Zahira terpaksa menerima permintaan pernikahan yang diadakan oleh majikannya. Karena calon mempelai wanitanya kabur di saat pesta digelar, sehingga Zahira harus menggantikan posisinya.
Setelah resepsi, Neil menyerahkan surat perjanjian yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi suami istri selama 100 hari.
Selama itu, Zahira harus berpikir bagaimana caranya agar Neil jatuh cinta padanya, karena dia mengetahui rencana jahat mantan kekasih Neil untuk mendekati Neil.
Zahira melakukan berbagai cara untuk membuat Neil jatuh cinta, tetapi tampaknya semua usahanya berakhir sia-sia.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Ikuti terus cerita "100 Hari Mengejar Cinta Suami" tentang Zahira dan Neil, putra kedua dari Melinda dan Axel Johnson.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.25
Dengan bantuan Theo dan David, Neil memulai penyelidikan, dimulai dari apartemen Livia. Neil menunggu agak jauh dari lokasi, namun masih bisa menjangkau pintu keluar dengan pandangan mata.
"Lo harus bayar waktu gue yang kebuang sia-sia, Neil," celetuk David. Ia rela meninggalkan pekerjaannya demi sepupu tersayang—yang tengah tersesat dan berusaha dikembalikan ke jalan yang benar.
"Benar kata David, lo juga harus bayar gue, Neil," sahut Theo dengan senyum tengil, membuat Neil memutar bola mata malas. Mereka semua sudah kaya, tapi entah kenapa soal uang jadi begitu perhitungan.
"Ya Tuhan, kenapa saudara gue pada gak waras," keluh Neil, langsung mendapat pukulan dari Theo dan David.
"Sialan lo," umpat keduanya bersamaan.
Sudah hampir tiga puluh menit mereka menunggu di dalam mobil. Theo dan David saling pandang, tersenyum, lalu kembali fokus ke arah pintu keluar apartemen.
Tak lama, Livia terlihat menaiki mobil hitam. Neil masih mencoba berpikir positif. Ia mengira Livia akan pergi memeriksakan kandungannya. Dalam pikirannya, itu hanya taksi online.
"Ikuti, bodoh! Ngapain malah melamun!" kesal David. "Biar gue aja yang nyetir. Gue masih sayang nyawa dan yang paling penting... gue belum nikah!"
Seketika tawa Theo pecah mendengar ucapan David. Ia juga masih ingin hidup, menikah, dan punya anak. Mobil David mengikuti mobil Livia dari kejauhan. Untung mereka memakai mobil yang tidak dikenali Livia.
Neil menghela napas lega saat mobil Livia memasuki area parkir mal.
"Mungkin Livia mau beli perlengkapan bayi," gumam Neil, cukup keras untuk didengar Theo dan David.
"Kita masuk atau tunggu di sini?" tanya Theo.
"Masuk," sahut Neil cepat. "Lo berdua juga harus ikut."
"Iya, iya. Santai aja. Gue bakal ada di belakang lo," celetuk David.
Akhirnya mereka turun bersama, memakai masker dan topi agar tidak dikenali. Mereka mengikuti Livia dari jarak aman. Livia naik ke lantai tiga, tempat usaha Miller berada. Miller membuka tempat billiard di mal tersebut. Tempat itu masih tutup dan baru buka pukul sebelas siang.
"Ngapain dia ke tempat billiard?" tanya Theo.
"Main lah, apalagi," jawab David asal, membuat Neil menatap tajam. Entah kenapa, kata "main" dalam pikirannya terasa berkonotasi lain.
"Astaga, Neil... singkirkan pikiran bodohmu," ucapnya dalam hati.
"Neil, lo mau ke mana?" tanya David, melihat Neil berjalan begitu saja. Tapi Neil tak menjawab.
"Dia selalu sesuka hati," kesal Theo.
"Ayo ke sana," ajak David.
"Maaf, Tuan. Tempat ini masih tutup," kata penjaga.
"Saya mau menyusul teman saya," sahut Neil.
"Siapa?"
"Livia. Dia teman saya."
Penjaga menatap Theo dan David sejenak, lalu mempersilakan mereka masuk. Ruangan masih temaram. Neil naik ke lantai dua, tempat Livia berada. Benar saja—ia mendengar suara perempuan dan laki-laki.
