Judul novel : "MY STUDENT IS MY STUPID WIFE
Ini kisah tentang NANA DARYANANI, seorang mahasiswi cantik yang selalu mendapat bullying karna tidak pandai dalam pelajaran apapun. Nana sudah lama diam-diam naksir dosen tampan di kampusnya, sampai suatu hari Nana ketahuan suka sama dosennya sendiri yang membuat geger seisi kampus.
Bagaimana dengan Sang Dosen, apakah dia juga akan menyukai Nana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gabby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENGUNJUNGI NENEK
"Pak, apa yang nenek bapak sukai dan tidak sukai?" tanya Nana, mereka masih dalam perjalanan menuju Puncak, Bogor.
Nana duduk dibangku belakang bersama Devan. Devan tertidur dalam dekapan Nana. Devan memang tukang tidur, makanya setiap jalan-jalan keluar dia selalu tertidur.
"Nenek orangnya simple, dia suka kesederhanaan, jadi saat kau bertemu dengannya tunjukkan saja apa adanya dirimu." jelas Hessel.
Nana merasa lega dia tidak perlu malu bertemu neneknya Hessel, mengingat dia hanya anak seorang penjual kue, sedangkan ayahnya penarik angkot tapi sekarang tidak bisa bekerja lagi karna sedang sakit.
"Nenek bapak tinggal sama siapa?" tanya Nana lagi.
"Nenek tinggal sendirian, tapi ada beberapa pelayan yang mengurusnya."
"Kenapa nenek tidak tinggal bersama dirumah, bapak? alangkah lebih baiknya kalau nenek tinggak bersama kita."
"Iya kamu benar, sayangnya nenek lebih betah tinggal disana, nenek orangnya tidak suka berdiam diri, selama dia masih sanggup bekerja ya dia akan bekerja, makanya dia lebih memilih tinggal disana karna dia bisa mengurus kebun teh milik kakek dibanding tinggal bersama kami, dia bilang berleha-leha saja di rumah bisa membuatnya cepat tua."
"Oh, nenek aneh ya pak, dimana seharusnya orang tua seusianya hanya berdiam diri di rumah tapi nenek malah sebaliknya." Nana manggut manggut gak jelas.
"Nenek memang seperti itu." Hessel malah gemas melihat kelakuan Nana dari cermin mobil yang berada diatas didepan Hessel.
"Tingkahmu itu, entah kenapa membuat hatiku merasa aneh." Hessel terus tersenyum memandang Nana dari cermin, sedangkan Nana dia menikmati setiap pemandangan.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam mereka pun sampai dikediaman sang nenek.
"Kita sudah sampai Na."
"Ini rumah nenek, pak?" Nana memandang keluar lewat jendela mobil rumah yang tepat berada di depan mereka, rumah besar dengan halaman yang luas, lebih besar dari rumah Hessel.
"Sumpah demi apa, dia bilang nenek orang yang simple, apa ini yang dinamakan simple rumahnya seperti istana, sedangkan aku... apa yang akan ku katakan jika nenek bertanya tentang keluargaku." Nana mendengus menarik nafas panjang.
"Iya Na, ini rumah nenek, ayo turun, nenek sudah memasak makanan yang lezat sekarang." kata Hessel turun dari mobil.
"Pak, Devannya..." panggil Nana, dia merasa bahunya pegal karna menopang Devan yang ukuran tubuhnya hampir sama besarnya dengan dirinya.
"Oh... iya aku lupa." Hessel terkekeh, dan langsung membangunkan Devan.
"Kak, kita sudah sampai dirumah nenek?" tanyanya dia tidur terlalu pulas sampai tidak sadar kalau sepanjang jalan tertidur dibahu Nana.
"Ayo bangkit, kasian Nana, kau itu sangat berat Dev." Hessel menarik tangan Devan.
"Hah stupid... Menjauhlah dariku." mendorong Nana, tubuh Nana sedikit terbentur pada bagian jendela mobil.
Sontak Devan kaget ternyata sepanjang tidurnya dia bersender dibahu Nana.
"Heh jangan sentuh Nana, cepat turun." kata Hessel menarik Devan, Devan pun turun menuruti perintah kakaknya. Dia masih kesal bagaimana mungkin dia tertidur pulas dengan berbantalkan bahu kakak iparnya yang bahkan tidak sudi dianggapnya kakak ipar.
"Ayo Na." Hessel mengulurkan tangan kanannya mengajak Nana turun dari mobil, dengan senang hati Nana meraihnya.
Nana masih mematung di dekat mobil yang terparkir di depan garasi. Dia takut, nenek Hessel tidak menyukainya jika tau dia hanya anak dari keluarga yang jauh dari kata berada.
Hessel menggandeng Nana.
"Kenapa bengong Na?"
"Saya belum siap bertemu nenek, pak." ujar Nana.
"Nenek yang mengajak kita kemari, kamu tenang saja."
"Bagaimana saya bisa tenang, bapak bilang nenek bapak orang yang simple."
