NovelToon NovelToon
Jiwa Maling Anak Haram

Jiwa Maling Anak Haram

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Reinkarnasi / Balas Dendam
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara

ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 14 REZA MENYEDIHKAN SEKALI SIH

"Ayah..." Suara Reza pecah, melengking pilu, membelah ketegangan yang menyelimuti ruangan. "Bunuh aja aku, Yah. Aku udah enggak sanggup hidup."

Napasnya tersengal, seperti orang kehabisan oksigen. Matanya menatap kosong, tanpa kehidupan. Bahunya gemetar hebat, isakannya terdengar memilukan, mengiringi tangisan yang semakin menjadi.

Deg.

Setiap kali Reza berkata ingin dibunuh, rasanya ada yang ditarik paksa dari dada Galih. Sakit sekali. Bagaimanapun, Reza adalah darah dagingnya. Anaknya sendiri.

"Aku enggak akan membela diri..." suara Reza bergetar, namun penuh ketegaran yang menyakitkan. "Karena meski enggak ada barang bukti, kalian tetap akan sebut aku pencuri, kan?"

Reza terdiam sejenak, mengatur napasnya yang seolah-olah berat, menggambarkan hidupnya adalah penderitaan yang tak kunjung reda.

"Aku memang anak haram. Aku anak sial. Sekarang aku dituduh mencuri. Kemarin aku dijebak Kak Dimas dan Kak Vanaya."

Seketika, Dimas maju selangkah, wajahnya memerah padam, siap meledak. "Dasar bajingan!" bentaknya, suaranya menggelegar. "Udah nyuri, sekarang nuduh gue dan Vanaya?! Ngejebak lu?!"

Tangan Dimas hampir terangkat, ingin sekali menghantam wajah Reza yang pura-pura teraniaya itu. Tapi Galih menahan. Ia mengangkat tangannya, menghentikan Dimas. Ada hal yang jauh lebih penting daripada menyiksa Reza saat ini.

Sisa saldo di rekeningnya.

M-banking-nya sudah tidak aktif, itu artinya ia tak bisa mengakses uangnya. Galih menggertakkan gigi, frustrasi. Untuk aktivasi ulang, ia butuh kartu fisiknya. BLACK CARD itu harus segera ditemukan—sekarang juga. Sebelum semuanya benar-benar hilang. Sebelum saldo di rekeningnya tinggal angka kosong

Reza mengangkat wajahnya, masih berlinang air mata. Suaranya serak, namun nadanya kini penuh tekanan emosional, sebuah jebakan retoris yang halus.

"Walau aku kasih alasan paling masuk akal pun... kalian tetap enggak akan percaya," ucapnya, nadanya menyiratkan keputusasaan yang mendalam. Ia menunjuk tubuhnya sendiri. Luka-luka dari kejadian semalam masih tampak jelas di kulitnya.

"Lihat aku, Yah. Untuk jalan aja susah. Kepalaku masih pening. Tadi buka pintu kamar pun sampai jatuh dua kali."

Reza terdiam sejenak. Air mata masih membasahi wajahnya, namun kini ia mengangkat kepala. Matanya menatap langsung ke mata Galih—tanpa gentar, tapi juga tanpa harapan, seolah menerima takdir pahitnya.

"Gimana mungkin aku bisa naik ke lantai dua dan masuk kamar Ayah?"

Suasana mendadak hening. Galih terdiam. Kata-kata Reza... memang masuk akal.

Beberapa hari lalu, Reza disiksa habis-habisan. Hampir mati. Dijatuhkan ke jurang bersama mobilnya—oleh Dimas, Vanaya, dan Riko. Disekap semalaman di toilet. Galih menyaksikannya sendiri. Melihat Reza kerasukan, membenturkan kepala sendiri ke dinding sampai pingsan. Dokter bahkan berkata kemarin, bahwa Reza mengalami gegar otak parah.

Ucapan Reza memang masuk akal. Logika berkata demikian. Tapi membela Reza... berarti menyakiti anak-anaknya yang lain—Dimas dan Vanaya. Dan yang lebih penting dari itu, saldo di rekeningnya harus segera diselamatkan. Itu prioritas utama Galih sekarang.

Maka dengan penuh amarah yang tertahan, Galih berkata, nadanya tajam, dingin, seperti seorang ayah yang telah kehilangan semua rasa. "Reza, cepat tunjukkan di mana BLACK CARD-ku! Aku enggak akan menghukummu sekarang karena kamu masih sakit. Tapi nanti, kalau kamu sudah sehat, baru kita akan buat perhitungan," ucap Galih, nadanya dingin, mengancam, tanpa ampun.

Reza menunduk. Wajahnya pasrah, sebuah topeng sempurna. Tapi pikirannya bergejolak, api kemarahan membara di dalam dirinya. "Dasar anjing tua licik. Gue diselamatin cuma buat disiksa lagi. Bener-bener kejam," batinnya, merencanakan pembalasan yang lebih kejam lagi..

Reza tetap diam. Karena diam lebih aman daripada jujur di rumah ini. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab pelan, suaranya hampir tak terdengar namun penuh keyakinan palsu. "Ayah, aku bahkan enggak tahu bentuk BLACK CARD Ayah kayak apa."

Tatapannya tulus, suaranya datar, sebuah kombinasi mematikan untuk aktingnya. "Kalau Ayah enggak percaya, silakan geledah kamar aku. Siapa tahu BLACK CARD itu jatuh... Atau dicopet orang lain." Reza menatap Galih. Pandangan matanya menyedihkan—seolah sudah siap disembelih, sebuah korban pasrah yang menunggu nasib.

