar kepadaku. "Igrid?" Tubuhku refleks mendekat dan memeluknya sangat erat. Bau manis dari parfumnya membuatku semakin kuat melingkarkan tanganku di pinggangnya.
Telinga Igrid merah, ia menepuk-nepuk pungungku, sedikit sesak. "Bernapas! Uhuk."
"Oh, maafkan aku." Aku tersenyum bodoh, cengengesan. Karena terlalu senang dengan kehadiran sahabatku membuatnya tercekik di hari pertamanya datang. "Oh, apa yang engkau lakukan disini?"
Alis Igrid terangkat bingung. "Apa Count Julian tidak memberitahu mu? Aku mengirimkan surat karena diundang ke kelahiran putra Baginda Raja Caden, jadi aku ingin pergi bersamamu."
Lidahku menempel di dinding mulut, mencoba memikirkan tumpukan surat yang tergeletak tak berdaya di bawah laci mejaku, karena aku hanya peduli pada surat dari Kerajaan Albastar. Aku menepis pikiranku, "Sudahlah, mungkin Count Julian lupa."
Aku mengamit tangan Igrid, bersemangat mengajaknya jalan-jalan, memperkenalkan rumah Grand Duke yang luar biasa ini. Tetapi ekspresi Igrid seperti tertahan sesuatu. "Winola," Bisiknya, tatapannya kebawah. "Menurutku, setidaknya kau harus cuci muka dulu dan berganti kaos kaki dulu."
Terlalu gembira dengan kehadirannya, aku sampai lupa kalau sejak kemarin malam aku belum ganti baju.
Setelah selesai mandi dan merias diri dengan cepat, aku kembali mengamit tangan Igrid dan mau memamerkan rumah Grand Duke.
Tetapi, dua pelayanku, Meri dan Hana mengikuti, pun ada dua pengawal berwajah sangar yang juga mengekoriku. Aku memicing, kepalaku miring karena penasaran akan sesuatu. "Siapa kalian? Aku tidak butuh pengawal." Setelah pengusiranku yang halus tidak berhasil, aku kembali memerintah mereka dengan nada jengkel. "Kalian ini tuli? Pergilah, aku tidak butuh kalian disini."
"Mohon maaf Lady, Grand Duke memerintahkan kami untuk menemani kemanapun Lady pergi." Jawab seorang pengawal, suaranya datar tanpa ekspresi.
Caspian bodoh itu... Aku benar-benar membencinya sekarang!
Igrid mendekatkan bibirnya ke telingaku, berbisik pelan. "Apa terjadi sesuatu?"
Aku mengangkat bahu, acuh. "Tidak ada, hanya saja Caspian seperti di tempeli hantu, kemarin. Makannya jadi parnoan, mungkin dia butuh di jampi."
Igrid sempat terdiam beberapa saat, tetapi aku segera menggeretnya untuk pergi ke Pavilium belakang. Tempat dimana Julian memelihara merpati. Suasana siang hari di Solar Terras tak sepanas di Kota Aspen, seolah tengah musim gugur, suasananya sangat berangin, damai, cocok untuk bergosip.
Igrid duduk di hadapanku, bibirnya mengerucut seakan tengah marah. "Kenapa kau tak memberitahu ku jika kau kekasihnya Grand Duke?"
Aku menatap Igrid dengan dahi berkerut ke dalam. "Bagaimana kau tau?" Seingatku, Caspian mengatakan ini masih menjadi rahasia di dalam Istana.
"Oh," Igrid berguman, tubuhnya menabrak punggung kursi dan terlihat canggung. "Itu... Count Julian membisikkan ku, ya Count Julian adalah sepupuku, jadi dia memberitahuku." ada sedikit keraguan dalam nada bicarakan. "Jadi, kenapa kau merahasiakannya dariku? Bukankah kita berteman?"
Belakang leherku mendadak gatal, aku terdiam sejenak memikirkan alasan. "Karena aku berpikir untuk merahasiakan ini dulu, rasanya terlalu cepat jika aku yang memberitahu duluan."
Igrid tidak bertanya lagi, dia tipe wanita yang gampang mengambil sudut pandang orang lain. Yeah, karena layar belakangnya yang seorang penulis, mungkin karena itu.
"Lebih dari itu, Igrid. Aku penasaran akan sesuatu." Mata kami beradu, nadaku sedikit serius ketika ingin mengatakannya. "Kau bilang jika kita bisa Menghindari hal-hal buruk dan mencapai akhir yang baik. Apakah menurutmu, itu juga akan bekerja pada karakter sampingan yang berakhir tragis?"
Alisnya bertaut binggung, ia mencondongkan tubuhnya kedepan, menatapku serius seperti detektif yang sedang memecahkan kasus. "Menurutku, tidak. Jika kita tidak bertemu hal buruk, kenapa akhirnya tetap tragis. Bukankah itu sangat jahat?" Jawabnya.
"Tetapi, bagaimana jika kita sudah menghindari hal buruk, tetapi jalan ceritanya tak banyak yang berubah, atau bahkan tak berubah sama sekali?" Aku menyerbunya dengan pertanyaan.
"Dengar," Katanya, suaranya merendah namun penuh penekanan. Matanya menyipit, berkonsentrasi. "Jika tak banyak perubahan atau bahkan tak berubah sama sekali, bukankah ada orang ketiga? Mungkin orang itu, berbeda prinsip denganmu, Winola."
Otakku terasa meleleh, tak bisa berpikir. "Bisa kau jelaskan apa maksudnya?"
"Winola, jika kau menginginkan ending yang bahagia, kemungkinan orang ketiga itu menginginkan yang sebaliknya." Igrid menjelaskan.
semangat 😊
mampir juga ya ke ceritaku..
kasih saran juga..makasih