Cerita ini untuk pembaca dewasa. Baca dengan bijak❗
Cherry Gabriella mengambil satu keputusan nekat yang mengubah seluruh hidupnya, menjadi ibu pengganti bagi pewaris berhati dingin, Trevor Spencer.
Namun, ketika bayi mungilnya lahir, Cherry tak sanggup menyerahkan darah dagingnya, meski harus diburu oleh pria yang bisa membeli segalanya… bahkan nyawanya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Hari ini hari wisuda Cherry, jadi dia sedang mempersiapkan Arnold. Cherry memakaikan jas kecil yang pas dengan tubuhnya.
"Gemes banget deh, anak Mama. Kamu makin ganteng, sayang," puji Cherry.
"Beneran, Ma?" tanya Arnold polos.
"Iya dong. Kamu kayak pengusaha kecil sekarang, atau… miliarder kecil," gumam Cherry sambil tersenyum.
Memang Arnold terlahir dengan sendok emas di mulutnya, ayahnya seorang miliarder. Cherry senang untuk anaknya, tapi berharap ketika besar nanti, Arnold tidak buta dengan kekayaan atau kekuasaan. Semoga dia mau membantu orang-orang yang membutuhkan. Dia anak Cherry, jadi Cherry akan membesarkannya seperti itu.
"Jadi aku udah mirip Papa?" tanya Arnold.
"Iya, kamu udah mirip banget Papa. Terus kalian pakai baju yang sama juga. Kamu kayak versi mini-nya Papa," jawab Cherry.
"Jadi aku sekarang seganteng Papa?" tanya Arnold lagi.
"Iya," jawab Cherry.
"Kalian berdua udah siap?" tanya Trevor yang baru saja datang.
"Papa! Mama bilang kita udah kembar!" seru Arnold pada ayahnya.
Cherry tersenyum melihat kemiripan mereka. Sama-sama memakai jas, hanya saja jas Trevor hitam, sementara Arnold biru gelap. Mereka bahkan menyisir rambut dengan gaya yang sama. Benar-benar ayah dan anak.
"Benarkah?" tanya Trevor.
"Iya, Pa. Terus Mama bilang Papa ganteng. Kalau Mama bilang aku jadi mirip Papa, berarti Mama bilang Papa ganteng juga dong," ujar Arnold dengan logika polosnya.
Cherry membelalak. Astaga, logika macam apa itu, Nak? Bikin Mama enggak punya muka.
"Sayang, kita udah selesai nih. Yuk keluar," Cherry mencoba mengalihkan topik.
"Mama enggak bilang langsung. Mama cuma bilang itu ke kamu," sanggah Trevor.
"Enggak, Ma. Kan Papa ganteng? Bilang dong," desak Arnold.
"Hah?" Cherry hanya bisa melongo.
"Ma, bilang dong kalau Papa ganteng. Papa enggak percaya," pinta Arnold lagi.
Cherry melirik Trevor yang hanya menatapnya, menunggu jawaban.
"Ya jelas Papa kamu ganteng. Kamu kan mirip Papa," jawab Cherry akhirnya.
"Ma, siapa yang lebih ganteng, aku atau Papa?" tanya Arnold lagi.
Cherry tersenyum lembut. "Papa kamu. Tapi kamu yang paling cute, sayang."
"Kalau aku gede nanti, aku bakal lebih ganteng dari Papa," ujar Arnold yakin.
"Kamu harus usaha keras kalau mau begitu, Nak. Ayo, nanti kita terlambat," ujar Trevor.
"Yuk, sayang," ajak Cherry. Arnold langsung meraih tangannya.
"Kita akan datang sebagai salah satu dewan direksi kampus kamu, dan dia sebagai anak dari salah satu dewan direksi," jelas Trevor.
"Jadi aku enggak boleh tegur atau ngobrol sama kalian selama acara?" tanya Cherry.
"Ini satu-satunya cara supaya orang-orang enggak berspekulasi soal pencapaianmu sebagai valedictorian. Kalau mereka tahu kamu ibu dari anak saya dan saya salah satu dewan direksi yang memasukkan kamu ke kampus itu, mereka mungkin akan berpikir kampus memberikan perlakuan khusus padamu," jelas Trevor.
"Tapi Papa enggak pernah ngapa-ngapain buat nilai Mama. Papa cuma bantu Mama masuk kampus dan selesai kuliah," sanggah Cherry.
"Benar. Mama kerja keras banget setiap hari belajar sampai begadang terus. Mama berjuang keras, jadi enggak ada yang berhak bilang Mama lulus karena perlakuan khusus cuma gara-gara Papa yang masukin Mama ke kampus itu," ujar Arnold sedih.
"Nak, kamu belum pernah keluar rumah, tapi begitulah cara berpikir orang-orang di luar sana," jelas Trevor.
"Tapi Pa, aku pengen teriak ke seluruh dunia kalau aku bangga banget sama Mama," kata Arnold.
"Kalau kamu lakukan itu, orang-orang akan menyerang pencapaian Mama kamu. Mereka akan demo di kampus supaya Mama dibatalkan kelulusannya, meski Mama sudah lulus, karena mereka pikir itu enggak adil. Kalau itu terjadi, Mama kamu enggak bisa jadi pengacara," jelas Trevor.
