NovelToon NovelToon
Sepenggal Waktu Untuk Mencintaimu

Sepenggal Waktu Untuk Mencintaimu

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Murni
Popularitas:179
Nilai: 5
Nama Author: Azra amalina

Ariana selalu percaya bahwa hidup adalah tentang menjalani hari sebaik mungkin. Namun, apa yang terjadi jika waktu yang dimiliki tak lagi panjang? Dia bukan takut mati—dia hanya takut dilupakan, takut meninggalkan dunia tanpa jejak yang berarti.



Dewa tidak pernah berpikir akan jatuh cinta di tempat seperti ini, rumah sakit. Baginya, cinta harusnya penuh petualangan dan kebebasan. Namun, Ariana mengubah segalanya. Dalam tatapan matanya, Dewa melihat dunia yang lebih indah, lebih tulus, meski dipenuhi keterbatasan.



Dan di sinilah kisah mereka dimulai.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azra amalina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan Alana dan Ariana

Sesampainya di rumah sakit, semua orang berhenti tepat di depan pintu kamar Ariana. Alana menatap gagang pintu dengan tangan sedikit gemetar.

Bang Ardan, Dewa, Ezra, Rangga, dan kedua orang tua mereka berdiri di belakangnya. Mereka semua tahu betapa pentingnya momen ini.

Ayah dan ibu Ariana menatap Alana dengan mata berkaca-kaca, rindu yang telah mereka pendam selama bertahun-tahun hampir tak bisa mereka tahan.

Namun, mereka juga memahami bahwa saat ini, yang paling berhak mendapatkan waktu bersama adalah dua saudari kembar yang akhirnya bertemu kembali.

Bang Ardan menepuk bahu Alana dengan lembut. "Kita akan menunggu di luar. Ambil waktu kalian berdua."

Alana menoleh ke belakang, melihat wajah-wajah yang penuh dukungan itu, lalu mengangguk. "Terima kasih."

Dewa tersenyum kecil. "Aku yakin Ariana sangat ingin bertemu denganmu."

Alana menarik napas dalam, lalu dengan perlahan membuka pintu kamar.

Di dalam ruangan, Ariana duduk bersandar di ranjangnya, memandangi jendela dengan tatapan kosong. Tubuhnya terlihat lemah, tapi ada ketenangan di wajahnya.

Saat mendengar suara pintu terbuka, ia menoleh dengan lambat.

Dan di saat itulah, mata mereka bertemu.

Ariana terdiam. Wajahnya berubah, seperti melihat bayangan dirinya sendiri di cermin, tetapi berbeda.

Alana pun tidak bisa berkata apa-apa. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat saudara kembarnya—orang yang memiliki wajah yang begitu mirip dengannya.

Beberapa detik terasa seperti selamanya.

Air mata pertama jatuh di pipi Ariana.

"Kamu… Alana?" suaranya bergetar.

Alana mengangguk pelan. "Ya… aku Alana."

Ariana tersenyum, meskipun air matanya terus mengalir. "Akhirnya… aku bisa melihatmu."

Alana berjalan perlahan mendekat, duduk di tepi ranjang, dan tanpa ragu, meraih tangan Ariana, menggenggamnya erat.

Tak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Hanya genggaman tangan yang erat, seakan mencoba menyatukan kembali dua hati yang telah lama terpisah.

Setelah bertahun-tahun hidup tanpa mengetahui keberadaan satu sama lain, mereka akhirnya dipertemukan kembali.

Dan meskipun waktu yang mereka miliki mungkin tidak banyak, setidaknya mereka bisa menikmati momen ini—sebagai saudari, sebagai saudara kembar, sebagai bagian dari satu jiwa yang utuh.

...****************...

Alana masih menggenggam tangan Ariana erat. Mereka saling menatap, seolah ingin memastikan bahwa yang ada di depan mereka bukanlah mimpi.

Ariana menarik napas pelan, matanya masih berkaca-kaca. “Aku tidak pernah berpikir… bahwa aku punya saudara kembar.”

