Getot Darjo

Kembali ke dalam perut bumi, gua yang kini menjadi saksi bisu perjuangan seorang Pemuda. Getot terus mengasah kelincahannya, melompat dan meniti batang-batang bambu yang terpasang melintang di berbagai ketinggian.

Setiap gerakan kecil diperhatikannya, setiap keseimbangan dijaganya dengan saksama. Ia juga melatih ketajaman panca indranya, memejamkan mata dan berusaha mengenali setiap suara, setiap perubahan suhu, setiap hembusan angin yang menerpa kulitnya.

Selama Getot berkutat dengan latihannya, Udhet, si ulat raksasa, perlahan pulih. Lidahnya yang terluka kini telah sembuh sempurna. Suara gerungan rendah tiba-tiba memecah keheningan gua.

"Grokk grokk," suara Udhet terdengar dalam.

Getot menghentikan latihannya, menoleh ke arah sahabatnya. "Jadi kau telah sembuh, Udhet?" tanyanya dengan nada lega.

"Grokk grokk," jawab Udhet, menggerakkan kepalanya sebagai penanda.

"Baguslah kalau begitu," ujar Getot, senyum tipis terukir di wajahnya. "Berarti kita bisa melanjutkan pelatihan yang tertunda."

Bersama Udhet yang setia mengikuti di belakangnya, Getot kembali menyusuri lorong menuju dinding batu yang penuh dengan ukiran-ukiran kuno. Mereka tiba di depan dinding yang menyimpan rahasia berbagai ilmu bela diri.

"Oh ya, Udhet," kata Getot sambil menatap deretan ukiran. "Ada yang mengganjal hatiku. Kalau kau tahu semua yang tertulis di dinding ini, buat apa lagi aku susah payah membacanya? Bukankah kamu tinggal menunjukkan saja bagaimana latihannya?"

Udhet mengeluarkan serangkaian gerungan yang lebih panjang dan. "Grokk grokk grokk."

Getot mengerutkan kening, mencoba memahami maksud sahabatnya. "Oh, begitu. Jadi membaca dinding ini adalah syarat untuk merampungkan pelatihan secara utuh. Ada semacam... kunci atau pemahaman yang hanya bisa didapatkan dengan membaca sendiri. Hmm. Baiklah, aku paham."

Dengan tekad yang baru, Getot kembali memfokuskan diri pada ukiran-ukiran aksara Jawa kuno itu. Jari telunjuknya mengikuti setiap baris tulisan, bibirnya bergerak pelan membaca setiap kata.

"Ilmu selanjutnya," bisiknya, "Jurus Tapal Bantam."

Ia melanjutkan membaca dengan saksama. Ukiran itu ternyata menjelaskan serangkaian gerakan silat yang harus diikuti langkah demi langkah. Ilustrasi sederhana di samping tulisan membantu memberikan gambaran nyata, meskipun terasa asing dan kuno.

"Gerakan-gerakan yang aneh," gumam Getot sambil mengamati salah satu ilustrasi yang memperlihatkan posisi kaki dan tangan yang tidak lazim. Sangat kuno Bahkan di zaman Getot hidup, belum pernah ada gerakan silat seperti ini.

Namun, rasa ingin tahu dan semangat untuk menguasai ilmu baru mengalahkan keheranannya. Getot mengambil posisi, mencoba meniru gerakan pertama yang tertera di dinding. Tubuhnya terasa kaku dan canggung, belum terbiasa dengan pola gerakan yang berbeda dari apa yang pernah ia lihat.

"Baiklah, aku akan mencobanya," tekad Getot. Ia mulai mengikuti gerakan-gerakan itu dengan hati-hati, berusaha memahami alur dan tujuannya. Sementara itu, Udhet hanya memantau dari kejauhan, sesekali mengeluarkan gerungan pelan seolah memberikan semangat atau koreksi tanpa kata.

Tapal Bantam adalah jurus yang unik, mengandalkan kombinasi gerakan kaki dan tangan yang tidak terduga. Langkah-langkahnya lebar dan rendah, memberikan pijakan yang kuat namun tetap memungkinkan perpindahan posisi yang cepat. Gerakan tangannya lebih menekankan pada pertahanan dan serangan balik yang memanfaatkan momentum lawan.

