NovelToon NovelToon
Saat Aku Berhenti Berharap

Saat Aku Berhenti Berharap

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dijodohkan Orang Tua / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: Lisdaa Rustandy

Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#24

[Esok Paginya]

Naysila dan Alden pamit kepada Bu Tamara dan Pak Haldy. Mereka harus pulang ke rumah masing-masing karena memiliki kesibukan sendiri.

Bu Tamara memeluk Naysila dengan senyum sumringah yang tidak pudar sejak pagi. Entah mengapa, yang jelas Bu Tamara terlihat bahagia.

"Nay, kapan-kapan datang lagi ya? Ibu selalu menunggu kamu."

Naysila mengangguk pelan. "Insyaallah, Bu. Ibu segera sehat ya."

"Aamiiin."

Setelah Naysila melepaskan pelukannya, gantian Alden yang memeluk ibunya. Pria itu menciumi sang ibu, mendoakannya dengan sepenuh hati.

"Hati-hati di jalan, anak-anakku," ucap Pak Haldy. "Semoga ini awal yang baik untuk kalian."

Naysila tersenyum kecil, tapi Alden mengaminkan dalam hati.

Sesudah berpamitan, Alden dan Naysila pun keluar dari rumah. Mereka masuk ke mobil Alden, kemudian perlahan mobil itu bergerak maju meninggalkan rumah besar milik orang tua Alden.

Dalam perjalanan, suasana cukup hening. Alden berpura-pura sibuk menyetir padahal dalam hatinya ingin sekali bisa berbicara lagi dengan Naysila, sementara Naysila berpura-pura sibuk memandang jalanan pagi yang masih bebas macet.

Obrolan mereka semalam masih terngiang-ngiang dalam ingatan, membuat keduanya canggung lagi untuk memulai obrolan.

Alden mulai tak fokus menyetir, sesekali melirik Naysila dari kaca spion depan. Istrinya bahkan tidak menoleh ke arahnya, sibuk menatap jalanan dari jendela mobil.

Tiba-tiba...

Ckiiitttt!!!

Suara nyaring itu mengejutkan Naysila hingga wanita itu menoleh pada Alden. Mobil Alden berhenti mendadak, mengguncang pelan keduanya. Rupanya, Alden hampir menabrak seorang kakek tua yang tiba-tiba saja melintas.

"Astaghfirullah..." ucap Alden dengan ekspresi terkejut, detak jantungnya seolah akan berhenti saat itu juga.

Alden cepat-cepat melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari dalam mobilnya. Ia menghampiri di kakek tua dan terlihat berbicara dengannya.

Naysila tak ikut turun, ia cukup memperhatikan dari dalam mobil. Meskipun tidak benar-benar bisa mendengar apa yang Alden katakan pada pria tua itu, tetapi Alden terlihat bicara baik-baik bahkan terkesan sangat sopan, meskipun saat ini pasti Alden kesal akibat si kakek yang menyebrang sembarangan.

Alden juga terlihat mengeluarkan dompetnya, kemudian memberikan sejumlah uang pada si kakek. Setelah itu, Alden memintanya menepi dan tidak menyebrang sembarangan lagi. Setelah memastikan si kakek menjauh, Alden kembali ke mobilnya dan duduk sembari menghela napas panjang.

"Kenapa, Mas?" tanya Naysila.

"Ternyata kakek-kakek itu sudah pikun," jawab Alden. "pantas saja dia gak peduli ada mobil lewat dan dengan santainya menyeberang."

"Terus, apa dia gak kenapa-kenapa?"

"Nggak. Beruntung aku mengerem tepat waktu. Tapi aku kaget, berasa jantung ini mau copot."

Alden memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan pikirannya yang sempat kacau oleh insiden kecil itu.

Naysila, dengan kesadaran penuh menyentuh bahu suaminya dan berkata, "Tenangkan pikiran dulu. Setelah itu, baru kita lanjutkan perjalanan."

Alden membuka mata saat merasakan sentuhan itu. Ia menoleh pada Naysila dan melihat Naysila tersenyum tulus padanya.