Dari kejauhan, Vanaya hanya tersenyum kecil. "Dasar bodoh," batinnya penuh kemenangan. "Kamu sudah masuk jebakanku. Sebentar lagi, kamu akan disiksa oleh Ayah sendiri. Dan yang paling penting... uang jajanku tetap aman. Tidak akan dipotong. Rencananya berjalan mulus. Terlalu mulus."

"Dasar bodoh. Kenapa dia malah diam?" batin Reza, senyum tipis tersungging di bibirnya yang masih basah air mata. “Apakah anjing tua ini terpesona dengan aktingku?”

Untuk mempercepat dramanya yang kini kian memanas, Reza berbicara lagi. Suaranya penuh kepiluan yang sengaja diperindah, memanipulasi emosi Galih.

"Ayah harus cepat cari," ucapnya lirih. "Kalau telat, bisa-bisa uang Ayah raib semua."

Ia menatap Galih dengan mata berkaca-kaca, menambah efek dramatis. Lalu, dengan suara yang lebih rendah, ia menambahkan kalimat puncaknya:

"Kalau BLACK CARD itu ada di kamarku… beri aku hukuman yang berat, Yah. Sampai aku sekarat. Dan aku janji, aku enggak akan mati. Karena… kata Om Leon, kalau aku mati, aku cuma akan menyusahkan Ayah.".

Untuk melanjutkan dramanya, demi mengundang simpati dari Galih—dan juga mengulur waktu—Reza berkata pelan, penuh luka yang sengaja dipoles.

"Dari kemarin... setelah aku disekap di toilet, aku cuma ingin mati. Segera." Suaranya pecah, sebuah isakan kecil keluar dari bibirnya. "Tapi aku ingin mati dengan tenang. Aku enggak mau mati... dan malah bikin Ayah repot dengan kematianku," ucap Reza, seolah menanggung beban hidup dan mati.

Ia menghela napas pelan, seolah benar-benar sudah menyerah pada hidup. Sebuah akting yang nyaris sempurna. "Sekarang... geledah saja kamarku, Yah."

"Cepat geledah kamarnya!" perintah Galih tegas, suaranya sedikit bergetar. Tapi tatapannya goyah. Melihat wajah Reza yang begitu putus asa, melihat anaknya beberapa kali memohon untuk dibunuh… ada sesuatu di dalam dirinya yang tak tahan. Sedikit rasa bersalah menyelinap masuk, perlahan, membuat amarahnya kehilangan taji.

Semua orang mulai menggeledah kamar Reza. Kasur tipis dan lepek diangkat, sarang laba-laba beterbangan. Tas usang Reza dibongkar paksa, isinya dikeluarkan dan dilempar sembarangan ke lantai yang kotor. Setiap sudut kamar digeledah, setiap lipatan kain dibongkar.

Namun, BLACK CARD itu tetap tidak ditemukan. Kamar sudah berantakan. Dan hasilnya: tetap nihil..

Lalu Kismin mendekati lemari usang itu. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Dalam hati ia berkata, "Saatnya jadi pahlawan." Perlahan, dengan tangan gemetar, dia mengangkat tumpukan baju Reza yang tersusun rapi—persis seperti saat ia menaruhnya.

Napasnya seolah berhenti sejenak. Dunia terasa akan runtuh. BLACK CARD itu... tidak ada. Padahal ia sendiri yang menaruhnya di sana. Bahkan sempat memfotonya sebagai bukti yang dia kirimkan ke Vanaya!

Dadanya berdegup kencang, iramanya tak beraturan. Panik mulai menyusup perlahan, dingin menjalari tubuhnya. Tapi wajahnya tetap tenang, mati-matian menyembunyikan badai di dalam dirinya. Ia harus. Harus menyembunyikan kepanikan itu sebaik mungkin.

"REZA!" bentak Galih, suaranya meledak. Wajahnya merah padam, napasnya berat, tangannya mengepal erat, siap melayangkan pukulan.

"Di mana BLACK CARD-ku?!"

Reza terisak, matanya membesar, dipenuhi ketakutan yang dibuat-buat. Suaranya gemetar saat menjawab, "Aku... aku enggak tahu, Yah..."

Galih makin murka. "Kamu buang ke mana?! Di sungai? Di selokan?! Jawab!!"

Reza menggigit bibirnya, menunduk sejenak. Lalu berkata—pelan, serak, penuh luka yang dipoles sempurna. "Ayah... semalaman aku di kamar. Jalan aja susah. Dokter bilang aku mengalami gegar otak, Yah. Harusnya aku dirawat, tapi aku menolaknya. Karena aku enggak mau nyusahin Ayah..."

Ia menatap Galih, mata lelahnya nyaris pecah, suaranya sarat dengan keputusasaan. "Gimana mungkin aku bisa ambil BLACK CARD Ayah... terus nyembunyiin lagi?"

1
Aryanti endah
Luar biasa
SOPYAN KAMALGrab
pernah tidak kalian bersemangat bukan karena ingin di akui... tapi karena ingin mengahiri
adelina rossa
lanjut kak semangat
adelina rossa
lanjut kak
Nandi Ni
selera bacaan itu relatif,ini cerita yg menarik bagiku
SOPYAN KAMALGrab
jangn lupa kritik...tapi kasih bintang 5...kita saling membantu kalau tidak suka langsung komen pedas tapi tetap kasih bintang 5
adelina rossa
hadir kak...seru nih
FLA
yeah balas kan apa yg udah mereka lakukan
FLA
wah cerita baru
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!