Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.
Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.
Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 16
Pagi yang sunyi diwarnai kecemasan.
Alya bangun dengan perasaan aneh. Biasanya Aira sudah merengek minta sarapan atau menyalakan kartun pagi, tapi hari itu kamar sebelah hening. Ketika Alya membuka pintu kamar Aira, tubuh kecil itu meringkuk di selimut, wajahnya pucat dan keringat dingin membasahi pelipisnya.
“Aira?” panggil Alya panik.
Aira membuka mata perlahan, suaranya nyaris tak terdengar.
“Bunda... perut Aira sakit...”
Alya langsung mengangkatnya dan memanggil Bu Erna. Tak sampai setengah jam kemudian, mereka sudah berada di ruang UGD rumah sakit terdekat.
Sore itu, Rey datang tergesa-gesa.
Ia mendapatkan kabar dari Bu Erna. Saat tiba di ruang rawat, Alya sedang duduk di pinggir ranjang, menggenggam tangan Aira yang tertidur dengan infus di tangannya.
Rey diam, tak langsung mendekat. Hatinya tercekat melihat dua sosok itu — wanita yang ia cintai dan anak yang mulai menyebutnya ayah.
Alya menoleh, mata mereka bertemu. Untuk pertama kalinya setelah hari itu, Alya tidak menunduk atau menghindar. Ia justru berkata pelan, lirih namun jelas:
“Kamu datang.”
Rey mendekat. “Aira... gimana keadaannya?”
“Tipes ringan, kata dokter. Tapi harus rawat inap tiga hari,” jawab Alya. Suaranya tenang, tapi jelas kelelahan. “Aku akan berjaga malam ini.”
Rey langsung berkata, “Aku juga.”
Malam pertama di ruang rawat.
Jam menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Aira tertidur dengan nyenyak, suhu tubuhnya mulai turun perlahan. Di sudut ruangan, Rey duduk di sofa kecil. Alya duduk di lantai, menyandarkan tubuhnya ke tembok.
Tak ada kata selama beberapa menit, hanya bunyi detik jam dan napas anak kecil yang sedang berjuang melawan sakitnya.
Rey akhirnya bicara duluan.
“Alya... apa kamu pernah berpikir meninggalkan semuanya?”
Alya mengalihkan pandangan ke arah langit-langit. “Sering. Tapi aku tahu aku nggak akan pergi. Karena yang sakit bukan cuma aku. Yang perlu aku jaga bukan cuma diriku.”
“Kamu kuat,” ujar Rey.
“Bukan. Aku terbiasa,” jawab Alya cepat. “Terbiasa ditinggal, terbiasa bertahan. Tapi bukan berarti aku nggak lelah.”
Rey mendekat, duduk di lantai di sebelahnya. Mereka hanya berjarak beberapa jengkal, tapi tetap terasa seperti dipisahkan oleh tembok tak kasat mata.
“Aku tahu kamu ragu padaku. Dan kamu berhak ragu. Tapi malam ini, melihat kamu merawat Aira... aku sadar satu hal.”
Alya menoleh, alisnya mengernyit. “Apa?”
“Bahwa rumah yang aku cari bukan tempat. Tapi kamu.”
Mata Alya berkaca. Tapi ia tetap diam.
Rey melanjutkan.
“Kalau kamu butuh waktu — seminggu, sebulan, setahun — aku akan menunggu. Tapi jangan usir aku dari hidup kalian. Izinkan aku membuktikan, sedikit demi sedikit... bahwa aku akan tetap di sini, bahkan ketika semua rasa belum utuh kembali.”
Alya akhirnya bicara, suaranya pelan.
“Aku bukan takut kamu pergi, Rey. Aku takut... aku terlalu berharap kamu tinggal.”
Malam itu, tidak ada pelukan, tidak ada ciuman. Hanya dua orang dewasa yang sama-sama terluka, duduk berdampingan, di hadapan anak yang menjadi penghubung takdir mereka.
Esok paginya.
Aira terbangun dengan senyum kecil.
“Ayah Rey, bunda Alya… tadi malam aku mimpi, kita bertiga piknik.”
Alya tersenyum sambil memeluk Aira. Rey menyeka air mata kecil yang nyaris jatuh. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, Alya tidak lagi menyuruh Rey pergi.
Ia masih belum berkata, “Aku siap.”
Tapi ia juga tidak berkata, “Aku tak sanggup.”
Dan dalam dunia yang tak pernah memberi kepastian… kadang itu sudah cukup untuk memulai sesuatu kembali.
Kadang, cinta tidak datang lewat kejutan atau pengakuan megah. Tapi lewat tangan yang setia menyeka keringat di dahi anakmu, lewat bahu yang diam-diam tetap tinggal di malam tergelap-mu.