Alden terpaku, ia bahkan enggan berpaling dari Naysila saat ini. Menyadari Alden nyaman akan sentuhan darinya, Naysila segera menarik tangannya lalu duduk diam seperti semulai.

"Mau sarapan dulu sebelum pulang?" tanya Alden, mencairkan suasana.

Naysila menggeleng. "Nggak usah, Mas. Aku mau langsung pulang dan sarapan di rumah."

"Tapi jarak ke rumah kamu masih jauh. Waktu sarapan juga akan segera habis. Perut kamu pasti lapar. Jangan sampai orang tua kamu marah karena anaknya gak dikasih makan di rumah mertuanya sendiri."

Naysila memeriksa ponselnya, waktu sudah menunjukkan pukul 07.45 pagi. Jarak ke rumah orang tuanya memang masih jauh, mungkin sekitar 1 jam lagi.

Perut Naysila sudah terasa lapar, tetapi gengsinya terlalu besar untuk menerima tawaran suaminya. Namun, meski begitu, Alden melajukan mobilnya kembali, kali ini menuju sebuah restoran tanpa bertanya lagi pada Nasyila.

"Aku tahu Naysila lapar, tapi mungkin malu menerima tawaran dariku," pikirnya.

Naysila juga tidak protes. Hanya mengikuti apa yang suaminya putuskan.

Ketika mereka akhirnya berhenti di depan sebuah restoran, Alden berkata lagi, "Ayo turun. Kita sarapan dulu. Aku gak mau kamu kelaparan saat sampai di rumah."

Naysila mengangguk pelan. Ia pun bergerak hebdak melepaskan kuncian sabuk pengamannya. Tapi... Alden mendekat padanya, tangannya melepaskan kuncian pada sabuk pengaman dengan mudah. Wajah mereka cukup dekat, Naysila dapat memandang wajah suaminya dari jarak 10 sentimeter saja.

"Mas Al itu memang tampan. Wajahnya bersih, dan selalu terlihat segar. Dari jarak sedekat ini pun dia terlihat sempurna." Tanpa sadar, dalam hati Naysila sedang memuji suaminya.

"Nay," ucap Alden pelan, nyaris seperti bisikan.

Naysila tersentak kecil, buru-buru mengalihkan pandangan ke arah jendela. Wajahnya merona, apalagi Alden begitu dekat hingga ia bisa merasakan hembusan napasnya.

"Ayo turun," lanjut Alden, kali ini dengan nada lebih datar, seakan menutupi kekakuan yang tadi hampir terbongkar.

Naysila hanya mengangguk cepat, lalu membuka pintu mobil. Alden ikut turun, berjalan mendahuluinya, dan secara refleks membukakan pintu restoran untuk Naysila. Wanita itu sempat terdiam sejenak, tapi kemudian melangkah masuk dengan langkah pelan.

Restoran itu masih sepi, hanya ada beberapa orang yang duduk di sudut ruangan. Aroma kopi dan roti panggang langsung menyambut. Alden memilihkan meja di dekat jendela, agak terpisah dari pengunjung lain.

Saat pelayan datang, Alden langsung memesan dua porsi nasi goreng dan dua gelas teh tarik, tanpa menunggu pelayan bertanya.

Sambil menunggu pesanan datang, Naysila memperhatikan suaminya yang sibuk dengan ponselnya. Alden sedang membalas pesan-pesan yang masuk dari kliennya.

"Mas," ucap Naysila pelan.

Alden mendongak dan menatapnya. "Ya?"

Naysila mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, kemudian menyodorkan di atas meja pada Alden.

"Ini uang yang kamu berikan saat itu. Aku kembalikan."

Alden menatap amplop cokelat yang sempat ia berikan pada Bu Diah untuk Naysila itu, lalu menatap Naysila dengan tatapan datar.

"Kenapa dikembalikan?"

"Seperti yang aku bilang semalam. Jangan buat aku menjelaskan lagi," jawab Naysila datar.

