Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .
Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.
Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.
Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab - 14 Aku Masih Bernapas
Aira bukan tidak pernah mencoba pergi. Ia pernah, dan ia gagal.
Itu pernah terjadi . Saat Gibran sedang ke luar kota menghadiri urusan pekerjaan, Aira melihat celah. Hanya beberapa jam, pikirnya.
Hanya butuh keberanian sesaat untuk menjejakkan kaki keluar dari rumah itu.
Dengan napas tercekat, tangan gemetar, dan tas kecil yang hanya berisi dompet dan ponsel, Aira berjalan cepat di gang-gang sempit, menyusuri perkampungan yang terasa asing.
Ia tidak tahu akan pergi ke mana, tapi yang penting: pergi. Menjauh dari kendali. Menjauh dari Gibran.
Hingga malam tiba, Aira menemukan sebuah rumah tua kosong di ujung jalan . Dindingnya besar dan runtuh di beberapa sisi. Di balik salah satu tembok yang sudah retak, ia duduk menyembunyikan diri. Lantai tanah itu dingin, tapi jauh lebih hangat dari rumah tempat ia tinggal bersama Gibran.
Ia memeluk lututnya, menatap langit gelap melalui celah tembok. “Ini tempatku sekarang,” bisiknya. Ia pikir, Gibran tak akan bisa menemukannya.
Tapi ia salah.
Kurang dari dua jam setelah langit benar-benar gelap, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Aira menahan napas. Lalu suara itu terdengar lebih jelas. Suara itu... tidak asing.
“Aira! Aira, keluar! Aku tahu kamu di sini!”
Suara Gibran. Napasnya berat. Marah. Panik. Dan... menyeramkan.
Aira membeku. Bagaimana Gibran bisa tahu?
Ia menunduk, berharap Gibran hanya mengira. Tapi langkah kaki itu semakin dekat, dan akhirnya, wajah Gibran muncul dari balik tembok itu. Matanya menatap tajam—antara lega dan mengamuk.
“Aku udah bilang, jangan pernah kabur dariku,” ucapnya dingin.
Aira mencoba melawan. “Aku cuma pengen bebas, Gibran…”
Tapi sebelum ia selesai bicara, tangan Gibran sudah menarik paksa lengannya. “Bebas? Kamu pikir dunia di luar sini lebih baik dari aku? Hah? Kamu kira mereka peduli sama kamu?”
Ia dibawa pulang seperti penjahat. Sejak malam itu, Gibran makin ketat. Pintu dikunci dari luar. Ponsel sempat disita. Ia bahkan pernah tidak diizinkan keluar kamar selama dua hari.
Sejak saat itu, Aira makin diam. Tapi dalam diamnya, ia tidak mati. Ia hanya menyusun ulang kekuatan. Ia tahu sekarang bahwa kabur begitu saja tidak akan berhasil. Ia harus punya rencana. Ia harus punya tempat yang pasti, uang, dan... dukungan.
Dan itu alasan kenapa sekarang ia menulis. Mencari uang diam-diam. Mencari komunitas. Karena ia tahu, kesempatan berikutnya tak boleh gagal lagi.
Aira memejamkan mata malam itu, dengan satu kalimat yang terngiang di kepalanya:
"Aku bukan pengecut karena pernah gagal. Aku tetap berani karena masih ingin mencoba lagi."
Sejak malam pelarian itu, hidup Aira berubah drastis.
Gibran tidak lagi hanya posesif—dia menjadi seperti penjaga penjara yang mengawasi setiap detik kehidupan Aira.
Pintu depan sekarang selalu dikunci dari luar, dan kuncinya selalu ada di saku Gibran.
Bahkan jendela kamar pun mulai ia kunci dengan teralis tambahan.
Setiap kali Aira meminta keluar rumah—entah untuk beli sabun, ke warung, atau sekadar ingin melihat matahari—Gibran akan selalu menyuruhnya menunggu atau ikut. Aira tidak lagi punya ruang untuk bernapas sendiri.
"Kalau kamu butuh apa-apa, bilang sama aku. Kamu nggak perlu keluar. Di luar itu kotor, penuh orang jahat," kata Gibran suatu hari, dengan nada yang terdengar manis di luar, tapi mengandung racun di dalam.
Gibran bahkan mulai memantau isi ponsel Aira.
Setiap malam, ia minta ponsel itu diserahkan. Kadang dicek, kadang hanya ditaruh di meja sebelahnya. Tapi Aira tidak pernah tahu, kapan ia akan diperiksa, kapan tidak.
Sejak saat itu, Aira tidak lagi bisa sembarangan menulis di aplikasi. Ia mulai menyembunyikan draf-draf tulisannya di folder dengan nama acak, pura-pura seperti catatan belanja atau dokumen kosong.
Ia juga menyimpan beberapa tulisan penting di email rahasianya yang ia buat diam-diam menggunakan jaringan Wi-Fi tetangga.