"Jangan lihat dari rumahnya, lihat saja nanti pasti kamu betah berada disini."
"Huh, sekarang saya sudah siap pak."
Hessel dan Nana terus bergandengan menuju pintu masuk ke rumah nenek.
Devan memencet bel, dan nenek dengan cepat membukakan mereka pintu dan tentunya mereka mendapat sambutan hangat dari sang nenek yang memang sudah menantikan kedatangan mereka.
"Akhirnya kalian datang juga." Nenek begitu senang melihat mereka bertiga.
"Hessel, Devan... ya ampun sayang nenek sangat merindukan kalian." kata sang nenek sambil memeluk kedua cucunya, sudah sekian lama mereka tidak pernah bertemu.
"Nenekku ini tambah cantik, aku juga sangat merindukanmu nek." puji Devan mencium pipi sang nenek.
"Nek, perkenalkan ini Nana, istri Hessel." ujar Hessel memperkenalkan Nana pada neneknya, sementara Nana tersenyum ramah.
Sang nenek memandang Nana dari ujung kaki sampai ujung kepala.
Sedangkan Nana yang dipandang merasa canggung, dia takut sang nenek tidak menyukainya karna Nana melihat nenek Hessel orangnya sangat glamour emas berjejer dijari dan lehernya yang membuat Nana menciut tidak percaya diri.
"Cantik, nenek suka." ungkapnya sambil tersenyum.
Namun yang Nana pikirkan tentang sang nenek itu salah, bahkan dia sangat menyukai Nana dan langsung menarik tangannya membawa Nana masuk ke dalam.
"Kamu tau sayang, nenek sudah buatkan makanan yang enak-enak untukmu karna nenek memang sudah menunggu hari ini jauh-jauh hari." kata sang nenek sambil menuntun Nana masuk kedalam dan mereka menuju dapur.
Sementara Hessel dia hanya mengikuti arah kemana sang nenek akan membawa istrinya, sedangkan si Devan merasa kesal dia yang cucunya, tapi malah Nana yang mendapat perhatian lebih dari sang nenek.
Hessel selaku suami, dia senang neneknya bisa menerima Nana. Sementara itu, Hessel paham betul perasaan adiknya, dia pun mendekati Devan.
"Kamu jangan iri Dev, dia itu istriku, harusnya kamu senang nenek menyukai kakak iparmu yang selalu kau panggil si bodoh itu." ujar Hessel dengan menepuk pundak sang adik, lalu meninggalkannya diruang tamu.
Devan menghela nafas, dia mencurigai kakaknya semakin hari semakin membela Nana, sekarang neneknya juga ikut-ikutan menyukai Nana, Devan merasa orang terkasihnya yang dulu sangat dekat kini perlahan menjauh darinya semenjak ada Nana.
Hessel pun berjalan menuju ruang makan dimana nenek dan istrinya sedang duduk sekarang. Hessel duduk disamping Nana, sang nenek menatapnya senang.
Mereka menyantap bersama hidangan makan siang yang nenek buatkan, rasanya begitu lezat, sehingga Nana meminta nenek untuk mengajarinya memasak.
Sehabis makan, nenek mulai berbincang-bincang berdua dengan Nana, sementara Hessel dan Devan mereka sibuk membuat steik di taman belakang rumah. Nenek dan Nana sangat mudah akrab, benar kata Hessel, hati nenek sangat baik bahkan saat Nana memberitahu status sosial mengenai keluarganya, nenek sama sekali tidak keberatan malahan dia menyukai kesederhanaan Nana.
"Sayang, kapan kamu mau beri nenekmu ini buyut? kamu dan Hessel kan sudah menikah cukup lama hampir 4 bulan, apa kalian belum melakukannya juga?" lirih nenek pada Nana.
"Ah nenek, sangat sulit menyatukan 2 perasaan yang berbeda, nek." jelas Nana, terpaksa harus mengatakan kebenaran pernikahannya pada nenek.
"Nana, kau tau, dulu nenek dan kakek juga menikah karna perjodohan, nenek juga sama sepertimu masih menempuh dunia pendidikan sedangkan kakekmu dia seorang pengusaha nomor 1 di kota ini, kami tidak saling mencintai tapi karna kami bisa saling menerima satu sama lain akhirnya pelan-pelan rasa cinta itu tumbuh diantara kami, nenek harap kau dan Hessel akan melakukan hal yang sama."
"Iya nek, pak Hessel juga mencoba menerima saya."
"Wah kenapa panggilnya pak, sayang?"
"Memangnya kenapa nek, pak Hessel kan dosen Nana."
"Kalau dikampus silakan panggil pak, tapi kalau dirumah panggil saja mas, itu lebih terdengar mesra." ujar nenek.
"Apa Nana harus memanggilnya seperti itu nek?"
"Tentu saja sayang, cepatlah kau temui masmu, mereka itu lama sekali memanggang steiknya."
"Baik nek, Nana permisi kebelakang ya nek."
*****
Nana menuju taman belakang, dia masih terngiang kata-kata nenek yang meminta dia untuk memanggil Hessel dengan sebutan mas.
