Nara harus menerima dirinya hamil di luar nikah dan menyembunyikan identitasnya sebagai istri dari ketua BEM.
Sebagai istri rahasia, ia harus banyak bersabar karena banyak sekali rintangan dalam rumah tangga mereka berdua, terlebih usia Rendi yang masih muda dan populer di universitas, membuat Nara harus semakin waspada akan hadirnya orang ketiga.
Hingga Rendi kembali berulah dan menghamili wanita lain.
Akankah hubungan mereka baik-baik saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Harumi Akari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ego Sang Suami
Keesokan harinya, seperti janji ayah mertua Nara. Ia langsung dipanggilkan tukang pijit ibu baru melahirkan, dan Syakila diurus oleh Rendi lebih dulu.
Saat dipijit, beberapa kali wanita tua itu melantunkan doa-doa dan membuat tubuh Nara menjadi rileks. Ia merasakan perasaan yang begitu nyaman dan setelah pijit, punggungnya sudah tidak sakit lagi. Syakila juga langsung dipijit setelah Nara dipijit. Mungkin, Syakila merasakan perasaan capek yang sama dengan Nara, untungnya Syakila tidak pernah rewel sekalipun dan membuat Nara semakin bersyukur karena dirinya diberikan anak yang bisa mengerti keadaannya itu.
"Kalian berdua, kalau bisa harus sering pijit. Tubuh bayi itu sering sekali rentan keseleo. Ibunya juga, kalau sering sendiri dan mengurus semuanya sendiri, sering-sering juga pijit, biar nggak mudah pegal."
Mendengar saran seperti itu, Nara dan Rendi hanya menganggukkan kepalanya saja. Setelah sudah selesai pijit semua, Rendi langsung mengantarkan tukang pijit itu pulang ke rumah.
Ternyata setelah di pijit, tubuh Nara menjadi jauh lebih enak dan merasa sangat nyaman.
"Satu bulan lamanya kita harus mengalami hal seperti ini ya, Nak. Maafin mama ya, mama nggak tahu hal seperti ini," pungkas Nara kepada bayinya yang sudah tertidur lelap sembari meminum Asi.
Hal itu membuat Nara juga mengantuk dan sangat lelah. Setelah tidur juga tubuh Nara merasa sangat lega sekali.
Beberapa saat kemudian, Rendi pun kembali ke rumah.
"Udah enakan?" tanya Rendi sembari masuk ke dalam rumah.
"Enak banget, Sayang. Aku nggak pernah ngerasain seenak ini sebelumnya. Punggungku udah nggak kaya patah lagi," jawab Nara.
"Kalau gitu, aku pergi lagi ya?" Rendi seakan tidak peduli dengan istrinya itu.
"Loh, mau ke mana?" tanya Nara yang langsung bangun dari tempat ia duduk dan menghampiri Rendi masuk ke dalam kamar.
"Aku masih ada acara lagi, Sayang. Kemarin itu baru rekrut anak baru, sekarang harus mempertimbangkan mana yang bisa diterima sebagai jajaran BEM." Rendi menjelaskan hal itu sembari mengenakan pakaiannya.
"Kamu sesibuk itu ya? Sampai nggak ada waktu buat aku sama Syakila?" tanya Nara yang sudah kesal sekali dengan sikap suaminya.
"Mau gimana lagi? Aku nggak mau dicap jelek loh," ketus pria itu.
"Kamu emang ada acara di kampus, atau nongkrong bareng temen-temen kamu?" tanya Nara kepada suaminya itu.
Mendengar Nara berucap seperti itu, Rendi langsung melihat ke arah Nara sembari memicingkan kedua matanya.
"Maksud kamu apa bilang gitu?" Nada bicaranya berubah, seakan tengah memojokkan Nara.
"Maaf ya. Kemarin aku lihat foto kamu sama temen-temen kamu. Lebih sering di cafe tuh, di karaokean juga, banyak cewek juga. Kamu juga sering banget foto sama cewek loh." Pada akhirnya, Nara mengungkit kembali apa yang kemarin tidak jadi ia bahas.
"Kamu nuduh aku selingkuh apa gimana?"
"Kapan aku bahas kalau kamu selingkuh?" Nara semakin heran dengan sikap suaminya itu.
"Itu, kamu ngomong gitu kaya kamu lagi nuduh aku selingkuh, tahu! Padahal mereka itu temen-temen aku loh, kakak tingkat kamu, satu angkatan sama kamu, masa iya kamu nggak kenal!" Rendi justru naik pitam kala merasa dituduh selingkuh.
"Loh, aku nggak pernah ngerasa nuduh kamu selingkuh kok. Aku cuma nanya doang." Nara mulai menjelaskan maksudnya itu.
"Ternyata kamu juga nggak bisa ngertiin posisi aku ya?" ujar pria itu yang nampak kesal dengan Nara.