"Tapi itu enggak adil buat Mama. Mereka kan enggak punya bukti. Papa bakal bantu Mama kalau itu terjadi kan?" tanya Arnold.
Cherry berlutut menyamakan tinggi dengan anaknya, memegang pipi Arnold dan tersenyum lembut.
"Enggak apa-apa, sayang. Yang penting buat Mama, kalian ada di sana. Nanti kita baru saling perhatian kalau udah di mobil, oke? Terus kamu semangatin Mama dalam hati aja. Pikiran kita kan nyambung, jadi Mama bakal dengar semangat kamu meskipun kamu enggak teriak," hibur Cherry.
"Tapi Ma--"
"Dengerin Papa aja ya? Di luar masih bahaya, masih ada orang jahat yang ngejar kita. Mama enggak mau nambahin masalah Papa. Jadi kita dengerin Papa dulu, oke?" pinta Cherry.
"Pa, janji ya, kalau semuanya udah aman, kita umumin soal Mama ke seluruh dunia," pinta Arnold.
"Iya, kita akan umumin," janji Trevor.
Cherry menatapnya terkejut.
"Yuk, Ma, nanti kita telat," ajak Arnold.
Begitu keluar, helikopter sudah menunggu. Cherry tiba-tiba merasa gugup. Waktu pertama naik, dia tidak sadar, jadi tidak merasakan apa-apa. Sekarang baru pertama kalinya dia sadar penuh saat naik helikopter.
Cherry belum pernah naik pesawat, jadi ini benar-benar pertama kalinya merasakan berada di udara. Dia takut ketinggian, takut tiba-tiba pingsan di udara.
Cherry terkejut saat seseorang menggenggam tangannya. Dia menoleh.
"Ayo," ajak Trevor sambil menariknya menuju helikopter.
Trevor membantu Cherry masuk dengan hati-hati. Di dalam, Cherry duduk di tengah, diapit Trevor dan Arnold. Katanya untuk melindunginya, meski Cherry khawatir karena Arnold duduk di dekat jendela. Tapi bocah itu terlihat santai saja, tidak ada raut takut atau cemas. Benar-benar mirip ayahnya.
Trevor membagikan headphone dengan mikrofon pada mereka. Saat helikopter mulai terbang, Cherry berdoa dengan mata terpejam. Tapi rasa takutnya sedikit berkurang karena kedua tangannya digenggam erat oleh orang-orang di sampingnya, seolah berkata bahwa mereka akan menjaganya.
Saat helikopter mendarat, Cherry menghela napas lega. Tapi nanti pulangnya dia harus naik lagi. Harus terbiasa, batinnya.
Mereka naik mobil menuju tempat wisuda. Ada mobil pengawal di depan dan belakang, berisi anak buah Trevor. Kedatangan Trevor ke wisuda ini rahasia, jadi musuh-musuhnya tidak tahu. Tapi tetap harus waspada, siapa tahu tiba-tiba menyerang dan membahayakan Arnold. Cherry yang jadi alasan Arnold ada di sini, jadi dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri kalau sesuatu yang buruk terjadi pada anaknya.
Erika menelepon.
"Halo, Erika. Aku udah dekat, jangan khawatir," sapa Cherry.
"Udah mau mulai nih. Kami sama Adrian lagi nunggu di pintu masuk," ujar Erika.
"Oh gitu? Kami juga udah dekat, sekitar lima menit sampai," jawab Cherry.
"Kami? Siapa lagi yang ikut?" tanya Erika penasaran.
"Arnold sama Trevor," jawab Cherry.
"Apa? Jadi mereka ikut wisuda?" tanya Erika terkejut.
"Iya. Udah ya, sampai ketemu di pintu masuk," pamit Cherry.
"Oke, see you," balas Erika.
"Trevor, turunin aku di belakang gedung aja. Aku jalan sendiri ke pintu masuk, biar enggak ada yang lihat aku turun dari mobil kamu," usul Cherry.
"Mama," Arnold mencegah. Cherry mengusap pipi anaknya dan tersenyum.
"Kita ketemu di dalam ya, sayang? Habis wisuda, Mama langsung balik ke mobil. Tunggu Mama di sini, oke?" pinta Cherry.
"Oke, Ma," jawab Arnold.
Sesampainya di belakang gedung, Cherry turun dan berjalan menuju pintu masuk.
Di pintu masuk, Cherry langsung melihat Erika dan Adrian berdiri dekat pintu. Dia menghampiri mereka.
"Cherry, kok kamu ngos-ngosan? Kamu lari?" tanya Adrian khawatir.
"Aku baik-baik aja," jawab Cherry.
"Mana yang lainnya? Bukannya kamu bilang bawa anak kamu sama ayahnya?" tanya Erika.
"Nanti aku ceritain kalau udah di dalam. Acaranya udah mau mulai, yuk antri," ajak Cherry.
"Serius kamu mau kayak gini? Cherry, aku tahu kamu udah cantik tanpa make up, tapi pakai make up dikit kek, lip tint atau foundation. Ini wisuda kita, dan kamu valedictorian yang harus pidato di depan. Masa kamu tampil natural banget? Kayaknya cuma kamu satu-satunya mahasiswa yang wisuda tanpa make up deh," protes Erika.