Nana sudah melihat Hessel sedang memanggang steik bersama Devan.
"Mas..." panggil Nana berjalan mendekati Hessel. Hessel masih tidak menyadari siapa yang istrinya panggil mas sehingga dia menoleh kearah Nana tapi tidak menyahutinya.
"Steiknya sudah matang belum, mas?" kata Nana sekarang dia tepat berada disamping Hessel.
"Siapa yang kamu ajak bicara, apa kamu punya teman halu?" kata Hessel, melihat disekeliling Nana sedangkan Nana malah tertawa.
"Mas..." ucap Nana lagi dengan menggandengi lengan Hessel. Nana bermanja-manja mengeluskan kepalanya dilengan Hessel.
"Siapa yang kau panggil mas? apa kau mulai memanggil Devan mas juga sekarang?"
"Ya kamulah mas, masa iya aku manggil adik ipar dengan sebutan mas."
"Katakan sekali lagi?" Hessel merasa suara Nana memanggilnya mas itu sangat menggoda.
"Apa yang harus ku katakan..." berlagak pikun.
"Apa saja yang barusan kau katakan."
"Mas Hessel..." ucap Nana menatap suaminya penuh cinta.
"Lagi, lagi, katakan sekali lagi."
"Maasss..."
Hessel ingin sekali mencium Nana yang terasa begitu mesra bicaranya mungkin karna sikap manjanya yang semakin berani menggoda Hessel, tapi sayangnya si Devan terus mengawasi mereka.
"Sering-sering memanggiku mas, aku suka suara merdumu itu." bisik Hessel dengan sedikit gemas mencubit lengan Nana. Nana tersipu malu, dia tidak menyangka panggilan itu bisa membuat Hessel senang.
"Steiknya sudah matang, ayo kita temui nenek." ujar Hessel setelah menyajikan semua steik yang di masaknnya ke dalam piring.
"Dev, kau bawa ini, aku mau bicara sebentar dengan Nana."
"Ini berat dan panas kak, bagaimana kakak setega itu sama adik sendiri." keluh Devan, dia paling tidak suka disuruh-suruh membawa sesuatu tapi tidak ada pilihan lain Devan sangat penurut pada kakaknya sehingga dia masih saja membawanya.
"Ada apa mas memandangku seperti itu?" Naan merasa risih dengan tatapan mata Hessel yang seolah sewaktu-waktu bisa mematikannya.
"Na, aku ingin mengatakan sesuatu padamu..."
"Katakan mas, kamu ingin apa?" Nana mulai degdegan saat Hessel menyentuh mesra wajahnya.
"A-aku, aku ingin mengatakan, iya aku ingin memberitahumu..." Hessel tiba-tiba menghentikan kalimatnya karna nenek tiba-tiba memanggil mereka.
"Mas, nenek memanggil, bicaranya lain kali saja, aku kesana duluan." kata Nana tersenyum.
"Na, sebentar ini tidak akan lama." teriak Hessel tapi Nana malah berjalan semakin cepat.
"Hah, Hessel ini bukan waktu yang tepat." Hessel bicara pada dirinya sendiri.
.
.
*****
"Hessel, kau ajaklah istrimu jalan-jalan ke kebun teh kita, udara di sana masih sangat segar." ujar sang nenek.
"Lain kali saja nek, kami tidak punya banyak waktu sekarang, sehabis magrib kami harus pulang besok Devan sekolah, Hessel dan Nana juga ngampus." sahut Hessel.
"Na, kau mintalah suamimu agar dia tidak buru-buru." pinta nenek.
"Mas, gak ada salahnya kita ke kebun teh sebentar, mau ya mas bawa aku kesana." bujuk Nana dengan tingkahnya yang menggemaskan. Hessel tidak bisa menolak permintaan istrinya, melihat wajah Nana saja Hessel sudah luluh apa lagi saat Nana membujuknya.
"Iya, iya kita pergi sekarang." Hessel menyetujuinya.
"Nek, tapi Devan gimana?" tanya Hessel.
"Nek, Devan mau ikut dengan kakak, Devan kan gak pernah ke kebun." rengeknya.
"Sayang, kau tinggal bersama nenek, kau sudah besar jangan mengganggu kakakmu, biarkan dia dan istrinya berdua." bisik nenek ketelinga Devan.
Jujur saja Devan tidak pernah rela membiarkan kakaknya punya banyak kesempatan untuk berdua dengan Nana.
"Kalian berangkatlah, nenek akan mengurus adikmu ini." ujar sang nenek sambil menahan tangan Devan, dia masih ngeyel ingin ikut tapi nenek dengan kuat menahannya.
"Iya nek, kami pamit dulu."
Hessel dan Nana pun menyalami tangan sang nenek, dan mereka pergi menuju kebun teh milik sang nenek. Nana sudah tidak sabar untuk tiba disana, karna kata nenek kebunnya sangat luas dan udaranya juga segar pasti adem banget apalagi perginya berdua sama Hessel, pikirnya.