Alden memasukkan ponselnya ke dalam saku jas dan meraih amplop itu dengan ekspresi dingin. Ia memasukkannya ke dalam saku jas dan tak bicara lagi.

Tak lama, pelayan datang membawakan pesanan, mereka pun makan dengan suasana hening. Tidak ada obrolan lagi. Alden bahkan tidak berniat membuka pembicaraan karena hatinya cukup kecewa pada Naysila.

*

Setibanya di rumah Naysila, Alden menghentikan mobilnya. Naysila melepaskan sabuk pengamannya. Ia kemudian menatap Alden dari samping dan berkata, "Terima kasih untuk hari ini."

Alden tak menoleh sama sekali, hanya menganggukan kepala. Sikapnya kembali berubah dingin seperti dulu.

Naysila membuka pintu mobil dan turun.

"Sampaikan salamku untuk kedua orang tuamu. Semoga mereka sehat selalu," ucap Alden akhirnya.

Naysila mengangguk dan menutup pintu mobil. Tanpa menunggu Naysila masuk ke rumahnya, Alden langsung menyalakan kembali mesin mobilnya dan pergi.

Naysila mematung di tempatnya, menatap mobil suaminya menjauh.

"Apa Mas Alden marah karena aku mengembalikan uangnya?" Naysila bertanya-tanya.

"Sikapnya kembali dingin seperti dulu. Padahal, sejak malam hingga tadi pagi sikapnya cukup hangat. Dia berhenti bicara sejak aku mengembalikan uang darinya."

Naysila berdiri cukup lama di depan rumahnya. Pagi yang seharusnya menenangkan justru terasa berat. Mobil Alden sudah tak terlihat, hanya suara burung di pepohonan yang terdengar samar.

Dengan langkah pelan, ia masuk ke dalam rumah. Bu Diah menyambut dengan senyum hangat.

"Nay, sudah pulang? Bagaimana dengan kondisi Bu Tamara sekarang?"

"Alhamdulillah, kondisi Ibu sekarang sudah jauh lebih baik. Beliau sudah bisa berjalan lagi meskipun agak tertatih," jawab Nasyila.

"Alhamdulillah, syukurlah. Ibu lega mendengar Bu Tamara sudah membaik. Setidaknya, Ibu tidak akan cemas kalau kondisinya membaik."

Naysila tersenyum lalu menoleh ke sana kemari seperti mencari sesuatu. "Bapak ke mana, Bu?"

"Bapak kamu sudah pergi ke toko sejak tadi pagi, katanya akan ada yang datang untuk memborong sembako. Jadi, bapakmu harus pergi pagi-pagi."

"Oh, begitu. Alhamdulillah..."

"Kamu sudah sarapan?"

"Sudah. Tadi, Mas Alden mengajakku untuk sarapan dulu. Agak maksa sih," jawab Naysila sambil tersenyum.

"Alden?" tanya Bu Diah. "Kamu pulang diantar sama dia?"

Naysila mengangguk. "Memangnya kenapa?"

Bu Diah melirik ke halaman rumahnya. "Kenapa gak kamu suruh mampir?"

"Umm... Mas Alden harus ke kantor katanya. Jadi gak bisa mampir." Naysila berbohong.

Jelas-jelas dirinya tidak mengajak Alden untuk mampir dulu.

"Oh iya, tadi Mas Al titip salam untuk Ibu dan Bapak. Katanya, semoga kalian sehat selalu." Naysila menyampaikan pesan dari suaminya.

"Wa'alaikumussalam," jawab Bu Diah.

Naysila permisi. Ia segera masuk ke kamarnya sebelum sang ibu bertanya lebih banyak.

Setelah Naysila masuk ke kamar, Bu Diah tersenyum bahagia. "Alhamdulillah, ya Allah... Akhirnya putriku dekat kembali dengan suaminya. Aku berharap ini akan jadi awal yang baik. Semoga mereka bisa bersatu kembali dan memperbaiki hubungan yang sempat retak."

Bu Diah bersyukur Naysila dan Alden dekat kembali, meskipun ia tak tahu jika sebenarnya hubungan anak dan menantunya justru kini semakin dingin.

