❗️EKSKLUSIF HANYA DI NOVELTOON❗️
Seorang Pria yang di paksa sang Ayah untuk menikahi Gadis yang tidak tahu asal-usul nya, pernikahan itu di dasarkan karena suatu perjanjian sebelum rekan Ayahnya menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya.
Memang benar, mencintai paksa orang yang tidak di cintainya benar-benar sangat sulit, tetapi dengan selalu berdekatan di antara keduanya akan membuahkan benih-benih cinta. Akan tetapi, apakah mereka benar-benar berhasil mencintai satu sama lain?
-----------
Yukk kepoin ... jangan lupa tambahkan favorite. Like, komen positive & vote nya juga ya bestie😍🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ditaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cekcok
Sebelum memasuki rumahnya, Fabian menekan klakson mobilnya. Adiba terperanjat, lalu dengan cepat mendorong gerbang rumahnya.
Adiba kaget, ternyata mobil Pak Alzam sudah terparkir di garasi.
Adiba pun menutup kembali gerbangnya, lalu mengunci bagian bawahnya saja.
Fabian terpogoh-pogoh mendekati Adiba sambil berlari kecil. Setelah di sampingnya, Fabian mencengkram tangan Adiba cukup keras dan membawanya masuk kedalam rumah.
Tanpa salam, Fabian dan Adiba langsung menaiki tangga. Pak Alzam dan Bu Aisyi heran melihat anak dan menantunya pulang bersama, tapi mereka berdua hanya membiarkannya saja, toh cuma gandengan tangan, pikirnya.
Ceklek~
Fabian membuka pintu kamar lalu menutup serta menguncinya. Memepetkan kepala istrinya pada pojok tembok kamar.
Tubuh Adiba kaku, ia meringis menahan sakit pada tangan yang di cengkram suaminya.
"Mas, lepaskan, sakit." Adiba mencoba membuka telapak tangan suaminya. Namun, Fabian hanya mengendurkan cengkramannya tetapi masih memegang tangan istrinya.
"Jelaskan!" ujar Fabian penuh penekanan.
"Hah?" Adiba terbengong, tak paham maksud dari suaminya.
"Apa kamu masih belum sadar bahwa sudah menikah? Apa mau kamu saya hamilkan dulu agar semua orang tahu, hah?!" Fabian tersenyum miring. Jantung Adiba berdenyut nyeri.
"Ma-maksud Mas Fabian apa?"
"Kamu malam-malam seenaknya keluar untuk pergi main sama pria lain, begitu? Iya?"
Otak Adiba mencoba mencerna kata-kata Fabian.
Tubuh Fabian memanas, ia mencium paksa Adiba di bawah rengkuhannya. Adiba ingin menjelaskannya tetapi mulutnya sudah lebih dulu tersumpal oleh bibir suaminya.
Adiba menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, tangannya mendorong dada suaminya dan memukulnya sekuat tenanga. Semuanya sia-sia, tenaga Fabian lebih besar di bandingkan tenaga dirinya.
Adiba hanya bisa menangis tersendu-sendu.
Fabian yang sedang terbuai kenikmatan, melihat istrinya menangis langsung memberhentikan kegiatannya.
"Hiks ... Hiks ... Hiks ..." Adiba menjatuhkan tubuhnya di lantai.
"Maaf." Fabian memejamkan matanya, mencoba menahan hasratnya yang sudah di ubun-ubun. Ia ikut menjatuhkan tubuhnya di samping istrinya.
"Mas sudah salah paham! Hiks ... Di-dia itu Paman Abid, hiks ... Sudah mengantarkan Adiba ke rumah, hiks ... Hiks ..." Adiba menjelaskan dengan air mata yang ikut menetes.
Mata Fabian membola "Maaf" Fabian membawa Adiba dalam pelukannya.
"Mas Fabian jahat, hiks ... Adiba mau pulang saja, hiks ..." rengek Adiba lalu mendorong tubuh Fabian dan menampar wajah Fabian dengan keras.
Rasa tamparan dari tangan istrinya bagi Fabian biasa saja, ia masih bersikap normal dan wajar tanpa memperdulikan dirinya sudah di tampar oleh istrinya sendiri.
"Maaf, mau aku bantu duduk di sofa, hm?" ujar Fabian lalu mencoba menghapus air mata dari pelupuk mata istrinya. Belum saja menempel, Adiba menepis tangan Fabian dengan kasar, Fabian memakluminya.
"Ya sudah, Aku ambil minum dulu." Fabian mengambil botol dari atas laci dan memberikannya kepada istrinya. Adiba menggeleng pelan.
"Duduk dulu di sofa." Fabian menunjuk sofa.
Adiba bangun lalu berjalan menuju sofa, ia duduk disana, air matanya terus menerus jatuh lagi dan lagi dari pelupuknya.
"Maaf sudah menganggapmu yang tidak baik. Aku salah, aku minta maaf sudah memfitnahmu." jelas Fabian.
Adiba meredakan tangisnya. Ia enggan untuk menjawabnya.
Fabian membuka bungkus plastik yang di bawa istrinya tadi. Ia tersenyum ternyata isinya nasi goreng, ia paham atas kejadiannya.
"Mau makan, hm?" tanya Fabian.
Fabian membuka isi bungkus nasi goreng lalu menyendokkannya di depan mulut istrinya.
"Cepat buka mulutnya, aku sedang berbaik hati hari ini."
Adiba menggeleng pelan "Nggak mau, makanlah ... Aku ingin tidur." Adiba berdiri dari duduknya dan merebahkan tubuhnya diatas kasur, menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut yang ada disana.
Fabian menghela nafasnya berat "Ya sudah aku makan ya? Nanti besok aku belikan lagi yang baru. Kamu tidur saja, biar aku tidur di sofa."
Adiba tidak menjawab.
Fabian menghembuskan nafasnya dengan kasar, ia menyesal telah melakukan perbuatan diluar kendali dirinya. Ia pun tidak tahu karena tubuhnya sudah dikuasai oleh emosional.
Hanya beberapa menit saja satu porsi nasi goreng sudah selesai Fabian habiskan, ia melirik istrinya sudah tertidur pulas. Fabian membuka laptopnya dan mulai menggarap semua pekerjaannya. 3-4 hari lagi Fabian akan terbang bersama istrinya ke Kairo.
Tok ... Tok ... Tok ...
Ceklek~
"Kak, Adiba sudah tidur belum?" tanya Pak Alzam.
"Sudah, Bi. Tuh lihat dia sudah pulas." Fabian menunjuk Adiba yang berada di atas kasur.
"Baiklah, Umi mu menunggunya di bawah. Kalau sudah tidur ya sudah biarkan saja, jangan dibangunkan lagi." ucap Pak Alzam lalu meninggalkan Fabian yang masih mematung di depan pintu.
pelajaran yg bisa di ambil.ustadz hanyalah gelar saja.tpi orangnya tetap manusia biasa yg TDK terlepas dari khilaf.tetapi kmudian kembali ke jalan Allah SWT