"Aku mencintaimu, Hayeon-ah. Mungkin caraku mencintai salah, kacau, dan penuh racun. Tapi itu nyata." Jin Seung Jo.
PERINGATAN PEMBACA:
Cr. pic: Pinterest / X
⚠️ DISCLAIMER:
· KARYA MURNI SAYA SENDIRI. Cerita, karakter, alur, dan dialog adalah hasil kreasi orisinal saya. DILARANG KERAS mengcopy, menjiplak, atau menyalin seluruh maupun sebagian isi cerita tanpa izin.
· GENRE: Dark Romance, Psychological, Tragedy, Supernatural.
· INI BUKAN BXB (Boy Love). Ini adalah BxOC (Boy x Original Female Character).
· Pembaca diharapkan telah dewasa secara mental dan legal.
©isaalyn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isagoingon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Strawberry yang Terawetkan
Dalam ruang kerja Seung Jo yang kini bersih—hampir kosong, hanya ada satu benda yang terletak dengan sengaja di tengah meja kayu besar: sebuah kotak kaca kecil. Di dalamnya, terbaring sebuah strawberry, sudah kering dan mengkerut, warnanya tak lagi merah cerah, melainkan kecoklatan—seolah terperangkap dalam waktu, diawetkan dengan sempurna.
Ah, strawberry itu... sisa dari malam yang kelam di dapur. Strawberry yang terlepas dari genggaman Hayeon saat dia terjatuh, tak terciprat darah, dan menjadi yang terakhir pernah disentuh oleh Hayeon.
Seung Jo duduk di depannya, menatap buah kecil itu dengan tatapan yang dalam. Buah itu seperti mesin waktu—membawanya kembali ke malam itu. Dia hampir bisa merasakan dinginnya lantai marmer, mencium aroma logam darah yang menusuk, dan melihat tangan mungil Hayeon yang terbuka lemas, jari-jarinya yang pucat melingkari buah-buahan yang tersisa.
Dia ingat betapa dia membencinya saat itu. Membenci kelemahannya, air mata yang menetes, dan cara Hayeon membuatnya merasa... manusia. Kini, sisa dari kebencian itu hanyalah kehampaan yang dalam dan penyesalan yang tak terperi.
Dengan hati-hati, dia membuka kotak kaca itu. Aroma manis strawberry sudah lama sirna, digantikan bau pengawet yang samar. Jarinya hampir menyentuh buah rapuh itu, tapi dia berhenti—tak berani, seolah-olah menyentuhnya akan menghancurkan satu-satunya sisa fisik dari Hayeon yang masih dia miliki.
"Ini salah satu hal terakhir yang kau pegang," bisiknya pada buah itu, seolah itu adalah Hayeon sendiri.
"Kau lapar, dan yang kau pikirkan hanyalah strawberry. Kau masih berusaha bertahan, untuk dirimu, untuk... dia."
Dia menutup kotak kaca itu kembali, melindungi peninggalan terakhirnya. "Dan aku... aku mengambil segalanya."
Strawberry yang terawetkan ini menjadi simbol baginya—simbol kehidupan sederhana yang diinginkan Hayeon: sebuah rumah, makanan di meja, mungkin cinta—yang dia hancurkan. Simbol dari kemanusiaan yang dia cubit saat masih ada, dan yang kini dia rindukan dengan segenap jiwanya.
Dia tidak pernah lagi mengunjungi makam di bukit itu. Tak perlu. Karena dia membawa kuburan itu bersamanya, di dalam hatinya, diingatannya, dan dalam strawberry kecil yang terawetkan di atas mejanya—pengingat bisu tentang segala yang telah hilang, dan segala yang tak akan pernah bisa dia miliki lagi.
Musim dingin semakin dalam. Salju bulan Desember turun lebat, menyelimuti Seoul dalam keheningan putih yang bersih.
Di dalam mansion yang kini hampir sepenuhnya kosong, Seung Jo menghabiskan hari-harinya di dekat perapian. Tubuhnya semakin lemah, batuknya semakin sering disertai darah. Dia tahu, waktunya hampir habis.
Semua urusannya telah dibereskan. Kekayaan yang tersisa disumbangkan secara anonim ke panti asuhan dan rumah sakit. Mansion ini sudah dia urus untuk disumbangkan setelah kematiannya. Tak ada yang dia tinggalkan untuk dirinya sendiri, kecuali pakaian yang melekat di tubuhnya dan kotak kaca berisi strawberry itu.
Suatu malam, saat badai salju mengamuk di luar, Seung Jo duduk di dekat perapian dengan kotak kaca di tangannya. Api unggun menjilat kayu, menerangi wajahnya yang kurus dan pucat dengan cahaya oranye yang hangat.
Dia membuka kotak kaca itu dan mengeluarkan strawberry terawetkan. Buah itu terasa ringan dan rapuh di telapak tangannya. Dia memandanginya lama, seolah mencoba menangkap sisa-sisa kehangatan dari tangan Hayeon yang pernah memegangnya.
Tiba-tiba, sebuah ingatan melintas. Bukan ingatan menyakitkan, tapi kenangan sederhana dari masa kecil. Dia ingat ibunya memetik strawberry dari kebun kecil mereka dan memberikannya padanya. Rasanya manis dan segar—dan dia tertawa.
Kapan terakhir kali dia tertawa tulus seperti itu? Mungkin sejak kematian ibunya, hidupnya telah berubah menjadi perjalanan panjang menuju kekuasaan dan kekejaman.
Dia melihat strawberry di tangannya, lalu ke perapian. Sebuah kedamaian aneh turun atasnya. Dia sudah lelah. Sangat lelah.
Dengan usaha terakhir, dia berdiri dan berjalan menuju jendela. Salju masih turun deras, menyelimuti dunia dalam selimut putih murni. Dia membuka jendela, membiarkan udara dingin menusuk masuk.
Dia melihat ke telapak tangannya, pada strawberry kecil yang rapuh itu. "Maaf," bisiknya, kali ini bukan pada Hayeon, tapi pada strawberry itu, pada kenangan masa kecilnya, pada dirinya yang telah hilang. "Maafkan aku."
Lalu, dengan lembut, dia meletakkan strawberry itu di ambang jendela, di atas tumpukan salju yang bersih. Butiran salju segera mulai menutupinya, menguburnya dalam kemurnian es.
Dia menutup jendela—suara kayu berdecit seolah mengucapkan selamat tinggal pada dingin luar. Kembali ke kursi dekat perapian, kehangatan itu menyelimuti kulitnya yang dingin, seperti pelukan lembut yang menghapus semua rasa beku. Mata terpejam, dan... ah, senyuman kecil itu, yang sudah lama hilang, kini muncul—seolah mengalir dari kedalaman hatinya.
Di luar, salju terus menari, menutupi strawberry itu—dan semua rasa sakit, penyesalan, kenangan yang menempel seperti bayangan. Di dalam, di hadapan api yang berkelap-kelip, Jin Seung Jo merasakan kedamaian yang selama ini dicari—dalam keheningan yang menenangkan, penerimaan yang hangat.
Keesokan paginya, ketika pelayan tua itu melangkah masuk, dia tertegun. Seung Jo masih duduk di kursinya, wajahnya tenang, damai—seolah-olah dia telah tertidur nyenyak, lelah setelah perjalanan panjang yang penuh liku.
Dan di ambang jendela, di bawah tumpukan salju, sebuah strawberry terawetkan tergeletak, simbol terakhir dari kisah cinta yang tak terucapkan—penyesalan yang dalam, dan perdamaian akhir yang datang terlambat, namun... oh, betapa bermaknanya itu.