"Kamu kenapa sih? Aku tuh cuma nanya loh sama kamu, aku nggak ada maksud buat nuduh atau apapun itu. Aku cuma nanya!" Nara mulai meninggikan nada bicaranya.
Rendi mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan kepada Nara perihal fotonya dengan wanita yang dimaksud oleh Nara.
"Ini kan? Kamu cemburu gara-gara ini?" tanya pria itu.
"Emang nggak boleh ya kalau aku cemburu?"
"Aku ini suami kamu loh, masa kamu nggak percaya sama aku?"
"Gimana aku bisa percaya? Kamu pergi ke kumpulan anak BEM juga aku nggak pernah masalah kok, tapi pas aku tanya kamu pergi sama siapa, kamu jawab kalau kamu pergi sama semua temen cowok kamu. Kenapa kamu nggak bilang kalo sama temen cewek? Kenapa coba?" Nara membalikkan pertanyaan pria itu dan membuat Rendi hanya bisa diam saja.
Perkataan yang dilontarkan Nara, benar-benar tidak bisa dijawab oleh Rendi sama sekali. Ia berusaha untuk bicara, namun tak bisa. Alhasil, Rendi merasa kesal sendiri.
"Sudahlah! Aku capek denger ocehan kamu setiap hari! Kamu cukup diam saat aku sedang berperan jadi ketua BEM kenapa sih! Susah banget dibilangin." Rendi keluar dengan perasaan kesal.
"Tunggu dulu!" Nara menahan lengan tangan pria itu, dan membuat Rendi balik badan dengan raut wajah yang sudah semakin kesal.
"Apa lagi, astaga!"
"Ini soal ekonomi kita. Kalau kamu terus-terusan keluar kaya gini, uang kita bakal habis, Rendi. Sebagai kepala keluarga, bagaimana solusinya?" Nara membuka percakapan dan juga masalah baru bagi keluarga kecil mereka itu.
Mendengar hal itu, kepala Rendi makin cenat-cenut. Entah mengapa dia kesal sekali dengan pertanyaan Nara, dalam pikirannya juga ia mengatakan bahwa dia sedang kuliah, dan jabatannya ketua BEM, mana bisa dia mencari kerjaan di tengah-tengah kesibukannya itu? Rendi bahkan hampir menganggap Nara adalah beban.
"Aku bakal cari kerja sambilan. Tapi nggak bisa sekarang! Kamu harus tahu posisi aku yang sibuk dong!" kilah Rendi.
"Oke aku ngertiin kamu karena kamu sibuk dan nggak bisa ngurus keluarga, terus gimana dengan aku 2 bulan lagi? Yang pastinya aku bakal selesaiin kuliah dan ninggalin Syakila. Apa kamu ada solusinya?" Nara merasa pembicaraan kali ini cukup serius dan harus segera dibicarakan. Terlihat Rendi juga sudah sedikit lebih tenang.
"Ck! Kamu jangan mentang-mentang bisa ngurus anak, sama kuliah terus jadi nyalahin aku terus ya! Sekalian sana kamu cari kerjaan!" ketus Rendi. "Kalau masalah Syakila, tukang pijit tadi merekomendasikan seseorang dan aku udah bilang kalau Syakila bisa dititipkan sama orang itu. Soal duit, aku bakal coba cari kerjaan! Soal waktu? Aku selalu meluangkan waktu buat kamu, kan? Nyatanya kemarin juga syukuran Syakila aku dateng. Dah ya! Aku buru-buru!" Rendi melepaskan pegangan tangan Nara, mengambil uang yang selalu Nara simpan di laci sebanyak 100 ribu, dan pergi meninggalkan istrinya.
Nara melihat tangannya yang baru saja ditepis oleh Rendi. Baru kali ini ia merasa sakit, tapi tidak berdarah. Sebegitu pentingnya acara itu sampai dia tidak mementingkan perdamaian dan solusi dalam perdebatan mereka. Teman-teman Rendi ternyata lebih penting dari Nara.
Nara pun melihat ke arah laci yang baru saja dibuka oleh Rendi.
"Ya Allah, Rendi. Itu uang terakhir kita, Sayang," keluh Nara sembari merasa sedih dengan perilaku suaminya itu.
*pemikiran munafik, novel ini melaknat kelakuan Rendi dan adel tapi membenarkan kelakuan Nara dan gibran
*tidak bermoral, melaknat pelakor yang mendekati suami orang tapi malah membenarkan pebinor yang mendekati istri orang
*pemikiran munafik wanita dalam membuat novel dia melaknat kelakuan Rendi pada wanita lain tapi malah membenarkan kelakuan Nara dengan pria lain
*menjijikan melaknat pelakor tapi memuja pebinor
pemikiran author pria egois
spesial kan pelakor
pemikiran author wanita egois
spesial kan pebinor
aku selalu intip nih cerita nya...
terima kasih kak