Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 Panggilan Papa dari Aaron
Alan masih belum mengalihkan pandangannya dari bocah kecil itu.
Wajah itu… seolah cerminan dirinya yang lebih muda, dengan mata yang begitu jujur.
Alan seperti hendak membuka mulut, tapi suaranya tercekat. Ia ingin mengatakan banyak hal, namun bahkan belum tahu harus mulai dari mana.
Tepat saat itu, suara lembut dalam bahasa Korea terdengar di belakang mereka.
“Aaron-ah! Geumanhae. Gaja, eomma ireona!”
(Sudah, Aaron. Ayo, Mama menunggu.)
Seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun menghampiri mereka dengan wajah sedikit gugup. Dialah pengasuh Aaron, mengenakan coat abu-abu dan masker yang menutupi sebagian wajahnya. Ia menatap Alan sopan, tapi dari gerak matanya, jelas ia agak canggung melihat interaksi tadi.
“Ah, mianhamnida, agassi-ui adeul-i jogeum... uh... yeogi naneun geoya,” ujarnya cepat, setengah terbata.
(Maaf, anak majikan saya hanya... tersesat sedikit ke sini.)
Aaron menatap Alan dengan wajah sedih.
Wanita itu segera menunduk sopan ke Alan, menggandeng Aaron dengan hati-hati.
Langkah kecil itu menjauh, meninggalkan Alan yang masih terpaku di tempat.
Hatinya terasa seperti baru dihantam gelombang kecil tapi berat.
Ia hanya bisa menatap punggung kecil Aaron sampai menghilang di antara kerumunan pengunjung.
Tanpa sadar, di lantai dua, dari balik pagar kaca, Shenia berdiri.
Matanya menatap ke bawah, menyaksikan semuanya dengan dada sesak.
Ia menggenggam tas kecil di tangannya erat-erat, menahan perasaan gugup karna terkejut.
Di matanya, kebetulan itu terasa seperti takdir yang menertawakan dirinya.
"tidak akan mengenalnya sebagai anakmu." Dan di hati kecilnya, Shenia tahu, rahasia yang ia simpan rapat-rapat bisa saja terbuka kapan saja.
___
Castella Medical Center – Sore Hari
Udara sore menembus kaca besar ruang kerja Chesna, memantulkan lembut siluetnya yang tengah sibuk memeriksa hasil laboratorium. Suara ketukan pintu membuatnya mendongak, dan sejenak, waktu seolah berhenti.
Gideon berdiri di ambang pintu, rambutnya sedikit berantakan, jas hitamnya tampak kontras dengan wajah tenang tapi canggung yang tersenyum kaku.
“Sudah waktunya fitting, Dokter,” ucapnya pelan, mencoba terdengar santai.
“Kau bahkan datang sendiri? kenapa tidak tunggu di mobil aja? Atau bisa menelponku.” tanya Chesna, menutup map di tangannya.
“Karna aku pikir...kita sudah lama tidak ketemu,” jawab Gideon, mengusap tengkuknya yang terasa tegang.
Suasana di antara mereka seketika penuh jeda aneh.
“Kau... terlihat sibuk akhir-akhir ini,” katanya lagi, berusaha mencairkan suasana.
“Sama seperti kamu. Aku dengar proyek Sanggana Tower belum juga selesai?” balas Chesna ringan, menatapnya sekilas.
Gideon tertawa kecil, “Aku sempat berpikir kamu sengaja menghindar.”
“Menghindar? Tidak ada alasan menghindarimu, Gideon.” jawab Chesna datar, dengan senyum tipis.
Keduanya berjalan berdampingan keluar dari ruangan. Namun bahkan langkah mereka pun terasa kikuk, terlalu hati-hati, seperti takut satu langkah salah bisa menyingkapkan isi hati masing-masing.
Saat mereka tiba di lobi klinik, angin sore berembus membawa aroma kopi dari kafe sebelah. Gideon sempat melirik Chesna yang sibuk menata rambutnya yang terurai ke bahu, dan tanpa sadar, senyumnya mengembang.
“Kau kelihatan lebih lelah dari terakhir kita bertemu,” katanya pelan.
“Aku baru pulang dari Zurich seminggu lalu. Tubuhku masih belum menyesuaikan waktu.”
“Jadi itu alasannya kau tak ada di klinik saat aku datang tiga kali?”
“Tiga kali?” Chesna menoleh, menahan tawa kecil. “Aku pikir jadwal terapimu dua minggu sekali,”
“Ya, kau tidak mengabariku apapun, Ches.”
Chesna menatapnya sejenak, lalu tertawa kecil. "Ya kamu, nggak nelpon nanya dulu aku di klinik atau tidak."
Di dalam mobil, keheningan kembali mengisi ruang di antara mereka.
Hanya menikmati musik.
Butik “Louve Bridal” Sore Menjelang Malam
Bunyi lembut lonceng pintu butik menyambut kedatangan mereka. Ruangan penuh cahaya hangat itu dipenuhi deretan gaun putih yang tergantung rapi.
Chesna melangkah pelan, matanya menyapu deretan gaun di hadapannya, sementara Gideon berdiri agak kaku di belakang, seperti seseorang yang baru saja diseret ke tempat paling “tidak aman” untuk laki-laki.
“Kenapa diam?” ucap Chesna tanpa menoleh, sedikit tersenyum.
“Aku cuma... tidak tahu harus melihat ke mana,” gumam Gideon jujur, matanya melirik kanan-kiri dengan ekspresi kaku yang malah membuat asisten butik menahan tawa.