Namun meski semua geraknya terbatas, Aira tidak menyerah.
Setiap pagi, ia tetap bangun lebih awal. Merapikan rumah, memasak sarapan, dan berpura-pura menjadi perempuan sempurna versi Gibran.
Tapi di dalam pikirannya, Aira sedang menghitung. Mengukur waktu. Menganalisa celah. Mengingat-ingat siapa saja orang yang mungkin masih bisa ia hubungi, diam-diam.
“Sekarang bukan waktunya gegabah lagi,” pikirnya. “Aku harus bertahan, tapi sambil menyusun pelarian yang tak bisa dihentikan.”
Kadang ia menatap cermin kamar mandi dan nyaris tidak mengenali bayangannya sendiri. Mata sayu, wajah pucat, tubuh yang semakin kurus. Tapi ada satu hal yang tidak hilang: tekad.
Gibran bisa mengunci tubuh Aira, tapi tidak pikirannya. Tidak imajinasinya. Tidak keinginannya untuk hidup merdeka.
Dan malam itu, saat Gibran tertidur dengan dengkuran berat di ranjang, Aira mengambil ponselnya. Ia menulis satu kalimat pendek, hanya satu, lalu cepat-cepat menyimpannya ke folder tersembunyi:
“Kali ini aku tidak akan gagal.”
Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Aira memasak dengan tangan gemetar, menyeka meja berkali-kali, padahal sudah bersih. Ia tahu Gibran akan pulang sore ini—dan ia tahu, Gibran belum selesai dengannya.
Sejak kabur kemarin malam dan kembali "dibawa paksa", Aira tahu siklus kekerasan akan memuncak. Dan benar saja.
Pintu terbuka dengan kasar. Langkah kaki Gibran terdengar berat, penuh amarah yang tertahan. Aira refleks menegakkan tubuh, mencoba tersenyum seperti biasanya. Tapi Gibran hanya menatapnya dingin.
Kamu pikir kamu bisa kabur dari aku seenaknya, hah?” suaranya tajam, menusuk seperti belati yang diseret perlahan.
Aira tidak menjawab. Ia tahu, apapun yang ia katakan, akan salah.
Detik berikutnya, suara bentakan meledak.
Piring yang baru saja dicuci Aira terhempas ke lantai karena dorongan kasar Gibran.
Lalu tangan itu—menghantam wajahnya dengan keras.
Aira terlempar ke lantai.
Belum sempat bangkit, kursi kayu yang biasa mereka duduki saat makan siang, kini melayang ke arah tubuhnya. Sudut kayunya menghantam perutnya hingga Aira menggeliat kesakitan.
“BERANI-BERANINYA KAMU KABUR! AKU ITU SUAMIMU!! KAMU ITU MILIKKU!!” teriak Gibran membabi buta.
Lalu kipas angin di sudut ruangan disambarnya, dilempar ke arah Aira.
Besi penyangganya menghantam kaki Aira hingga memar.
Ia menjerit pelan—bukan karena sakit saja, tapi karena rasa takut yang menumpuk dari hari ke hari kini berubah jadi teror nyata yang nyaris mematikan.
Gibran tidak berhenti. Ia menarik kabel roll panjang dari bawah meja, dan dalam hitungan detik, tubuh Aira diikat seperti tahanan.
Kabel itu melingkari tangan, kaki, bahkan dada Aira yang sudah terengah-engah.
“BIAR KAMU NGGAK LARI LAGI!” katanya, wajah merah, napas kasar.
Dan yang paling mengerikan—Gibran mendekatkan wajahnya ke Aira, lalu tangannya menutup leher Aira.
Dicengkeram. Ditekan. Dilepaskan sebentar. Lalu dicekik lagi.
Dunia mulai berputar. Pandangan Aira mengabur. Suara gemuruh di telinganya makin keras.
Ia pikir... ini akhir dari segalanya. Tapi sesuatu dalam dirinya menolak mati.
Dalam kekacauan itu, otaknya masih sempat berbisik:
"Laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu minazh zhaalimiin.. Aku belum menyerah. Aku belum selesai. Aku harus hidup. Untuk anakku. Untuk diriku sendiri."
Gibran akhirnya melepaskan cekikannya. Aira jatuh lemas ke lantai, masih terikat kabel. Tubuhnya gemetar, nyaris tak mampu bergerak.
Setelah puas melampiaskan kemarahannya, Gibran duduk di kursi dan menyalakan rokok. Asapnya memenuhi ruangan, menambah sesak.
“Kamu yang maksa aku jadi begini. Kalau kamu nurut, semua ini nggak akan terjadi, Ra,” katanya pelan, seolah semua itu bisa dibenarkan.
Aira tidak menjawab. Di dalam pikirannya, hanya satu kalimat yang menggaung:
"Aku masih bernapas. Dan selagi aku masih bernapas... aku belum kalah.”