Alana tersenyum tipis. “Aku juga. Aku baru mengetahuinya dari Bang Ardan dan Dewa.”

Ariana mengangguk, lalu menatap Alana lebih dalam. “Kau… baik-baik saja?”

Alana sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Seharusnya ia yang bertanya seperti itu pada Ariana, bukan sebaliknya. Ia menghela napas, lalu mengangguk. “Aku baik. Tapi lebih penting lagi, bagaimana denganmu?”

Ariana tersenyum lemah. “Aku tidak bisa mengatakan aku baik… tapi aku bahagia hari ini. Aku akhirnya bertemu denganmu.”

Alana menatap saudari kembarnya dengan mata berkabut. “Aku minta maaf… karena baru datang sekarang.”

Ariana menggeleng pelan. “Jangan berkata begitu. Yang penting, sekarang kau di sini.”

Hening sejenak. Hanya suara alat medis yang berbunyi pelan di sudut ruangan.

Alana menguatkan hatinya, lalu bertanya, “Ariana… bolehkah aku tahu sesuatu?”

Ariana mengangguk. “Apa itu?”

Alana menatap mata saudari kembarnya dengan serius. “Apakah kau marah… pada orang tua kita? Karena mereka harus menyerahkan aku ke keluarga lain?”

Ariana terdiam. Tatapannya menerawang ke atas, seolah mencari jawaban di langit-langit ruangan.

Lalu, ia menggeleng. “Tidak… aku tidak marah. Aku hanya bertanya-tanya, bagaimana jika kita tumbuh bersama? Apakah hidup kita akan berbeda?”

Alana mengangguk, karena itu adalah pertanyaan yang juga ada di benaknya.

Ariana tersenyum kecil. “Tapi sekarang aku sadar… mungkin takdir memang membiarkan kita berpisah, hanya agar kita bisa bertemu di waktu yang paling tepat.”

Alana terdiam. Kata-kata Ariana begitu dalam.

Setelah beberapa saat, Ariana menatap Alana penuh harap. “Kau akan tinggal di sini lebih lama, kan?”

Alana menguatkan genggaman tangannya dan tersenyum. “Aku tidak akan pergi ke mana-mana.”

Ariana tersenyum lega, lalu menutup matanya sejenak. “Terima kasih, Alana…”

Alana menatap saudari kembarnya dengan penuh kasih. Hari ini adalah awal dari sesuatu yang baru—sesuatu yang seharusnya sudah lama mereka miliki.

...****************...

Alana masih duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Ariana erat. Ia bisa merasakan betapa dinginnya telapak tangan saudari kembarnya.

Ariana menatap Alana dengan lembut, senyumnya tenang, tapi matanya menyiratkan permintaan yang dalam.

"Alana…" suara Ariana terdengar pelan, hampir seperti bisikan.

"Ya?" Alana menjawab, berusaha menyembunyikan kegelisahan di hatinya.

Ariana menghela napas pelan, lalu menatap lurus ke mata Alana. "Jika suatu hari nanti aku harus pergi lebih dulu… bisakah kau menemani Dewa?"

Alana terkejut. Dadanya terasa sesak mendengar kata-kata itu.

"Jangan bicara seperti itu, Ariana. Kau akan baik-baik saja."

Ariana tersenyum kecil, seolah sudah memahami segalanya. "Aku tahu tubuhku sendiri, Alana. Aku tahu waktu yang kumiliki tidak banyak lagi."

Alana menggigit bibirnya, menahan emosi yang mulai menggelora. Ia tidak ingin menerima kenyataan itu.

"Dewa… dia adalah orang yang selalu ada untukku," lanjut Ariana dengan suara lirih. "Aku ingin dia bahagia, bahkan jika aku tidak ada."

Air mata Alana akhirnya jatuh. "Ariana… kenapa kau memikirkan orang lain di saat seperti ini?"

Ariana tersenyum lebih lebar. "Karena aku mencintai mereka."