Di dalam ruangan Miller...
"Kenapa ke sini? Dia bangkrut ya?" ejek Miller, membuat Livia salah tingkah. Dulu Miller sudah memintanya menjauh dari Neil. Tapi jika untuk membiayai keluarga Livia, Miller mengaku masih sanggup.
"Aku... cuma..."
"Cuma apa? Mau minta uang lagi, heh?"
Miller menatap Livia dari atas ke bawah. Jika bukan karena anak di kandungannya, mungkin Livia sudah disiksa di ruangan belakang—khusus untuk para pengkhianat.
"Uang itu juga buat anakmu! Memangnya buat apa lagi?!" ketus Livia. Ia menyesal, andai saja bisa mengulang waktu ke malam ia pergi ke klub sebelum hari pernikahan.
Miller tersenyum miring. Kondisi keuangannya memang tidak baik, tapi masih cukup untuk menggaji pegawai dan kebutuhan harian.
Ia mengeluarkan lembaran uang merah dan melemparkannya ke arah Livia.
"Pergi," usirnya, sudah malas melihat Livia.
Livia tersenyum puas melihat uang di tangannya. Tanpa pamit, ia pergi. Neil yang bersembunyi, memejamkan mata. Serendah itukah perempuan yang selama ini ia bela? Yang ia perjuangkan hingga rela menyakiti ibunya?
Neil ikut keluar, tak peduli ke mana Livia pergi.
"Gimana? Udah dapet hasilnya?" tanya David. Tapi bagi Neil, itu terdengar seperti ejekan. Ia terlalu lama menutup mata.
Neil menghela napas panjang. Ia tak bisa berkata-kata. Malu. Hancur. Dan kecewa.
"Ayo, kita pergi," putusnya.
David dan Theo merangkulnya seperti saat mereka kecil dulu. Momen lama yang terulang dengan konteks berbeda.
"Tenang, gue bakal bujuk Om Axel buat terima lo lagi," celetuk Theo.
"Daddy gak segampang itu. Mommy... walau keras, dia selalu maafin gue," ujar Neil, mengingat sosok Melinda yang penuh kasih tapi tegas.
"Kenapa lo berhenti?" tanya David.
"Gue juga merasa bersalah ke Zahira. Tentang surat perjanjian itu..."
"Surat perjanjian? Maksud lo?" tanya Theo penasaran.
"Lupakan." Neil melanjutkan langkahnya.
Karena sibuk dan terlalu fokus pada Livia, Neil tak sadar sudah berapa lama menikah. Mungkin sudah lebih dari 100 hari. Memikirkan itu membuatnya membuang napas kasar. Ia menatap kosong keluar jendela. Theo dan David saling pandang, mencoba memahami perasaannya.
---
Sementara itu...
Ethan dan Zahira hampir tiba di Indonesia. Zahira menatap keluar jendela. Ternyata sudah lama ia meninggalkan tanah kelahirannya. Dan kini, ia hanya punya kurang dari 30 hari untuk mengejar cintanya—Neil.
Namun, ia mulai berpikir untuk menyerah. Ia ingin meminta bantuan Ethan mengurus perceraian mereka. Tapi sebelum itu, ia akan jujur pada Ethan tentang siapa dirinya yang sebenarnya.
"Sebentar lagi, kita akan sampai," kata Ethan. Zahira hanya mengangguk. Ethan sangat perhatian sejak awal—menanyakan kondisi Zahira dan bayinya, bahkan saat dalam pesawat.
"Kalau ada yang sakit, bilang, oke?"
Itu kalimat yang Ethan ulang berkali-kali, selain pertanyaan: Mau makan apa?
Jasmine tertidur di samping mereka. Tak lama kemudian, pesawat mendarat dengan mulus. Zahira dan Jasmine memutuskan menunggu di kafe dekat bandara.
"Tuan, dia ada di sekitar bandara."
"Tahan dia. Atau ikuti ke mana pun dia pergi."
"Kalau kita paksa bawa dia pulang sekarang, dia pasti akan lari dan bersembunyi lagi."
"Baik, Tuan."
Bersambung..
Maaf typo
Semoga kalian suka ☺️
ai...mending batalin aza sebelum terlambat....