 Gerakannya terasa sangat kuno, berbeda jauh dari gaya silat modern yang lebih mengutamakan kecepatan. Namun, Getot merasakan ada kekuatan tersembunyi di balik keanehan gerakan-gerakan itu, sebuah fondasi yang kokoh dan prinsip bela diri yang mendasar. Ia terus berlatih dengan tekun, mengulang setiap gerakan hingga tubuhnya mulai terbiasa dan mengalir mengikuti irama Jurus Tapal Bantam.

Semakin berulang kali Getot mempraktikkan gerakan-gerakan Jurus Tapal Bantam, semakin lentur tubuhnya bergerak mengikuti alur jurus yang unik itu. Langkah-langkah aneh yang awalnya terasa kaku kini mulai terasa alami dan mengalir. Setiap ayunan tangan dan hentakan kaki menjadi semakin terarah dan bertenaga. Udhet yang setia mengawasi dari kejauhan dibuat terkagum-kagum. Kali ini, Getot menunjukkan pemahaman yang luar biasa cepat terhadap setiap detail gerakan, seolah tubuhnya memiliki memori otot yang terpendam.

Namun, kejutan yang lebih besar menanti. Saat Getot semakin mendalami jurus itu, Udhet menangkap fenomena yang tak biasa. Setiap kali tinju Getot menghantam udara atau kakinya menjejak tanah dengan keras, terdengar bunyi ledakan kecil yang menggema di dalam gua. Bukan hanya bunyi benturan biasa, melainkan suara letupan udara yang jelas dan kuat.

Getot sendiri merasakan keanehan itu. Setiap kali ia melayangkan tinju, ia merasakan dorongan energi yang kuat di ujung kepalannya, diikuti oleh gelombang udara yang terasa nyata. Ia menghentikan latihannya, menatap tinjunya dengan heran, lalu tertawa kegirangan.

"Wow, apa ini, Udhet?" serunya dengan mata berbinar. "Jurus yang luar biasa! Aku merasakan ledakan udara di ujung tinjuku. Hebat, hahaha...!"

Udhet merespons dengan serangkaian gerungan yang terdengar berbeda dari biasanya. Ada nada keheranan dan mungkin sedikit kekhawatiran di dalamnya. "Grokk grokk...!!"

"Apa katamu?" Getot mengerutkan kening, menatap Udhet dengan bingung. "Seharusnya itu tak terjadi? Apa maksudmu, Udhet?"

"Grokk grokkk," jawab Udhet lagi, kali ini gerungannya terdengar lebih panjang dan penuh penekanan.

Getot terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan sahabatnya. "Jadi, seharusnya jurus ini tidak menghasilkan ledakan udara? Wow... kalau begitu, ini keanehan yang menguntungkan, bukan?" Ia kembali mengepalkan tinjunya, merasakan sensasi energi yang berbeda dari yang seharusnya. "Kekuatan jurus ini jadi berlipat ganda!"

Mendengar perkataan Getot, ingatan tentang kata-kata Ki Amuraka kembali terlintas di benak si ulat raksasa. Sesepuh itu pernah menyebutkan bahwa Getot memiliki potensi dan kemampuan tersembunyi yang bahkan ia sendiri belum menyadarinya.

Fenomena ledakan udara ini seolah menjadi bukti nyata dari perkataan Ki Amuraka. Ada sesuatu yang istimewa dalam diri Getot, yang memungkinkannya memanifestasikan kekuatan jurus Tapal Bantam di luar batas kemampuannya yang seharusnya.

Tanpa terlalu mempedulikan keheranan Udhet, Getot kembali bersemangat melanjutkan latihannya. Ia merasa tertantang untuk mengeksplorasi lebih jauh potensi tersembunyi dalam dirinya. Jurus Tapal Bantam yang seharusnya merupakan gerakan silat kuno biasa, kini terasa seperti senjata mematikan di tangannya.

Setiap pukulan dan tendangan terasa lebih bertenaga, didukung oleh ledakan udara yang tak terduga. Ia terus mengulang-ulang gerakan itu, semakin mendalami setiap detail, seolah-olah ia sedang menyempurnakan versinya sendiri dari Jurus Tapal Bantam.

Sebuah jurus yang telah ditingkatkan secara alami oleh kekuatan terpendam dalam dirinya. Udhet hanya bisa mengamati dengan rasa takjub dan sedikit khawatir, menyadari bahwa perjalanan Getot menuju balas dendam mungkin akan lebih dahsyat dari yang mereka bayangkan.