Alana menggeleng, perasaannya bercampur aduk. Bagaimana mungkin seseorang yang sedang berjuang untuk hidup masih memikirkan kebahagiaan orang lain lebih dari dirinya sendiri?

"Aku tidak bisa menggantikanmu di hati Dewa, Ariana."

Ariana menatapnya dalam. "Aku tidak meminta kau menggantikanku. Aku hanya ingin ada seseorang yang menjaga dan menemani Dewa saat aku tak bisa lagi."

Alana terdiam. Ia tahu betapa besar cinta Ariana kepada Dewa.

Setelah beberapa saat, Alana akhirnya menggenggam tangan Ariana lebih erat dan mengangguk pelan. "Aku tidak tahu apakah aku bisa… tapi aku berjanji, aku akan ada untuk Dewa. Aku akan memastikan dia tidak merasa sendirian."

Ariana tersenyum lega. Matanya sedikit berkaca-kaca, tapi ada ketenangan di sana.

"Terima kasih, Alana."

Dan di dalam hati Alana, ia tahu bahwa janji ini bukan sekadar kata-kata. Ini adalah amanah dari saudari kembarnya—seseorang yang telah lama hilang, namun akhirnya kembali hanya untuk meminta satu hal terakhir.

...****************...

Keesokan paginya, saat dokter datang untuk mengecek kondisinya, Ariana sudah menunggu dengan wajah serius. Alana, Dewa, dan Bang Ardan juga ada di ruangan, memperhatikan dengan cemas.

Dokter membaca hasil pemeriksaan terakhir, lalu menghela napas pelan. “Ariana, kondisimu masih belum stabil. Kami sangat menyarankan agar kau tetap dirawat di rumah sakit untuk pemantauan lebih lanjut.”

Ariana menggigit bibirnya sebentar, lalu menatap dokter dengan penuh tekad. “Dok, aku ingin meminta sesuatu.”

Dokter mengangkat alisnya. “Apa itu?”

Ariana menarik napas dalam. “Aku ingin melakukan rawat jalan.”

Semua orang di ruangan terdiam.

Dewa menatap Ariana dengan mata melebar. “Ariana, kau tidak boleh memaksakan diri.”

Bang Ardan menimpali, “Dokter bilang kau butuh pemantauan intensif.”

Namun, Ariana tetap mempertahankan tekadnya. “Aku tahu risikonya, tapi aku ingin menghabiskan sisa waktuku di luar rumah sakit. Aku ingin berada di rumah, bersama keluarga, bersama orang-orang yang aku cintai.”

Dokter menatap Ariana lama, lalu melirik ke arah keluarganya. “Ini bukan keputusan yang mudah. Jika terjadi sesuatu, perawatan darurat akan sulit dilakukan.”

Ariana mengangguk pelan. “Aku sudah memikirkan semuanya. Aku janji akan menjaga kondisiku, meminum obat dengan teratur, dan rutin melakukan kontrol. Aku hanya… tidak ingin menghabiskan hari-hariku dengan hanya melihat dinding putih rumah sakit.”

Alana menggenggam tangan Ariana, matanya berkaca-kaca. “Apa ini benar-benar yang kau inginkan?”

Ariana menoleh ke saudari kembarnya, lalu tersenyum. “Ya. Aku ingin menikmati waktu yang tersisa dengan lebih bebas.”

Dokter masih terlihat ragu, namun melihat tekad kuat di mata Ariana, ia akhirnya menghela napas. “Baiklah, aku akan berdiskusi dengan tim medis dan keluargamu. Jika semua setuju, kita bisa mempertimbangkan rawat jalan. Tapi ingat, ini berarti tanggung jawab besar.”

Ariana tersenyum lega. “Terima kasih, Dok.”

Dewa masih terlihat khawatir, tapi ia tahu ini adalah keinginan terbesar Ariana. Bang Ardan mengusap wajahnya, masih sulit menerima keputusan ini, namun akhirnya ia mengangguk.

Keputusan telah dibuat. Ariana akan pulang. Dan semua orang berjanji untuk menjaganya sebaik mungkin.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!