Dan malam itu, Alya mulai percaya… bahwa luka bukan akhir dari cinta. Tapi mungkin, justru awal dari cinta yang sesungguhnya.
*
Matahari pagi menyinari beranda rumah kecil itu. Aira sudah pulih dan bermain dengan Rafa di taman belakang. Bu Erna membuatkan teh untuk Alya yang duduk diam, pandangannya kosong ke halaman.
Sudah lima hari sejak malam di rumah sakit itu. Rey tetap hadir — menjemput Aira sekolah, membantu menyuapi, bahkan mencuci piring diam-diam. Tapi entah kenapa, semakin Rey dekat, Alya justru merasa semakin jauh dari dirinya sendiri.
Hari itu, Rey mengajaknya pergi.
Bukan ke restoran, bukan juga ke tempat wisata. Tapi ke sebuah rumah tua di tepi kota, rumah peninggalan nenek Rey. Sebuah tempat yang diam dan hangat. Di dalamnya, tak banyak perabot. Hanya lukisan lama, aroma kayu tua, dan jendela besar menghadap kebun.
Rey menunjuk kursi rotan di sudut ruangan. “Duduklah.”
Alya menurut, masih diam.
“Kenapa kamu membawaku ke sini?”
“Karena aku ingin kamu tahu sesuatu… yang selama ini tak pernah sempat aku katakan.”
Alya menatapnya, menunggu.
Rey menarik napas panjang, lalu duduk di hadapannya.
“Aku dan Nayla memang sudah resmi berpisah. Aku sama sekali tidak mencintainya. Tapi luka itu tidak selesai dalam semalam. Bahkan sekarang pun… aku masih belajar menjadi laki-laki yang tidak tergesa.”
“Dan kamu ingin aku ikut dalam prosesmu?”
>“Bukan begitu.” Rey menggeleng. “Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak meminta kamu mempercayai masa depanku, kalau kamu sendiri belum bisa berdamai dengan masa lalu-mu.”
Alya menggigit bibir bawahnya.
“Kamu tahu apa yang paling membuatku takut, Rey?”
“Apa?”
“Bukan tentang Nayla. Bukan tentang Aira atau Rafa. Tapi tentang aku yang mulai... kehilangan suara hatiku sendiri. Semua orang bilang aku harus memaafkan, harus memberi kesempatan, harus memperjuangkan cinta. Tapi tidak ada yang bertanya... apakah aku masih punya kekuatan untuk itu?”
Rey menatapnya dalam. “Aku bertanya, Alya. Setiap hari aku bertanya — hanya saja kamu tidak pernah menjawab.”
Keheningan menyelimuti ruangan.
Jam tua berdentang lembut. Di luar, dedaunan bergoyang pelan ditiup angin.
Alya akhirnya berdiri, menatap jendela.
“Aku mencintaimu, Rey. Tapi... aku tidak yakin bisa mencintaimu dengan utuh, kalau aku masih menyimpan ketakutan. Ketakutan bahwa suatu hari, kamu akan memilih kenyamanan masa lalu dibanding luka yang terus ada bersamaku.”
Rey mendekat perlahan. “Aku tidak ingin kamu mencintaiku karena terpaksa, atau karena Aira menyukaiku. Aku ingin kamu memilihku... karena kamu tahu kamu layak bahagia.”
Alya tersenyum kecil, getir. “Aku sedang belajar mempercayai itu, Rey. Tapi bukan hari ini.”
Sore itu, Rey mengantarnya pulang.
Tak ada pegangan tangan, tak ada ciuman di kening seperti biasanya. Tapi saat mobil berhenti, Rey berucap pelan:
“Aku akan tetap datang besok. Menemani Aira. Kalau kamu ingin bicara, aku di sini. Kalau kamu belum ingin apa-apa, aku tetap di sini.”
Alya mengangguk. Lalu turun, menatap langit yang mulai gelap.
"Terima kasih karena tidak pergi... bahkan saat aku belum bisa memilih."
Malam itu di kamar, Alya menulis:
"Rasa ini belum sepenuhnya utuh. Tapi aku tidak lagi membencinya. Mungkin cinta memang bukan keputusan sekali jalan. Mungkin, ia adalah pilihan yang diambil ulang, setiap kali keraguan datang dan pergi."
"Dan malam ini, aku memilih untuk jujur... bahwa aku masih ragu. Tapi aku juga belum ingin menyerah."
Keraguan bukan tanda lemahnya cinta. Justru kadang, keraguan adalah bentuk paling jujur dari hati yang ingin yakin — tapi belum selesai berdamai dengan luka-lukanya.
Dan Alya, untuk pertama kalinya, memilih untuk berdiri di tengah jika ia tidak mundur, tidak maju. Hanya menunggu... sampai hatinya benar-benar tahu arah.