Sementara itu, di dalam mobil, Alden menyetir dengan pandangan kosong. Jemarinya menggenggam kuat kemudi, hatinya penuh gejolak.

"Kenapa aku merasa tersakiti hanya karena dia menolak uang itu? Seharusnya aku bisa mengerti alasan Naysila. Tapi kenapa rasanya seperti ditolak mentah-mentah?" pikirnya.

"Kenapa juga aku harus kecewa, padahal semua ini terjadi karena kesalahanku? Naysila berhak menolak pemberianku, bahkan berhak membenciku. Tapi kenapa... kenapa aku tidak terima?"

Ia menarik napas panjang, mencoba fokus pada jalanan. Namun, wajah Naysila terus muncul di benaknya, senyum tulusnya saat menyentuh bahunya tadi, wajahnya yang merona saat jarak mereka begitu dekat di mobil. Semua itu membuat Alden semakin sulit menepis rasa yang muncul.

"Nay... tolong berikan aku kesempatan sekali lagi. Aku... aku tidak bisa hidup dengan rasa bersalahku."

Di sisi lain, Naysila duduk di kamarnya, menatap keluar jendela. Hatinya ikut gundah.

"Mas Alden itu sebenarnya perhatian... dia bahkan khawatir aku lapar dan mengajakku sarapan dulu. Semalam, dia juga begitu baik, berusaha melindungi aku dari tikus dan rasa dingin. Tapi kenapa aku keras kepala? Kenapa aku buat dia kecewa dengan mengembalikan uang itu? Apa aku terlalu egois? Atau... aku takut terlihat lemah di hadapannya?"

Ia menutup matanya sebentar, lalu menghela napas panjang. Bayangan wajah Alden dari jarak dekat membuat dadanya berdebar lagi.

Keheningan menyelimuti mereka di tempat berbeda. Dua hati yang sebenarnya mulai mendekat, tapi terhalang oleh gengsi, dingin, dan luka masa lalu yang belum selesai.

*****

1
Sunaryati
Karena sejak awal pernikahan kamu langsung menutup hati, dan menyakiti hati dan sekarang malu akan berjuang, setelah merasakan kehilangan saat ditinggalkan
Sunaryati
Jika ragu akan disakiti lagi namun kamu akan beri kesempatan, buat perjanjian Nay
Aretha Shanum
ahh bosen alurnya , menye2 kaya bumi sempit ga ada lski2
Lisdaa Rustandy: iya, emang sempit kok. kalo mau yg luas keluar dari novel aja🤣🤣
total 1 replies
lovina
ketawa sj kalau baca novel modelan gini, wnaitanya selalu naif dan bodoh sdngkan laki2nya selalu di buat semaunya dan ujungnya balikan dgn ending sm semua novel, baca buku berkali2 dgn alur yg sama... niat amat author2 dadakan kek gini g bisa yah buat yg beda, g mungkinkan oyak nya cmn satu tuk semua author...kalau di kritik biasnaya tantrum
Lisdaa Rustandy: maaf, saya sudah berkarya hampir 4thn, jadi bukan dadakan lagi. Setidaknya buatlah versi anda sendiri sebelum menertawakan karya orang lain🤣🤣🤣
total 2 replies
Sunaryati
Kamu renungkan semua kesalahan kamu Alden, dan berpikir cara memperbaikinya. Nayla jika kamu masih ada cinta untuk Alden berpikir jernih baru ambil keputusan.
Lestari Ari Astuti
semoga bersatu kembali
partini
hemmm enak bener jadi laki udah cup sana cup nyesel minta maaf balikan ga jadi baca Thor
Lisdaa Rustandy: tapi Alden gak pernah ngapa2in sama Serena, kan dari awal cuma boongan. Cup sana cup sininya darimana, kak? 😄 Alden masih ORI itu
total 1 replies
Lestari Ari Astuti
di tunggu kelanjutannya
Tutuk Isnawati
nyesel deh sekarang gliran orgny dah. prgi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!