Asisten butik itu, seorang wanita muda enerjik, tersenyum menggoda.
“Tenang saja, Pak Gideon. Nanti kalau calon pengantinnya sudah ganti baju, baru boleh melihat,” katanya riang.
Gideon langsung mengangguk gugup.
“Iya, saya tunggu... di sini saja,”
Chesna masuk ke ruang ganti, membawa gaun yang dipilih oleh perancang butik, lebih tepatnya, gaun yang dirancang khusus untuk dirinya. Sementara di luar, Gideon duduk di sofa dengan postur kaku, menatap lantai seperti sedang menunggu hasil ujian.
Detik-detik terasa lama.
Sampai akhirnya tirai ruang ganti terbuka.
Gideon spontan mendongak.
Chesna melangkah keluar dengan gaun berwarna putih gading, sederhana tapi elegan. Rambutnya disanggul rendah, dan cahaya lampu membuat kulitnya tampak berkilau halus.
“Bagaimana?” tanya Chesna, suaranya tenang tapi matanya menahan gugup.
Gideon tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap lama.
“Gideon?”
“Hm?”
“Komentarnya?”
“Oh, iya…” Gideon mengusap tengkuknya. “Bagus, cantik.”
“Itu gombal, Gideon.”
“Tapi jujur.”
Chesna memutar mata.
Asisten butik kembali masuk, membawa jas formal berwarna abu lembut.
“Sekarang giliran calon pengantin prianya, ya.”
Gideon langsung menolak halus.
“Tidak perlu, saya—”
“Perlu,” sela Chesna cepat, menatapnya penuh tantangan.
Beberapa menit kemudian, Gideon keluar dari ruang ganti.
Setelan jas itu pas di tubuhnya, membuatnya tampak gagah, meski ekspresinya canggung setengah mati.
Chesna menatapnya tanpa sengaja lebih lama dari yang seharusnya.
“Apa?” tanya Gideon pelan.
“Nggak... cuma, liatin kamu.”
Mereka saling menatap, dan tawa itu perlahan mencairkan semua jarak yang sempat terbentuk.
Asisten butik menatap keduanya dengan senyum geli, entah mengapa, suasana di antara mereka tidak seperti dua orang yang akan menikah. Terlalu canggung tapi terlihat berbunga-bunga.
“Kalian berdua lucu banget, kayak baru pacaran,” celetuk sang asisten.
___
Hotel Chasteo Seoul – Malam Hari
Alan berdiri di depan jendela besar, memandangi lampu kota yang berkelip di bawah sana. Tangannya masih menggenggam cangkir kopi yang sejak tadi tak tersentuh. Namun, pikirannya… tak di sini.
Suara kecil itu masih menggema di telinganya.
“Papa!”
Hanya satu kata, tapi cukup untuk mengguncang seluruh kesadarannya.
Wajah bocah itu, mata bulat, garis senyum di pipi, bahkan cara memiringkan kepala ketika bingung, terlalu mirip dengannya saat kecil.
Terlalu mirip untuk diabaikan.
Alan mengembuskan napas panjang, mencoba menertawakan pikirannya sendiri.
“Mustahil…,” gumamnya, setengah berusaha meyakinkan diri. “Itu cuma kebetulan. Aku tidak pernah melakukan itu dengan seseorang di negara ini. Shenia? Aku hanya melakukan itu dengan dia.”
Hati Alan tidak sepakat.
Ada sesuatu yang terus mencengkeram dadanya, rasa penasaran yang tak bisa ia lepaskan.
Ia berjalan ke meja kerja, membuka laptop, mencoba kembali fokus pada dokumen bisnisnya. Tapi setiap kali menatap layar, bayangan bocah itu muncul lagi.
“Papa…”
“Tidak, ini gila,” gerutunya sambil menutup laptop keras-keras.
Rasa kecewa dan amarah yang dulu sempat menumpuk, kini bercampur dengan sesuatu yang lain…
Kebingungan.
“Kau ke mana sebenarnya, Shenia?”
“Dan siapa… bocah itu?”
Alan menatap bayangannya sendiri di kaca jendela.
Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ekspresinya tidak sekaku biasanya. Ada sesuatu di balik tatapan itu, rasa rindu yang tidak ia pahami, dan kemungkinan ada rasa lain yang ia takutkan.
Teleponnya berdering di meja. Ia melirik sekilas: “Chesna.”
Alan menatap layar itu lama, ragu apakah akan mengangkat atau tidak.
Akhirnya ia menarik napas dalam dan mengangkatnya.
“Halo?”
“Kak, kamu masih di Seoul sekarang ya?”
“Hmm, ya. Kenapa?”
“Kamu kedengaran aneh. Capek?”
“Tidak,” jawabnya cepat. “Aku cuma… banyak pikiran.”
“Tentang apa? Oia, sudah ada tanda tentang keberadaan Shenia?”
“Mungkin, tapi aku juga tidak paham,” jawab Alan pelan, lirih, nyaris tak terdengar.
Setelah panggilan berakhir, Alan kembali berdiri di depan jendela. Tatapannya kosong ke luar, tapi pikirannya sibuk menyusun kemungkinan yang tak masuk akal itu.
“Kalau anak itu ternyata… anak Shenia, sudah jelas dia-”
Kalimat itu tak pernah selesai. Ia bahkan tak berani memikirkannya.
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??